Lebih dari 300 Pendidik Ikuti Pelatihan Human AI Collaboration, Komunitas IDEA Diresmikan
Di tengah perdebatan tentang peran teknologi di kelas, pelatihan bersertifikat Pendidikan Berbasis Human AI Collaboration yang digelar Cendekian Corporate Learning and Development bersama Children’s House–Cendekia Harapan berkolaborasi dengan Kreats Technology menghadirkan jawaban yang konkret.
Acara yang diikuti lebih dari tiga ratus pendidik, dengan lebih dari seratus sepuluh peserta hadir luring. Energi kolaboratif ini mengerucut pada lahirnya komunitas Indonesia Development of Education and AI atau IDEA, ruang bersama untuk menyulam praktik, etika, dan jejaring dukungan antarguru agar pemanfaatan AI di sekolah berjalan aman, efektif, dan bermakna.
Baca juga: Cara Daftar TKA 2025: Jadwal, Simulasi Online, dan Manfaat Sertifikat untuk Siswa
Sesi pembuka menghadirkan sambutan Sheena Abigail, selaku Vice Principal CH School dan COO CH Group. Ia menggarisbawahi bahwa literasi sains dan teknologi bukan sekadar keterampilan tambahan, melainkan nadi inovasi pembelajaran. Undangan Sheena tegas dan jelas: sekolah perlu bergerak serentak, bukan hanya mencoba alat, tetapi membentuk budaya kolaborasi manusia dan AI yang berpijak pada keselamatan, etika, serta relevansi bagi murid.
Keynote speech pertama disampaikan Prof Toni Toharudin, Kepala BSKAP Kemendikdasmen. Pandangannya menohok kebiasaan lama yang masih bertahan di ruang kelas. Menurut Prof Toni, masa depan pendidikan tidak bertumpu pada hafalan, melainkan pada orkestrasi kolaborasi manusia dan kecerdasan buatan. Guru diposisikan sebagai arsitek pembelajaran yang merancang pengalaman belajar kritis, kreatif, dan beretika. Ia mendorong kurikulum dan asesmen yang menumbuhkan penalaran, literasi data, serta tanggung jawab etis, sambil membangun budaya inovasi yang aman dan inklusif agar teknologi benar-benar memperkuat misi kemanusiaan pendidikan.
Pada sesi berikutnya, Lidia Sandra S, Wakil Rektor I Universitas Bali Dwipa dan CEO CH Group, menyerukan perubahan yang berakar pada tujuan pendidikan. AI, menurutnya, bukan untuk menggantikan manusia, melainkan untuk berkolaborasi dan membebaskan guru serta pelajar dari sekadar mengerjakan tugas menuju ruang berpikir, berkreasi, dan memetik hikmah.
Ia mendorong penggunaan AI yang sadar dan seimbang dengan latihan kognitif tanpa AI agar nalar tetap terpelihara, sekaligus menggeser penilaian dari produk ke proses yang mencatat iterasi, refleksi, dan batasan AI. Ajakan penutupnya sederhana namun menggelitik nurani pendidik: mulailah dengan satu langkah kecil hari ini.
Sebagai pembicara utama, Timothy Dillan, yang pada usia 19 tahun telah menempuh pendidikan doktor Ilmu Komputer dengan spesialisasi kecerdasan buatan, menawarkan lompatan praktis yang dibutuhkan sekolah. Ia menegaskan ekosistem pendidikan telah memasuki era AI first, saat standar produktivitas melesat dan cara kerja bergeser cepat.
Bukan AI yang menggantikan manusia, melainkan manusia yang memanfaatkan AI akan menggantikan yang tidak. Di ruang kelas, AI kuat dalam pengenalan pola dan kemampuan mengingat, tetapi tetap pasif sehingga manusia harus memberi konteks, niat, dan arah.
Timothy memandu guru merancang prompt yang presisi melalui kerangka enam langkah yang mencakup peran, tugas, memori konteks, instruksi, contoh, dan keluaran agar hasil AI konsisten dan siap pakai. Ia memperlihatkan generator rencana pelaksanaan pembelajaran, simulasi atau digital twin, pembuatan presentasi cepat, penilaian otomatis, serta kreasi gambar untuk menghidupkan konsep.
Semua dirajut dalam kerangka INTEGRATE yang mengalir dari Identify, Navigate, Transform, Engage, Generate, Reflect, Assess, Transfer hingga Evolve sehingga integrasi AI ke kurikulum berjalan natural. Ia juga menghadirkan sebuah bot AI kustom ala ChatGPT yang dirancang untuk kebutuhan pengajaran sehingga guru dapat menyusun materi, mengevaluasi pekerjaan, dan merancang aktivitas kelas dengan lebih efisien.










