Kisah 2 Desa Terisolasi di Grobogan, Akses Ekstrem Puluhan Tahun Tanpa Listrik

Kisah 2 Desa Terisolasi di Grobogan, Akses Ekstrem Puluhan Tahun Tanpa Listrik

Terkini | inews | Sabtu, 4 Mei 2024 - 23:34
share

GROBOGAN, iNews.id- Belasan kepala keluarga (KK) yang tinggal di dua desa, Kabupaten Grobogan hidup terisolasi selama puluhan tahun. Mereka selama ini hidup tanpa listrik.

Selain itu, tidak adanya akses jalan menuju desa membuat warga  terpaksa bertaruh nyawa harus melintasi jalur ekstrem di pelintasan kereta api yang masih aktif untuk beraktivitas.

Lokasi warga di beberapa pedukuhan terpencil dan terisolasi itu berada di perbatasan dua kecamatan, yakni Tanggungharjo dan Kedungjati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Lokasinya berada di tengah kawasan Hutan Kramat milik Perhutani.

Beberapa pedukuhan di dua kecamatan tersebut hanya dipisahkan dengan beberapa pohon jati yang berdiri dan hanya berjarak beberapa meter. Pedukuhan yang sudah berdiri hampir 60 tahun ini dihuni oleh 19 KK. 

Selama itu mereka hidup tanpa adanya penerangan atau listrik. Mereka hanya mengandalkan lampu minyak karena tidak ada aliran listrik mengalir ke seluruh rumah.

Imam, Kepala Desa Sugihmanik, Kecamatan Tanggungharjo mengatakan, telah mengusulkan untuk pengadaan listrik. Usulan tersebut, kata dia tidak bisa terlaksana.

Kendalanya, lanjut dia karena akses menuju pedukuhan, yakni Dukuh Kramat, Ngambakrejo, Desa Sugihmanik serta beberapa pedukuhan di Desa Kedungjati, Kecamatan Kedungjati tidak bisa dilalui kendaraan. Pihak desa berupaya memberikan bantuan genset kepada warga yang terisolasi untuk digunakan sebagai penerangan. 

"Sebetulnya berkaitan warga desa terpencil itu masuknya Dusun Rejosari karena itu berdomisili di tanah PJKA bukan tanah desa. Saya sarankan untuk kembali ke Dusun Rejosari sehingga kalau ada kebutuhan apa dengan warga itu bisa dimasukkan ke program-program. Tapi saya tetap perhatian terhadap mereka. Dulu pernah saya bantu genset dan itu bermanfaat," ujar Imam.

Sati, warga Dusun Ngambakrejo, Desa Sugihmanik menuturkan, telah terbiasa hidup tanpa listrik. Dia menyadari, akses untuk masuk ke pedukuhan ini sangat sulit dan harus melewati jalur berbahaya.

Dia mengungkapkan, ada beberapa warga yang enggan untuk pindah karena ini merupakan tanah warisan turun-temurun yang harus dijaga dan dirawat. Ada juga warga yang bersedia untuk relokasi asalkan telah disediakan tempat oleh pemerintah.

"Saya bertani menanam jagung. Penghasilan dari situ," ujar Sati di lokasi.

Dia menyampaikan, sejak 2017, warga mulai beralih dari lampu petromaks ke tenaga surya. Untuk bisa mendapatkan alat penyerap tenaga surya, mereka harus membeli seharga Rp2,5 juta.

Seluruh panas yang diserap oleh alat tenaga surya ini kemudian disimpan ke dalam aki dan dialirkan ke seluruh lampu. "Ini baru ada tenaga surya, beli sendiri," ucapnya.

Sutiyo, warga Dukuh Kramat, Desa Sugihmanik menjelaskan, arus listrik yang tersimpan di dalam aki hanya bisa digunaan selama beberapa hari saja.

Saat hujan deras turun beberapa hari, warga khawatir karena arus listrik yang tersimpan di dalam aki akan semakin melemah dan akhirnya habis.

Untuk menghemat arus listrik, warga mesti mengurangi beban jumlah lampu yang menyala. Meski kondisi arus penuh, listrik juga tidak bisa digunakan untuk aktivitas lain seperti menyalakan televisi, kulkas dan barang elektronik lainnya karena akan semakin mempercepat pelemahan arus.

"Ini listrik menggunakan tenaga surya," ucap Sutiyo.

Selama ini warga bertahan hidup dengan mengandalkan sektor pertanian mengelola lahan milik perhutani. Mereka menanam jagung dan ketela untuk dijual ke pasar serta berternak sapi dan kambing.

Warga berharap agar pemerintah bisa memberikan solusi untuk warga  dengan membuka lahan untuk akses jalan sehingga aktivitas warga bisa menjadi lancar dan listrik bisa mengalir ke seluruh rumah di tengah hutan ini.

Topik Menarik