Warga Bitoa Minta Keadilan: Jangan Jadikan DPRD Makassar Alat Korporasi

Warga Bitoa Minta Keadilan: Jangan Jadikan DPRD Makassar Alat Korporasi

Nasional | gowa.inews.id | Selasa, 20 Mei 2025 - 13:44
share

MAKASSAR, iNews.id - Ribuan warga Kelurahan Bitoa, Kecamatan Manggala, Makassar, akhirnya menyampaikan pernyataan sikap tegas menanggapi Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPRD Makassar, Camat Manggala, dan PT Aditarina Arispratama pada Senin, 19 Mei 2025, di Kantor DPRD Makassar.

Warga menilai forum yang diinisiasi oleh DPRD Makassar tersebut menunjukkan keberpihakan sepihak kepada korporasi dan mengabaikan hak historis serta bukti-bukti kepemilikan sah warga atas lahan yang telah mereka kuasai dan tinggali selama puluhan tahun. “Kami Bukan Pendatang, Kami Pemilik Sah yang membeli lahan yang kami tempati sekarang,” kata Zaenab salah satu warga kepada awak media, Selasa (20/5/2025).

Menurut keterangannya, ribuan keluarga telah menghuni lahan di wilayah Bitoa secara terbuka, damai, dan beriktikad baik sejak puluhan tahun lalu. Banyak dari mereka memiliki kwitansi pembelian tanah yang menyatakan pihaknya sah menguasai bahkan menempati lahan tersebut hal itu sah menurut praktik lokal pertanahan.

“Dalam hukum, prinsip bezit atau penguasaan fisik nyata bisa menjadi dasar hak milik, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1963 KUH Perdata,” ujarnya.

Pasal tersebut menyatakan bahwa seseorang yang menguasai suatu tanah secara terus-menerus selama 20 tahun tanpa gangguan, memiliki dasar hukum untuk memperoleh hak milik. 

Dengan demikian, warga menolak narasi bahwa mereka adalah pendatang ilegal. DPRD dan Camat terkesan sebagai Corong Korporasi. Warga menyayangkan sikap sejumlah anggota DPRD Makassar dan Camat Manggala yang dalam forum tersebut menyebut PT Aditarina sebagai pemilik sah lahan tanpa terlebih dahulu mendengarkan seluruh fakta dan data dari pihak warga.

“Alih-alih menjadi penengah, mereka justru terkesan menjadi corong kepentingan korporasi,” ungkap salah satu warga lainnya yang enggan menyebutkan namanya.

Ia menegaskan bahwa musyawarah seharusnya tidak dilakukan sepihak, apalagi jika proses mediasi tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat yang terdampak.

Dalam kesempatan itu juga, Warga Bitoa yang telah mendiami lahan tersebut hingga puluhan tahun mengingatkan bahwa konflik lahan ini tidak hanya soal surat dan dokumen, melainkan juga tentang keadilan, kemanusiaan, dan keberlangsungan hidup masyarakat kecil,” bebernya.

Mengutip Pasal 28H UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (3), mereka menegaskan bahwa bumi dan tanah semestinya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Ini bukan soal siapa yang punya AJB, tapi siapa yang benar-benar menggantungkan hidup di atas tanah itu selama puluhan tahun. Jangan ukur hak hidup dengan AJB semata,” Jelasnya lagi.

Dia menambahkan bahwa sejak awal, warga disebut sangat terbuka untuk menyelesaikan persoalan ini secara damai dan bermartabat. Namun yang terjadi justru tekanan dari pihak luar, baik melalui penggiringan opini, ancaman maupun pendekatan intimidatif.

“Kami siap berdialog terbuka dan berkeadilan, Menolak segala bentuk tindakan sepihak yang merugikan kehidupan sosial, serta akan menempuh jalur hukum hingga tingkat nasional bila terus dipinggirkan, jangan lukai Rakyat dengan hukum yang berat sebelah,” Tegas perempuan paruh baya itu saat sejumlah wartawan mengunjungi lokasi perumahan yang diberi nama Kompleks Perjuangan.

Di akhir pernyataannya, dia kembali mengingatkan bahwa hukum seharusnya menjadi alat untuk menyeimbangkan antara yang kuat dan yang lemah, bukan sebaliknya.

“Tanah ini bukan komoditas semata. Ini tempat kami hidup, tumbuh, dan membesarkan anak-anak kami. Kami tidak mencari masalah, kami mencari solusi,” tutupnya.

Topik Menarik