Cara Menyeimbangkan Portofolio Saham untuk Pemula, Atur Potensi Risiko dan Profit

Cara Menyeimbangkan Portofolio Saham untuk Pemula, Atur Potensi Risiko dan Profit

Global | IDX Channel | Kamis, 15 Februari 2024 - 14:41
share

IDXChannel Investor pemula perlu mempelajari cara menyeimbangkan portofolio saham untuk menghasilkan profit yang maksimal, sekaligus menata potensi risiko kerugian yang mungkin didapat di masa mendatang.

Seorang investor umumnya memiliki beberapa saham dalam portofolionya untuk diversifikasi. Tentu saja hasil yang diharapkan adalah risiko yang minimal, dan profit sebesar-besarnya.

Oleh karena itu, portofolio mesti disusun dengan baik. Investor dianjurkan untuk tidak sembarang membeli saham, sehingga dari total modal yang telah ia keluarkan, rata-rata yang dihasilkannya adalah keuntungnya.

Bagaimana maksudnya? Sebagai contoh, jika seseorang memiliki 5-10 saham dalam portofolionya. Tujuh di antaranya adalah saham-saham komoditas yang sensitif terhadap perubahan harga dunia dengan proporsi besar, dan sisanya adalah saham perbankan besar.

Besar kemungkinan investor ini akan mencatatkan portofolio yang merah ketika harga komoditas turun, sebab mayoritas portofolionya berisi saham komoditas. Sementara saham perbankan cenderung bergerak stabil.

Sehingga, meskipun saham perbankan yang dimilikinya mencatatkan kenaikan harga, persentase kenaikan harganya kalah besar dengan persentase penurunan harga dari saham-saham komoditasnya.

Portofolio saham yang merah, atau menurun nilainya, berarti hasil rata-rata dari keseluruhan modal investasi sang investor adalah rugi. Sebaliknya, jika portofolio hijau, atau nilainya naik, rata-rata hasilnya adalah untung.

Lalu, bagaimana cara menyeimbangkan portofolio agar rata-rata imbal hasil yang diterima adalah keuntungan? Berikut strateginya.

Cara Menyeimbangkan Portofolio Saham untuk Investor Pemula

Sebelum membeli saham dan mendesain portofolio, seorang investor harus menentukan tujuan investasi dengan cara mengetahui toleransi risikonya, jumlah modal, dan jangka waktu yang dimilikinya.

Strategi investasi seorang investor berusia 24 tahun tentu akan berbeda dengan investor berusia 36 tahun. Investor muda masih memiliki waktu yang cukup panjang agar asetnya bertumbuh maksimal, sementara investor dewasa sudah mendekati usia pensiun.

Mengetahui toleransi risiko berguna untuk menentukan jenis saham yang cocok untuk dibeli. Jika Anda memiliki toleransi yang rendah terhadap kerugian, maka saham yang mestinya dibeli adalah saham-saham berkapitalisasi pasar besar.

Anda juga bisa memilih instrumen investasi lain seperti reksa dana dan obligasi pemerintah. Sementara jika investor kuat untuk menanggung risiko besar, misalnya hingga 50%, maka ia bebas saja untuk membeli saham-saham dengan fluktuasi harga yang tinggi.

Investor dengan toleransi risiko yang rendah, disebut sebagai investor konservatif. Sementara investor dengan toleransi risiko tinggi, disebut sebagai investor agresif. Maka, desain portofolionya dapat dibuat mengikuti profil risikonya ini.

Mengutip Indopremier Sekuritas (15/2), tujuan portofolio konservatif adalah untuk melindungi nilai aset dari gerusan inflasi. Sementara tujuan portofolio agresif, adalah untuk menghasilkan pertumbuhan modal dan imbal hasil (capital gain/dividen).

Bagaimana cara mendesain portofolio sesuai profil risiko? Pilihlah saham-saham sesuai profil risiko Anda. Jika Anda terbilang konsevatif, saham-saham berkapitalisasi pasar besar dan likuid, cocok untuk mengisi portofolio Anda.

Sementara jika Anda terbilang investor agresif, Anda bisa memilih saham-saham second liner, yakni saham perusahaan berkapitalisasi sedang-menengah dan masih memiliki potensi untuk bertumbuh.

Lalu bagaimana desain portofolio sesuai jenis strategi investasinya? Mengutip Ajaib Sekuritas, berikut penjelasannya:

Income Investing

Income investing adalah strategi investasi untuk menghasilkan keuntungan rutin dari dividen. Caranya tentu saja dengan membeli saham-saham yang secara historis terbukti rutin membagikan dividen setiap tahun.

Kriteria yang mesti diperhatikan antara lain:

Growth Investing

Growth investing adalah strategi investasi dengan cara membeli saham yang berpotensi untuk terus bertumbuh pendapatan dan labanya di masa mendatang. Growth investing umumnya tidak terlalu mementingkan harga wajarnya.

Sebab selama emiten berpotensi untuk terus tumbuh, maka PBV yang melebihi satu dianggap wajar. Contoh saham yang cocok disebut sebagai growth stock adalah BBCA, di mana harganya sudah melampui nilai wajar, namun investor tetap bersedia antri beli.

Kriteria yang harus diperhatikan antara lain:

Value Investing

Strategi ini populer dipraktikkan oleh Warren Buffet, investor ini mempelajarinya dari sang mentor, yakni Benjamin Graham. Fokus strateginya terletak pada pembelian saham potensial yang undervalue, atau dihargai pasar di bawah rata-rata nilai wajarnya.

Saham undervalue dianggap murah, sebab diyakini saham emiten tersebut mestinya dihargai lebih mahal, atau setidaknya sesuai dengan nilai wajarnya. Ketika investor membeli saham undervalue, ia berpotensi untuk mendapatkan pertumbuhan harga.

Namun perlu dipelajari baik-baik, apakah saham tersebut undervalue karena pasar tengah terkoreksi (umumnya karena faktor eksternal), ataukah karena fundamental perusahaannya memang kurang baik.

Kriteria yang harus diperhatikan adalah:

Salah satu investor Indonesia yang sukses dengan strategi value investasing adalah Lo Kheng Hong, di mana ia membeli saham PT United Tractor Tbk (UNTR) di saat krisis moneter dengan harga undervalue.

UNTR memiliki fundamental yang baik, namun performanya terpengaruh karena faktor eksternal (krisis). Sehingga begitu krisis usai dan ekonomi mulai pulih, bisnis UNTR pun ikut pulih dan harga sahamnya meroket.

Namun sekali lagi, saham undervalue harus dianalisa betul apa sebab harganya berada di bawah nilai wajarnya. Ini bertujuan agar investor yakin bahwa perusahaan tersebut memang potensial.

Itulah penjelasan tentang cara menyeimbangkan portofolio yang wajib diketahui investor pemula. ( NKK )

Topik Menarik