Orang RI Beralih ke Rokok Murah, Intip Kinerja Sektor Tembakau dan Rekomendasinya

Orang RI Beralih ke Rokok Murah, Intip Kinerja Sektor Tembakau dan Rekomendasinya

Global | IDX Channel | Kamis, 22 Februari 2024 - 05:21
share

IDXChannel - Penggunaan produk tembakau tercatat menurun hingga ke level 22,3% (~1,32 miliar orang). Dan diproyeksikan akan terus mengalami penurunan ke level prevalensi 20,4% pada 2025 (~1,27 miliar orang).

Analis Saham Panin Sekuritas, Rizal Rafly mengungkapkan, hal ini lebih disebabkan oleh health awareness yang meningkat, regulasi atau larangan yang semakin ketat terkait konsumsi produk tembakau, dan alternatif yang lebih murah.

"Kami melihat kenaikan UMP yang di bawah ekspektasi juga akan membatasi pemulihan kinerja di 2024 dan kenaikan cukai yang terus dilakukan di tahun pemilu turut berdampak terhadap volume penjualan," kata dia dalam risetnya, Rabu (21/2/2024).

Menurut Rizal, kenaikan UMP 2024 yang minim atau sebesar 3,4 persen berpotensi menekan volume penjualan. Kenaikan tersebut di bawah ekspektasi yang dapat mencapai 10%, tentunya akan sulit untuk mengkompensasi kenaikan harga pangan yang diprediksi bakal berlanjut pada 2024.

"Menurut kami, kenaikan UMP yang minim akan terus menyebabkan perokok berpenghasilan rendah melakukan downtrading. Perokok akan beralih ke rokok yang lebih murah, terutama rokok di bawah tier-1 atau segmen rokok yang memiliki peningkatan ASP terendah," jelasnya.

"Sementara itu, kami yakin akan banyak ancaman dari munculnya rokok ilegal yang beredar di pasaran akibat kenaikan cukai rokok yang terus dilakukan, yang dapat menganggu penerimaan cukai pemerintah," Rizal menambahkan.

"Kami memperkirakan volume penjualan industri rokok Indonesia pada 2023 secara keseluruhan mengalami penurunan 3,0% YoY menjadi 242 miliar batang," lanjutnya.

Selain itu, sambung Rizal, permintaan SKT masih positif di tengah downtrading yang masih berlangsung. Dari sisi perilaku konsumen yang sangat sensitif terhadap harga, maka tarif cukai akan semakin tinggi pada rokok tradisional pada 2024, diperkirakan akan menyebabkan beberapa pergeseran pasar.

"Kami mengantisipasi bahwa perokok berpenghasilan rendah kemungkinan besar akan beralih ke pilihan yang lebih terjangkau seperti Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Kretek Mesin (SKM) tier 2," terangnya.

Tren ini, diakui dia, mulai terlihat dari kenaikan volume penjualan dari produk rokok SKT dalam 4 tahun terakhir dengan CAGR +7,4% (2020-2023F), sedangkan untuk penjualan produk SKM dan SPT terus mengalami penurunan dalam 7 tahun terakhir dengan CAGR masing-masing sebesar -4,4% dan -7,6% (2016-2023)

Di sisi lain, Rizal menjelaskan, gap kenaikan cukai rokok tier 1 dan tier 2 semakin menipis. Di tengah perilaku downtrading konsumen rokok yang masih berlangsung, terlihat bahwa spread kenaikan cukai rokok antara tier I dan tier II semakin menipis, terutama pada periode 2023 dan 2024.

Hal tersebut tercermin dari selisih kenaikan cukai antara produk rokok SKM tier 1 dan SKM tier 2 hanya sebesar 0,3% (SKM tier 1: 11,8%; SKM tier 2: 11,5%). Hal ini akan menjadi katalis positif bagi produsen rokok tier I karena gap kenaikan harga dengan rokok tier 2 semakin mengecil yang membuat harga produk rokok tier 1 akan menjadi semakin kompetitif.

Rizal memproyeksikan, kinerja sektor tembakau ke depan akan dipengaruhi oleh beberapa katalis seperti kenaikan UMP yang minimum yang akan menekan daya beli masyarakat, kenaikan tarif cukai berpotensi menyebabkan penurunan volume produksi.

Tetapi di sisi lain permintaan produk SKT positif seiring dengan perilaku downtrading konsumen, dan selisih antara tarif cukai rokok dari produsen tier I dan produsen rokok tier II yang tercatat mulai mengecil.

"Kami merekomendasikan NEUTRAL untuk sektor tembakau, dengan top pick GGRM, serta rekomendasi BUY dengan target harga Rp25.000 (implied PE 7,4x di 2024)," pungkas Rizal.

(FAY)

Topik Menarik