Ini Lima Tantangan Fiskal yang Perlu Dimitigasi Dirjen Pajak Baru
IDXChannel - Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menilai tantangan fiskal 2025 sangat kompleks. Paling tidak ada lima tantangan yang harus bisa dimitigasi dengan baik oleh jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang baru.
Ajib mengungkapkan, pertama adalah kondisi ekonomi yang cenderung melandai. Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya bisa mencapai angka konservatif 5,2 persen, dikoreksi karena kondisi domestik dan global yang fluktuatif.
World Bank juga memproyeksikan pertimbuhan ekonomi hanya di kisaran 4,7-4,9 persen. Proyeksi ini terkonfimasi pada pertumbuhan kuartal I-2025 yang hanya mencapai 4,87 persen.
"Faktor pertumbuhan ekonomi ini akan memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan perpajakan," ujarnya di Jakarta, Jumat (23/5/2025).
Tantangan kedua, kata Ajib, adalah grey economy di Indonesia yang belum terdeteksi oleh sistem perpajakan Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2024 sebesar Rp22.139 triliun.
Lebih dari 54 persen PDB tersebut ditopang oleh konsumsi rumah tangga, atau kisaran Rp12.000 triliun. Di sisi lain, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2024 sebesar Rp828,5 triliun.
"Kondisi ini pun juga karena sebagian restitusi dimasukkan pada periode tahun selanjutnya. Dengan data-data tersebut, kisaran volume konsumsi sebesar Rp2.000 triliun sampai Rp4.000 triliun masih masuk grey economy," kata dia.
Tantangan ketiga adalah utang jatuh tempo tahun 2025. Akibat scaring effect pandemi, kondisi fiskal tahun ini terbebani utang jatuh tempo mencapai Rp800 triliun.
Menurutnya, pemerintah sudah melakukan front loading utang sampai dengan April 2025 mencapai Rp250 triliun. Pemerintah harus lebih memitigasi agar secara agregat sampai akhir tahun, utang APBN tidak melebihi 3 persen dari PDB.
Selanjutnya tantangan keempat yaitu program-program ultrapopulis pemerintah yang akan potensial menambah alokasi pengeluaran. Program-program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, dan 3 Juta Rumah, memerlukan kajian komprehensif dalam pengalokasian pengeluaran tambahan dari APBN.
"Bahkan, di sisi lain, program pemerintah lain terkait Danantara, juga mereduksi penerimaan negara, yang sebelumnya dividen BUMN masuk ke negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), menjadi dikelola secara mandiri oleh Danantara. Hal ini potensi mengoreksi penerimaan negara kisaran 90 triliun," kata Ajib.
Tantangan kelima adalah sistem Coretax. Sebuah sistem layanan perpajakan terintegrasi yang diharapkan mempermudah dan meningkatkan compliance wajib pajak, justru menjadi masalah tersendiri, paling tidak dalam proses berjalan sampai Mei 2025.
"Ketidaksiapan sistem dan mitigasi risiko, justru menjadikan cost compliance yang tinggi di sisi wajib pajak dan berkontribusi negatif terhadap penerimaan berjalan," katanya.
Sebagai informasi, Bimo Wijayanto baru saja dilantik sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Jumat (23/5/2025) pagi. Sebelumnya, Bimo menjabat sebagai Asisten Deputi di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
(Dhera Arizona)