Seperti Apa yang Akan Terjadi Ketika Donald Trump Kembali Berkuasa?

Seperti Apa yang Akan Terjadi Ketika Donald Trump Kembali Berkuasa?

Global | sindonews | Kamis, 9 Mei 2024 - 18:40
share

Kepresidenan Donald Trump yang kedua akan berdampak buruk bagi Amerika Serikat (AS), dan dapat membawa perubahan global yang besar mulai dari keamanan hingga imigrasi. Namun dalam konteks dalam negeri AS, sentimen nasionalisme dan patriotisme dalam politik dan ekoomi justru akan menguat. Itu diungkapkan para pengamat kepada Channel News Asia.

Dengan para pemilih di Amerika akan menuju kotak suara dalam waktu sekitar enam bulan untuk memilih presiden mereka berikutnya, pemungutan suara pada bulan November akan menjadi pertandingan ulang antara petahana dari Partai Demokrat Joe Biden dan pembawa bendera Partai Republik Donald Trump.

Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan persaingan yang ketat antara kedua kubu, dengan mantan presiden Trump memiliki sedikit keunggulan atas saingannya.

Seperti Apa yang Akan Terjadi Ketika Donald Trump Kembali Berkuasa?

1. Mengutamakan Politik Balas Dendam

Foto/AP

Trump, yang menduduki Gedung Putih sebelum Biden, telah mengemukakan prioritasnya termasuk mendeportasi migran yang melintasi perbatasan secara ilegal – sesuatu yang sering disebutnya sebagai “invasi”.

Dia juga mengancam akan mendapatkan kendali lebih besar atas Federal Reserve AS dan Departemen Kehakiman, yang memimpin kasus-kasus kriminal tingkat tinggi terhadapnya.

Lembaga penelitian yang berbasis di Washington, Heritage Foundation, telah menyusun pedoman untuk masa kepresidenan Trump yang kedua, termasuk penggantian banyak pegawai negeri dengan loyalis pemimpin Partai Republik tersebut. Beberapa sekutu Trump mempunyai pandangan sayap kanan.

Banyak pendukungnya yang masih salah percaya bahwa ia memenangkan pemilihan presiden terakhir pada November 2020.

Trump mengatakan dia sedang mempertimbangkan pengampunan bagi orang-orang yang dihukum atas serangan Capitol AS pada 6 Januari 2021, ketika beberapa pendukungnya menyerbu Kongres untuk mencoba dan membatalkan hasil pemilu.

Baca Juga: Mengapa OKI Belum Mampu Menyelesaikan Konflik antara Israel dan Palestina?

2. Meningkatkan Sekutu Lama AS

Foto/AP

Mengenai kebijakan luar negeri, para pengamat mengatakan bahwa AS tidak dapat mempertahankan seluruh komitmennya di berbagai kawasan dan harus segera mengambil pilihan sulit.

Trump sering menyoroti kegagalan beberapa anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk mengalokasikan minimal 2 persen dari produk domestik bruto mereka untuk belanja pertahanan.

“Saya pikir ada pengakuan bahwa Eropa memang harus meningkatkan belanja pertahanan, membangun kembali kemampuan industri pertahanan mereka, sehingga AS dapat mundur (dan) membiarkan Eropa menjaga keamanan Eropa dan memberikan prioritas pada Indo-Pasifik. kata Dr Adrian Ang, peneliti di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS).

Dari 32 negara anggota NATO, 20 negara kini memenuhi target 2 persen tersebut dan fokus mendukung Ukraina dalam perang melawan Rusia.

Trump telah mengancam bahwa dia tidak akan membela sekutu-sekutu NATO yang gagal mengeluarkan dana yang cukup untuk pertahanan, dan bahkan akan mendorong Rusia untuk “melakukan apa pun yang mereka inginkan”.

“Saya pikir itu lebih merupakan taktik menakut-nakuti agar negara-negara Eropa mau menerima dan akhirnya membayar bagian mereka secara adil,” Ang, yang juga koordinator program AS di Institut Kajian Pertahanan dan Strategis RSIS.

Tercantum dalam Pasal 5 Perjanjian Atlantik Utara, dokumen pendiri NATO, adalah prinsip pertahanan kolektif, di mana serangan terhadap satu anggota dianggap sebagai serangan terhadap seluruh anggota.

Menganggap prinsip ini dipertanyakan – seperti yang berulang kali dilakukan Trump, termasuk dalam beberapa bulan terakhir – melemahkan kredibilitas janji NATO, kata Dr Constanze Stelzenmüller.

Sebuah undang-undang baru yang disahkan tahun lalu melarang seorang presiden untuk menarik diri secara sepihak dari NATO tanpa persetujuan dua pertiga mayoritas Senat atau tindakan Kongres, kata Stelzenmüller, yang merupakan direktur Pusat Brookings Institution untuk Amerika Serikat dan Eropa.

3. Kebijakannya Tak Dapat Diprediksi

Para pengamat mencatat bahwa Trump dikenal karena sifatnya yang lincah dan tidak dapat diprediksi.

Misalnya saja, Trump telah menyangkal ilmu pengetahuan tentang iklim dan bahkan menyebut pemanasan global sebagai sebuah kebohongan, meskipun ia kemudian mengakui bahwa manusialah yang patut disalahkan.

Ada kekhawatiran bahwa masa kepresidenan Trump yang kedua akan membatalkan kebijakan Biden yang pro lingkungan hidup, dan sekali lagi menarik AS keluar dari perjanjian iklim Paris untuk membatasi emisi gas rumah kaca.

Negara tetangganya, Kanada, menaruh perhatian besar pada pemilihan presiden. Perdana Menteri Justin Trudeau berpendapat bahwa kemenangan Trump dapat membahayakan perjuangan melawan perubahan iklim secara global.

Topik Menarik