Fenomena Quiet Quitting di Kalangan Gen Z Jepang, Tolak Kerja Berlebihan dan Utamakan Hidup Seimbang
Di tengah budaya kerja Jepang yang selama puluhan tahun dikenal akan dedikasi tanpa batas dan loyalitas penuh kepada perusahaan, kini angin perubahan mulai berembus dipelopori Gen Z yang memilih jalur quiet quitting. Ini merupakan sebuah fenomena yang menolak tekanan kerja berlebihan dan lebih mengutamakan keseimbangan hidup.
Quiet quitting, istilah yang pertama kali populer di Amerika Serikat pada tahun 2022, pada dasarnya menggambarkan karyawan yang hanya bekerja sesuai dengan deskripsi tugas tanpa berupaya lebih demi pujian, promosi, atau bonus. Namun di Jepang, istilah ini kini berkembang menjadi bentuk pernyataan sikap, yang mana tidak lagi mengorbankan hidup demi perusahaan, dan justru mengalokasikan lebih banyak waktu untuk diri sendiri.
Pekerja Masuk Tepat Waktu, Pulang Tanpa Drama
Fenomena ini ditandai dengan perilaku yang sederhana namun sangat mencolok dalam konteks budaya Jepang. Di mana para pekerja datang ke kantor tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan sesuai jam, dan pulang tanpa beban untuk lembur atau menunjukkan ambisi berlebihan.
Dalam survei terbaru oleh Mynavi Career Research Lab yang melibatkan 3.000 responden berusia 20 hingga 59 tahun, sebanyak 45 persen menyatakan hanya bekerja secara minimum, tanpa keinginan untuk naik jabatan atau mengejar gaji lebih besar.
Menariknya, kelompok usia 20-an adalah yang paling banyak mengakui bahwa mereka cenderung memilih bekerja secukupnya. Alasan utamanya karena mereka ingin menjalani hidup dengan lebih bermakna di luar kantor.
"Saya tidak benci pekerjaan saya, tapi saya lebih suka waktu untuk hal-hal yang saya sukai: bertemu teman, mendengarkan musik live, atau traveling," kata Issei dilansir dari DW, Rabu (28/5/2025).
Menurutnya, generasi sebelum dirinya, seperti orang tua dan kakeknya, merasa tak punya pilihan selain bekerja keras demi masa depan yang lebih stabil. Namun bagi dirinya, hidup tak bisa hanya dihabiskan untuk mengejar kenaikan gaji atau status.
"Saya rasa lebih baik menyeimbangkan pekerjaan dan hal-hal yang ingin saya lakukan di luar kantor dan saya yakin sebagian besar teman saya juga merasakan hal yang sama," jelas Issei.
Generasi Baru yang Tak Lagi Takut Dicap Malas
Studi Mynavi menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku quiet quitting melakukannya demi memiliki waktu untuk diri sendiri, sementara sebagian lainnya merasa bahwa apa yang mereka kerjakan sudah sepadan dengan gaji yang diterima. Sebagian lagi menyebut bahwa mereka kehilangan semangat karena kontribusi mereka tidak dihargai atau karena melihat karier tidak lagi menjanjikan keamanan jangka panjang.
Sumie Kawakami, dosen ilmu sosial di Universitas Yamanashi Gakuin, menilai bahwa perubahan ini merupakan hasil refleksi panjang dari generasi muda terhadap pola kerja generasi sebelumnya yang penuh pengorbanan.
"Banyak anak muda melihat orang tua mereka mengorbankan hidup mereka untuk sebuah perusahaan, bekerja lembur berjam-jam dan pada dasarnya mengabaikan kehidupan pribadi mereka," ujar Kawakami.
Ia menambahkan, janji perusahaan pada masa lalu, seperti gaji tetap, bonus besar, dan jaminan pensiun, kini banyak yang tak lagi terealisasi. Generasi muda pun enggan membayar harga mahal untuk sistem yang tak membalas dengan adil.
"Namun hal itu kini tak lagi terjadi. Perusahaan berupaya memangkas biaya, tidak semua staf memiliki kontrak dan gaji penuh sementara bonus tak lagi sebesar dulu," ungkapnya.
Pandemi dan Perubahan Prioritas
Pandemi Covid-19 turut mempercepat perubahan ini. Banyak orang muda mulai mempertanyakan makna hidup dan prioritas pribadi, termasuk nilai dari komitmen seumur hidup pada satu tempat kerja.
Izumi Tsuji, profesor sosiologi budaya dari Universitas Chuo Tokyo, mengamati bahwa keinginan untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi kini menjadi aspirasi utama. Ia menyambut baik pergeseran ini sebagai awal dari gaya hidup yang lebih sehat.
"Di masa lalu, pekerja sangat loyal terhadap pemberi kerja mereka, bekerja dalam jam panjang, melakukan lembur tanpa dibayar, dan tidak berniat pindah perusahaan," tutur Tsuji.
"Sebagai imbalannya, mereka dan keluarga mereka diberi nafkah hingga mereka pensiun," tambahnya.
Quiet Quitting Jalan Menuju Kesehatan Mental dan Sosial
Lebih dari sekadar tren kerja, quiet quitting dinilai sebagai solusi atas budaya kerja ekstrem yang selama ini telah merenggut banyak korban. Jepang mengenal istilah karoshi, yaitu kematian akibat terlalu banyak bekerja. Pada 1998, tercatat lebih dari 32.000 kasus bunuh diri, banyak di antaranya terkait dengan tekanan kerja. Meskipun angka tersebut kini menurun, fenomena itu masih menjadi pengingat kelam akan betapa beratnya beban kerja masa lalu.
"Saya menyambut baik perubahan ini karena generasi pekerja yang lebih tua akan memberikan 150 persen kepada perusahaan mereka tetapi harga yang mereka bayar adalah karoshi (istilah Jepang untuk kematian yang disebabkan oleh terlalu banyak bekerja)," tutur Kawakami.
Kini, dengan Gen Z mulai mengambil alih ruang kerja dan membawa filosofi hidup yang lebih seimbang, Jepang sedang menyaksikan transformasi budaya kerja. Mereka tidak lagi merasa harus bertahan di pekerjaan yang menguras mental dan fisik, dan justru menemukan makna hidup di luar struktur korporasi.







