Hamas Setuju Gencatan Senjata di Gaza, AS dan Israel Menolak Tawaran Itu

Hamas Setuju Gencatan Senjata di Gaza, AS dan Israel Menolak Tawaran Itu

Global | sindonews | Selasa, 27 Mei 2025 - 16:51
share

Hamas menyetujui proposal gencatan senjata yang diajukan Amerika Serikat (AS) untuk Gaza, menurut sumber Al Jazeera. Meski demikian, seorang pejabat Amerika menolak klaim tersebut dan mengatakan kesepakatan yang sedang dibahas itu "tidak dapat diterima" dan "mengecewakan".

Pejabat Israel juga membantah proposal itu berasal dari AS, dengan mengatakan pada hari Senin (26/5/2025) bahwa tidak ada pemerintah Israel yang dapat menerimanya, menurut kantor berita Reuters.

Laporan yang saling bertentangan itu muncul saat pasukan Israel terus melakukan pemboman tanpa henti terhadap warga Palestina yang kelaparan di Gaza, dan terus membatasi masuknya bantuan ke daerah kantong yang terkepung itu.

Sumber medis mengatakan 81 orang, termasuk banyak anak-anak, tewas dalam serangan Israel pada hari Senin saja.

Sumber Al Jazeera mengatakan Hamas dan utusan Timur Tengah AS, Steve Witkoff, menyetujui rancangan kesepakatan itu pada pertemuan di ibu kota Qatar, Doha.

Mereka mengatakan kesepakatan itu mencakup gencatan senjata selama 60 hari, dan pembebasan 10 tawanan hidup yang ditahan di Gaza, dalam dua tahap.

Presiden AS Donald Trump akan menjamin ketentuan kesepakatan dan penarikan pasukan Israel dari Gaza.

“Kesepakatan itu juga akan memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan, tanpa syarat, sejak hari pertama,” ungkap sumber tersebut.

Namun, Witkoff menolak anggapan bahwa Hamas telah menerima usulannya, dengan mengatakan kepada Reuters bahwa apa yang telah dilihatnya "sama sekali tidak dapat diterima".

Sumber AS yang dekat dengan Witkoff juga mengatakan kepada Al Jazeera bahwa klaim Hamas "tidak akurat" dan apa yang ditawarkan kelompok Palestina itu "mengecewakan".

Garis Merah Baru

Kimberly Halkett dari Al Jazeera, melaporkan dari Washington, DC, mengutip pernyataan pejabat tersebut bahwa usulan yang diajukan AS hanyalah "perjanjian gencatan senjata sementara" dengan Israel.

“Hal ini akan memungkinkan separuh dari tawanan yang masih hidup, serta separuh dari yang meninggal, untuk dipulangkan,” ujar dia.

“Pada gilirannya, Gedung Putih yakin hal ini akan mengarah pada jalur diplomatik berupa diskusi yang dapat menghasilkan gencatan senjata permanen. Dan ini adalah kesepakatan yang menurut sumber tersebut kepada Al Jazeera harus diambil oleh Hamas,” papar dia.

Tidak ada komentar langsung dari Hamas.

Di Israel, sementara itu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengeluarkan pesan rekaman di media sosial, yang menjanjikan akan membawa kembali 58 tawanan Israel yang masih berada di Gaza, yang sekitar 20 di antaranya diyakini masih hidup.

“Jika kita tidak mencapainya hari ini, kita akan mencapainya besok, dan jika tidak besok, maka lusa. Kami tidak menyerah,” ungkap Netanyahu.

“Kami bermaksud membawa mereka semua kembali, yang hidup dan yang mati,” ujar dia.

Pemimpin Israel itu tidak menyebutkan kesepakatan yang diusulkan.

Hamdah Salhut dari Al Jazeera, melaporkan dari ibu kota Yordania, Amman, mengatakan Netanyahu telah lama menolak seruan Hamas untuk gencatan senjata permanen di Gaza dan berjanji melanjutkan perang hingga "kemenangan total" diraih melawan kelompok Palestina tersebut.

"Perdana menteri Israel bahkan telah menambahkan batasan baru untuk apa yang menurutnya akan mengakhiri perang," ungkap Salhut.

"Itu termasuk pemulangan tawanan Israel, demiliterisasi Hamas (dan) pengasingan para pemimpin militer dan politik. Dan, juga, penerapan rencana Trump untuk Gaza. Ini adalah rencana yang telah dikutuk secara luas sebagai pembersihan etnis, dan Gedung Putih bahkan mencabutnya beberapa bulan lalu," papar dia.

Dia menjelaskan, "Tetapi Netanyahu mengatakan itulah yang diinginkannya jika perang harus diakhiri."

Sementara itu, Hamas mengatakan bersedia membebaskan tawanan yang tersisa sekaligus dengan imbalan gencatan senjata permanen.

Kelompok itu juga menyatakan bersedia menyerahkan kendali Jalur Gaza kepada pemerintah sementara, seperti yang diusulkan dalam rencana senilai USD53 miliar yang didukung Liga Arab untuk rekonstruksi daerah kantong itu.

Namun, kelompok itu menentang pemindahan warga Palestina dan menolak meletakkan senjata atau mengasingkan para pemimpinnya dari Gaza, dengan menggambarkan tuntutan terakhir sebagai "garis merah" selama pendudukan Israel atas wilayah Palestina berlanjut.

Semua Mata Tertuju pada Doha

Di Gaza, warga Palestina mengatakan mereka sangat menginginkan kesepakatan apa pun untuk mengakhiri pemboman dan blokade Israel, yang telah membuat seluruh penduduk daerah kantong itu berada di ambang kelaparan.

"Semua mata warga Palestina tertuju pada Doha," ungkap Hind Khoudary dari Al Jazeera dari Deir el-Balah di Gaza tengah.

"Sejak Israel memulai kembali perang, warga Palestina telah diserang di rumah, sekolah, tenda darurat, dan juga di apa yang disebut zona kemanusiaan yang aman... Mereka juga mengatakan mereka bahkan tidak dapat mengamankan satu makanan pun untuk keluarga mereka," papar Khoudary.

Dia menjelaskan, “Warga Palestina di sini mengatakan mereka tidak punya pilihan lain lagi, dan mereka berusaha bertahan hidup dari serangan udara Israel dan kelaparan massal yang telah menimpa mereka.”

Israel melanjutkan perang di Gaza pada 18 Maret, dua pekan setelah memberlakukan blokade total di wilayah kantong tersebut.

Otoritas kesehatan di Gaza mengatakan 3.822 warga Palestina telah tewas dalam serangan Israel yang kembali dilakukan, dan jumlah korban tewas yang dikonfirmasi secara keseluruhan kini telah mencapai 53.977. Sekitar 122.966 orang terluka.

Israel melonggarkan blokadenya pekan lalu, dengan mengatakan telah mengizinkan sekitar 170 truk bantuan masuk ke Gaza, tetapi pejabat kemanusiaan mengatakan jumlah tersebut masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan untuk memberi makan dua juta penduduk daerah kantong itu setelah 11 pekan pengepungan total.