Ngkaji Pendidikan GSM, Ketidakberpikiran Sumber Masalah atas Situasi Bangsa

Ngkaji Pendidikan GSM, Ketidakberpikiran Sumber Masalah atas Situasi Bangsa

Gaya Hidup | sindonews | Selasa, 2 September 2025 - 05:37
share

Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) kembali menggelar kegiatan refleksi pendidikan bertajuk Ngkaji Pendidikan di Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (30/8/2025). Acara dihadiri 650 peserta dari berbagai daerah di Indonesia ini.

Kegiatan ini mengajak para guru merenungkan arah pendidikan di tengah derasnya arus digital dan kecerdasan buatan (AI) yang kian mendominasi kehidupan. Sekaligus mencari jalan agar pendidikan Indonesia tetap memerdekakan pikiran dan menjaga masa depan bangsa.

Isu utama yang menjadi sorotan ialah bahaya ketidakberpikiran, yaitu sebuah kondisi ketika manusia terjebak dalam rutinitas tanpa jeda untuk refleksi, sekadar mengikuti alur birokrasi dan algoritma digital. Fenomena ini kian berbahaya karena berpotensi menumpulkan nalar kritis, mengikis imajinasi moral, dan menjauhkan manusia dari kesejatian dirinya. Baca juga:Pendidikan Indonesia di Titik Nadir? Ini Seruan Kritis GSM pada Hardiknas 2025

“Waktu kita banyak tersita oleh algoritma, oleh rutinitas administratif, tetapi justru sedikit sekali untuk perkara yang penting, yakni, berpikir, berdialog dengan nurani, dan memelihara imajinasi,” kata Pendiri GSM Muhammad Nur Rizal.

Fenomena ketidakberpikiran ini bukan hanya terjadi di sekolah, tetapi juga tampak dalam kehidupan sosial dan politik. Di ranah publik, misalnya, kita kerap dibuat geram oleh perilaku wakil rakyat. Mulai dari mengusulkan kenaikan tunjangan dan pajak di tengah sulitnya ekonomi rakyat, korupsi yang makin merajalela, komentar serta sikap arogan yang menunjukkan kemewahan atau kekuasaan kelas atas sampai menyakiti perasaan rakyat di bawah, hingga aksi aparat yang justru melukai rasa keadilan dengan tindakan represif sampai menimbulkan kematian.Di sisi lain, kesenjangan sosial-ekonomi masih menganga, yaitu lapangan kerja yang terbatas, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan akses pendidikan yang belum merata menjadi tanda bahwa bangsa ini menghadapi tantangan serius.

Dalam konteks itu, GSM mengingatkan bahwa pendidikan harus menjadi benteng peradaban yang menyiapkan keterampilan teknis. Juga melahirkan manusia yang mampu berpikir merdeka, berimajinasi moral, dan bertindak autentik.

“Pendidikan bukan semata-mata soal kurikulum atau pencapaian akademik, melainkan soal membentuk manusia yang bertauhid dan berperikemanusiaan, agar memiliki arah hidup, rasa empati kepada sosial dan lingkungan alam serta daya cipta. Bila sekolah justru menumbuhkan ketaatan buta pada aturan maka lahirlah generasi yang kehilangan nurani,” tambahnya.

Ia menyinggung kembali pelajaran tragis dari sejarah kisah Adolf Eichmann, birokrat Nazi yang dalam Eichmann in Jerusalem (1961) digambarkan Hannah Arendt sebagai manusia biasa yang taat dan saleh, tetapi gagal berdialog dengan batinnya. Ia menjadi mesin genosida, bukan karena kebencian mendalam, melainkan karena ketidakberpikiran yang membuatnya sekadar menjalankan perintah tanpa refleksi moral (olah rasa).

“Ketidakberpikiran itu monster. Ia bisa lahir di ruang kelas ketika guru hanya mengulang rutinitas, atau di birokrasi ketika aparat terjebak hierarki tanpa makna. Jika dibiarkan, ia akan menghancurkan masa depan murid-murid kita,” tegasnya.Rizal lalu menekankan belajar adalah tindakan moral. Ketika guru tidak mengajak muridnya berpikir, berimajinasi, dan berefleksi, maka sesungguhnya mereka keluar dari ranah moralitas, meski semua itu dilakukan atas nama kurikulum. “Apakah itu merdeka yang diharapkan Soekarno dan Hatta?” tanyanya secara retoris.

Sebagai jalan keluar, Rizal mengajukan dua fondasi, yaitu dialog batin dan imajinasi moral. Dialog batin mengajarkan manusia untuk mempertanyakan diri, tentang benar atau tidaknya sebuah tindakan. Sementara imajinasi moral mengajak guru melihat dunia dari perspektif murid, sehingga penghargaan terhadap anak tidak lagi diukur sekadar dari angka rapor.

Ketika dialog batin dan imajinasi moral berpadu dengan natalitas dan ruang yang plural, maka lahirlah tindakan autentik. Natalitas adalah kesadaran bahwa setiap anak membawa potensi kelahiran sesuatu yang baru. Sementara itu, ruang yang plural adalah sebuah ruang yang menghargai perbedaan dan kesetaraan, maka lahirlah tindakan autentik. Inilah yang dibutuhkan Indonesia.

Untuk menegaskan pesannya, Rizal mengangkat teladan Siti Soendari Darmobroto, guru sekaligus wartawan yang berani memperjuangkan pendidikan kaum pribumi, nasib perempuan, dan melawan kolonialisme. Di tengah dominasi feodalisme dan patriarki, ia berani melawan arus.

“Bayangkan, di Kongres Pemuda 1928, Siti Soendari sudah membayangkan Indonesia merdeka dengan imajinasinya sendiri, bukan Indonesia buatan penjajahan Belanda. Itu karena ia berani berdialog dengan batinnya dan setia pada imajinasi moralnya, bukan pada iming-iming jabatan oleh kolonial,” tuturnya.Acara Ngkaji Pendidikan ini dibuka dengan monolog seorang siswa yang digambarkan berasal dari masa depan. Momen tersebut menjadi sebuah pengingat bahwa bila pendidikan terus terjebak dalam krisis, generasi mendatanglah yang akan menanggungnya. Tayangan prolog ditutup dengan sebuah pesan, bahwa harapan selalu ada, selama guru mau mengambil peran dan bertanggung jawab atas sejarah. Baca juga:Anggota DPR yang Dinonaktifkan Ternyata Masih Terima Gaji

Ngkaji Pendidikan ini berhasil berjalan karena adanya gotong royong dari anggota komunitasnya. Mereka mencari sponsorship secara mandiri, serta mengajak para pegiat GSM untuk mau urun dana. Acara tersebut diadakan dalam rangka mewujudkan misi dari GSM Tangerang Selatan yang ingin mendorong perubahan pendidikan di kotanya.

Seorang peserta, Yayah, guru SD dari Cirebon, menyimpulkan refleksinya. “Ngkaji Pendidikan membuat kami berpikir ulang. Pendidikan seperti apa yang ingin kita wariskan? Mungkin guru tidak turun ke jalan, tetapi energi kami disalurkan dalam diskusi, ide, dan refleksi yang tidak kalah revolusioner,” tuturnya.

Topik Menarik