Profil Dwight D Eisenhower, Jenderal Sekaligus Presiden AS di Balik Pemberontakan Permesta di Indonesia

Profil Dwight D Eisenhower, Jenderal Sekaligus Presiden AS di Balik Pemberontakan Permesta di Indonesia

Global | sindonews | Senin, 2 Juni 2025 - 11:35
share

Siapa sangka Dwight David Eisenhower merupakan sosok di balik operasi rahasia CIA yang mendukung pemberontakan Permesta dan PRRI di Indonesia pada akhir 1950-an. Dia merupakan presiden ke-34 Amerika Serikat (AS) dan tokoh militer ulung dengan pangkat jenderal bintang lima.

Eisenhower dikenal sebagai salah satu arsitek utama strategi global Amerika Serikat selama puncak Perang Dingin. Namanya tenar sebagai komandan Sekutu dalam Perang Dunia II.

Namun bagaimana seorang pahlawan perang Amerika itu berubah menjadi dalang operasi rahasia CIA di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia?

Baca Juga: Data Ungkap Rincian Baru Dukungan AS dalam Operasi Anti-PKI 1965

Profil Singkat Dwight D Eisenhower

Dwight David Eisenhower lahir pada 14 Oktober 1890 di Denison, Texas, Amerika Serikat. Dia sudah meninggal pada 28 Maret 1969 di usia usia 78 tahun di Washington, D.C.Suami dari Mamie Geneva Doud ini mengenyam pendidikan di US Military Academy, West Point pada 1915. Puncak karier militernya adalah meraih pangkat jenderal bintang lima atas jasanya dalam Perang Dunia II, pangkat langka yang hingga saat ini hanya disandang lima orang dalam sejarah AS.

Ayah dari John Eisenhower ini kemudian terjun ke politik melalui Partai Republik. Dia sukses menjadi Presiden ke-34 Amerika Serikat dari tahun 1953 hingga 1961.

Eisenhower naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1953, menggantikan Presiden Harry S Truman. Dia mewarisi dunia yang tengah terbelah antara dua kekuatan ideologi: komunisme Soviet dan kapitalisme Barat. Dalam menghadapi ancaman komunisme global, Eisenhower menerapkan kebijakan luar negeri yang dikenal sebagai "Eisenhower Doctrine"—sebuah pendekatan intervensif untuk membendung pengaruh Uni Soviet, terutama di negara-negara berkembang.

Jejak Eisenhower dalam Pemberontakan Permesta di Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949, AS semula mendukung stabilitas pemerintahan presiden pertama Indonesia, Sukarno.

Namun, menjelang pertengahan 1950-an, kekhawatiran AS memuncak. Presiden Sukarno dinilai terlalu akomodatif terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), dan retorikanya yang anti-Barat semakin mengkhawatirkan.Washington, melalui CIA, menganggap Indonesia terlalu strategis untuk jatuh ke tangan komunis. Dalam memo rahasia Gedung Putih tahun 1957, Eisenhower menyatakan pentingnya mencegah "domino effect" di Asia Tenggara, dan Indonesia dipandang sebagai negara kunci dalam strategi ini.

Puncak intervensi AS terhadap kedaulatan Indonesia terjadi pada tahun 1957–1958, saat terjadi pemberontakan militer di Sumatra (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/PRRI) dan Sulawesi (Perjuangan Semesta/Permesta). Badan Intelijen Pusat (CIA) AS melancarkan operasi rahasia bersandi "Operation Haik" untuk mendukung pemberontakan Permesta.

Bukti keterlibatan AS tidak terbantahkan, terutama setelah penangkapan pilot CIA bernama Allen Lawrence Pope pada 18 Mei 1958. Pesawat Pope ditembak jatuh saat menjalankan misi pengeboman di Ambon, dan ditangkap hidup-hidup oleh tentara Indonesia. Dia membawa dokumen dan logistik yang mengarah langsung pada keterlibatan intelijen Amerika.

Buku "Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957–1958" karya Kenneth Conboy dan James Morrison menyebut bahwa operasi rahasia ini disetujui langsung oleh Presiden Eisenhower. Ini dikuatkan oleh laporan resmi dari Church Committee tahun 1975 di AS, yang menelusuri penyalahgunaan kekuasaan oleh CIA.

Mengapa Eisenhower Mendukung Pemberontakan Permesta?

Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, faktor geopolitik; di mana Indonesia adalah negara kepulauan yang besar di jalur vital maritim antara Samudra Pasifik dan Hindia. Kekuasaan komunis di Indonesia bisa berarti dominasi Soviet di Asia Tenggara.Kedua, faktor sumber daya alam. Sumatra dan Sulawesi kaya akan minyak dan mineral—sektor yang AS anggap penting untuk perusahaan-perusahaan multinasionalnya.

Ketiga, pengaruh PKI. Dengan semakin dekatnya Sukarno dengan tokoh-tokoh PKI seperti DN Aidit, Eisenhower memutuskan untuk bertindak dengan cara-cara tidak langsung demi mengganti kepemimpinan Indonesia.

Skandal Allen Pope mengguncang hubungan diplomatik AS–Indonesia. Meskipun AS sempat membantah keterlibatan langsung, bukti-bukti dari Pope terlalu jelas. Pemerintah AS akhirnya menekan Presiden Sukarno agar Pope dibebaskan, yang kemudian dikabulkan pada tahun 1962 atas dasar diplomatik.

Namun efek jangka panjang dari operasi ini sangat dalam. Sukarno semakin anti-Barat, dan mulai merapat ke blok Timur. Selain itu, PKI kala itu semakin kuat secara politik hingga pertengahan 1960-an. Militer Indonesia juga menyadari pentingnya solidaritas nasional.

Topik Menarik