Lowy Institute: Negara Berkembang Tercekik Utang Inisiatif Sabuk dan Jalan China
China memberikan tekanan finansial yang semakin besar kepada negara-negara berkembang di saat pembayaran utang mencapai rekor tertinggi. Tahun ini, negara-negara tersebut diperkirakan akan membayar USD35 miliar kepada China, USD22 miliar di antaranya berasal dari 75 negara termiskin dan paling rentan di dunia.
Sebagian besar pembayaran ini adalah untuk pinjaman yang diambil berdasarkan Belt and Road Initiative atau Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China selama tahun 2010-an.
Lowy Institute, sebuah lembaga think tank yang berpusat di Sydney, dalam laporannya mengatakan, "Negara-negara berkembang bergulat dengan gelombang besar pembayaran utang dan biaya bunga yang harus dibayarkan kepada China.”
Baca Juga: Pengaruh China di Amerika Latin Meningkat, Hati-Hati Jebakan Utang!
“Arus pembayaran utang ke China dari negara-negara berkembang akan berjumlah total USD35 miliar pada 2025 dan akan tetap tinggi selama sisa dekade ini.”“Sebagian besar pembayaran utang ini, sekitar USD22 miliar, dibayarkan oleh 75 negara termiskin dan paling rentan di dunia,” bunyi laporan Lowy Institute, sebagaimana dikutip dari ANI, Kamis (29/5/2025).
Pemasok Kredit Terbesar
Institut itu menambahkan bahwa tekanan dari pinjaman negara China, bersama dengan melonjaknya pembayaran kepada sejumlah kreditor swasta internasional, memberikan tekanan finansial yang sangat besar pada negara-negara berkembang.Hasilnya adalah meningkatnya kerentanan utang dan tersingkirnya prioritas pengeluaran penting seperti kesehatan, pendidikan, pengurangan kemiskinan, dan adaptasi iklim.
Lebih lanjut, laporan tersebut menyebutkan bahwa China berubah dari pemberi pinjaman kecil pada awal tahun 2000-an menjadi pemasok terbesar kredit bilateral baru bagi negara-negara berkembang pada pertengahan 2010-an.
Baca Juga: Beijing Gencarkan Proyek BRI, Indonesia Diingatkan soal Kualitas Produk ChinaPada puncak lonjakan pinjaman BRI pada 2016, pinjaman baru yang didukung negara China berjumlah lebih dari USD50 miliar, melebihi gabungan pinjaman semua kreditor Barat tahun itu.
Ledakan pinjaman China paling menonjol di negara-negara berpenghasilan rendah dan sangat rentan, yang bergantung pada pinjaman dari kreditor bilateral serta multilateral dengan akses terbatas ke modal swasta internasional.
Penagih Utang
"Dalam perekonomian ini, China bangkit dari utang luar negeri kurang dari 5 persen pada 2005, menjadi lebih dari 40 persen pada 2015. Namun, tak lama setelah itu, pinjaman global China memasuki periode penurunan yang berkepanjangan,” imbuh laporan Lowy Institute.“Meningkatnya risiko utang, kesulitan implementasi, dan tekanan keuangan domestik menyebabkan penandatanganan pinjaman baru China turun menjadi hanya USD18 miliar pada 2019, dengan penurunan lebih lanjut selama pandemi Covid," papar lembaga tersebut.
Penerima pinjaman baru terbesar termasuk negara tetangga langsung, Pakistan, Kazakhstan, dan Mongolia, dan negara-negara berkembang yang merupakan eksportir mineral atau logam baterai penting, seperti Argentina, Brasil, Republik Demokratik Kongo, dan Indonesia," imbuh Lowy Institute.
Lowy Institute mengatakan bahwa China yang dulunya merupakan sumber keuangan baru terbesar di dunia berkembang kini telah sepenuhnya beralih menjadi satu-satunya tujuan pembayaran utang negara berkembang terbesar di dunia. BRI mencapai puncaknya pada pertengahan 2010-an; puncak pembayaran utang tercapai pada pertengahan 2020-an.
“Sekarang, dan selama sisa dekade ini, China akan lebih mirip dengan penagih utang dibandingkan bankir bagi negara berkembang," pungkas Lowy Institute.









