Mengenal Asal-usul Gowok, Kamasutra Jawa dalam Budaya Kuno

Mengenal Asal-usul Gowok, Kamasutra Jawa dalam Budaya Kuno

Gaya Hidup | okezone | Minggu, 15 Juni 2025 - 20:27
share

TRADISI Jawa Gowok kembali menjadi sorotan publik setelah film garapan sutradara Hanung Bramantyo hadir di layar lebar. Film berjudul 'Gowok: Kamasutra Jawa' ini dibintangi oleh Lola Amaria sebagai Nyai Santi, sosok Gowok legendaris, serta aktor Reza Rahadian sebagai tokoh pria utama.

Tradisi Gowok dikenal sebagai salah satu warisan budaya Jawa kuno yang muncul sebelum era kemerdekaan dan masih bertahan hingga sekitar tahun 1950-an. Film ini ramai diperbincangkan karena mengangkat tema pendidikan seksual bagi remaja dan pria dewasa yang akan menikah—di mana mereka “disekolahkan” kepada seorang perempuan yang disebut Gowok untuk belajar tentang seksualitas dan kehidupan rumah tangga.

Terkait hal itu, Sejarawan UIN Raden Mas Said Surakarta Latif Kusairi, menjelaskan tradisi Gowok merupakan bentuk pendidikan informal di mana seorang pemuda, biasanya anak pejabat atau bangsawan, dibimbing oleh seorang perempuan dewasa dalam memahami peran suami, baik secara seksual maupun emosional.

“Sejauh ini kami belum menemukan babad atau serat yang secara eksplisit menggambarkan tradisi Gowok. Tradisi ini berkembang secara lisan, melalui pitutur atau cerita turun-temurun,” jelas Latif kepada Okezone, Minggu (15/6/2025).

Menurutnya, praktik Gowok berkembang di wilayah pedalaman Jawa Tengah, seperti Temanggung, Banyumas, dan Cilacap. Tradisi ini hidup di masa penjajahan Belanda hingga awal kemerdekaan, dan mulai menghilang seiring masuknya pengaruh agama yang lebih kuat serta akses informasi yang semakin luas.

“Kemunculannya diperkirakan sekitar tahun 1900-an hingga 1950-an. Tradisi ini mulai memudar ketika penyebaran agama Islam berlangsung secara masif dan masyarakat mulai memiliki akses terhadap informasi dari luar,” terang Latif, yang juga Dosen Program Studi Sejarah Peradaban Islam di UIN Raden Mas Said Surakarta.

 

Pada masa itu, wilayah pedalaman memiliki keterbatasan akses terhadap informasi dan dakwah agama. Meskipun masyarakatnya sudah memeluk ajaran agama, namun pemahaman mereka tentang syariat belum sedalam masyarakat di wilayah pesisir utara Jawa yang lebih terbuka secara mobilitas dan informasi.

“Fenomena ini hanya terjadi di kawasan pedalaman, seperti daerah Ngapak Banyumasan, Temanggung, dan Cilacap bagian dalam—bukan di kawasan pesisir selatan yang lebih mudah diakses. Ini adalah fenomena sosial yang sifatnya lokal,” ujarnya.

Mengapa Terjadi di Pedalaman Jawa?

Latif menuturkan, tradisi Gowok tidak berkembang di wilayah pesisir karena di daerah tersebut pengaruh agama dan budaya luar lebih cepat masuk. Penyebaran ajaran agama yang lebih kuat di wilayah pesisir membuat tradisi semacam ini sulit bertahan.

“Penyebaran agama di pedalaman berlangsung lebih lambat dibandingkan di Pantura. Karena itu, tradisi-tradisi lokal seperti Gowok masih bisa bertahan antara tahun 1900 hingga 1950-an,” jelasnya.

Pria Muda vs Gowok si Wania Matang 

Dia juga menambahkan, pria yang mengikuti tradisi ini umumnya sudah memasuki usia pernikahan, yakni sekitar usia 20-an. Sedangkan perempuan yang menjadi Gowok biasanya adalah perempuan dewasa berusia antara 20 hingga 40 tahun dan sudah berumah tangga.

“Meski belum ada data tertulis yang valid, dari informasi yang kami himpun, usia perempuan yang menjadi Gowok berkisar antara 20 hingga 40 tahun, dan mereka bertugas ‘mendidik’ laki-laki yang akan menikah,” pungkasnya.

Topik Menarik