Kenali Bahaya SVT, Detak Jantung Cepat yang Mengancam Hidup di Usia Muda
MENGENAL bahaya gangguan irama jantung atau aritmia, jika dibiarkan bisa mengancam hidup di usia muda. Jantung yang tiba-tiba berdebar tanpa sebab yang jelas, terutama saat tubuh dalam keadaan istirahat, dapat menjadi sinyal awal adanya aritmia.
Meskipun sering dianggap sepele, gangguan tersebut bisa mengancam nyawa, terutama di usia muda yang tampaknya sehat. Kondisi ini berpotensi serius dan memerlukan penanganan medis yang tepat untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Gangguan jantung ini tidak hanya dialami kalangan lanjut usia, tetapi juga berpotensi terjadi pada orang yang masih muda. Salah satu aritmia yang kerap muncul adalah Supraventricular Tachycardia (SVT). Pada kondisi ini, jantung berdetak sangat cepat sering muncul tiba-tiba dan hilang sendiri, membuat ini susah untuk terdeteksi. Jika ini dibiarkan dalam waktu lama, komplikasinya dapat mengakibatkan gagal jantung, stroke, hingga kematian. Obat-obatan tidak bisa menuntaskan masalahnya, yang efektif mengatasi SVT adalah prosedur ablasi.
1. Cara Mandiri Deteksi Awal Aritmia
Dikutip dari Cleveland Clinic, Jumat (23/5/2025), sekitar 1,5 hingga 5 orang diperkirakan mengalami aritmia. Namun, karena sebagian penderita tidak menunjukkan gejala, jumlah pasti kasus aritmia sulit untuk dipastikan.
“Aritmia merupakan gangguan pada irama pada jantung. Secara umum, aritmia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: irama jantung yang lebih cepat dari normal (tachycardia), lebih lambat dari normal (bradycardia), dan irama yang tidak beraturan (flutter),” ujar Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Subspesialis Aritmia dari RS Siloam, dr. Dony Yugo Hermanto, Sp.JP (K), FIHA.
Lebih jauh, dr. Dony menjelaskan bahwa cara mengukur detak jantung per menit dapat dilakukan dengan meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada nadi di bagian dalam pergelangan tangan. Hitung denyut selama 15 detik, lalu kalikan hasilnya dengan 4 untuk memperoleh jumlah denyut jantung dalam satu menit.
2. SVT dan Permasalahannya
Supraventricular tachycardia (SVT) adalah jenis aritmia yang sering terjadi, biasanya sudah ada sejak lahir namun gejalanya baru muncul saat remaja atau dewasa muda.
“SVT ditandai dengan detak jantung yang sangat cepat, lebih dari 150 denyut per menit (BPM), yang bisa membuat penderita merasakan jantung berdebar kencang. Meskipun jantung berdebar saat berolahraga atau melakukan aktivitas fisik adalah hal yang normal, detak jantung yang cepat secara tiba-tiba saat sedang beristirahat atau duduk tenang harus diwaspadai. Jika ini terjadi, segera konsultasikan dengan dokter, karena bisa menjadi tanda adanya gangguan jantung yang serius,” terang dr. Dony.
SVT dapat dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah proses degeneratif akibat penuaan yang menyebabkan perubahan pada struktur jantung.
Struktur jantung bisa dianalogikan seperti sistem kelistrikan, yang terdiri dari satu generator dan satu jalur kabel. Dalam kondisi normal, sistem ini bekerja secara terkoordinasi. Namun, jika terdapat dua generator atau dua kabel penghantar sinyal, sistem akan mengalami gangguan. Kondisi inilah yang dapat memicu gangguan irama jantung, termasuk kelainan bawaan sejak lahir.
3. Gejala dan Diagnosis
SVT biasanya ditandai dengan jantung yang berdebar kencang secara tiba-tiba. Beberapa pasien hanya merasakan ketidaknyamanan di dada, tanpa menyadari bahwa detak jantung mereka meningkat drastis, bahkan saat tubuh sedang beristirahat. Misalnya, denyut nadi yang awalnya 60 BPM bisa melonjak menjadi 82 BPM, lalu tiba-tiba mencapai 150 BPM, sebelum akhirnya berhenti secara mendadak.
Gangguan irama ini sering kali berlangsung singkat, antara 2 hingga 3 jam, dan menghilang secara spontan. Selama episode berlangsung, pasien mungkin juga mengalami sensasi ingin muntah atau batuk. Namun, karena gejalanya sering sudah hilang saat pasien tiba di rumah sakit, pemeriksaan medis tidak selalu mendeteksi adanya kelainan, sehingga hasilnya tampak normal.
Oleh karena itu, saat Anda mengalami jantung berdebar, segera ukur dan catat detaknya menggunakan smartwatch atau alat pemantau lainnya. Deteksi mandiri ini dapat menjadi data penting yang mendukung dokter dalam menentukan diagnosis secara tepat.
Dalam kasus SVT, dokter biasanya memerlukan pemantauan aktivitas jantung jangka panjang (cardiac monitoring). Untuk menegakkan diagnosis, pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat rekam jantung yang disebut elektrokardiogram (EKG).
Jika pasien terdiagnosis positif mengidap SVT, ablasi menjadi pilihan utama sebagai pengobatan pertama. Prosedur ini lebih diutamakan karena memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengobatan menggunakan obat-obatan, yang biasanya diberikan sebagai langkah kedua.
“Keluhan SVT sering ditemui pada rentang usia 20-40 tahun, dengan banyak kasus terjadi pada kaum muda. Sayangnya, di Indonesia belum ada data statistik yang mencatat prevalensinya. Saat ini, belum ada pengukuran terkait jumlah kasus SVT dalam periode waktu tertentu. Pasien yang dapat menjalani prosedur ablasi bervariasi, mulai dari anak-anak hingga lansia. Di RS Siloam TB Simatupang, prosedur ablasi bisa dilakukan pada anak berusia 5 tahun hingga pasien berusia lebih dari 70 tahun,” jelas dr. Dony.
Ablasi bukanlah operasi dengan pembelahan dada (torakotomi). Pasien diharuskan untuk berpuasa selama delapan jam sebelum prosedur ablasi dilakukan. Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan bius lokal, sehingga pasien tetap dalam keadaan sadar selama tindakan ablasi. Namun, pada pasien balita, anestesi umum akan diterapkan.
Selama tindakan, kateter dimasukkan melalui pangkal paha. Kateter yang berukuran sebanding dengan diameter pulpen ini akan melewati pembuluh darah besar menuju jantung. Setelah itu, dokter akan mengidentifikasi dan mengatasi bagian yang bermasalah yang menyebabkan gangguan irama jantung. Prosedur ini biasanya berlangsung selama 2 hingga 3 jam.
Setelah prosedur ablasi, pasien akan menjalani observasi selama 12 hingga 24 jam. Keesokan harinya, pasien diperbolehkan pulang. Kemungkinan munculnya kembali gangguan irama jantung setelah prosedur sekitar 5 hingga 10. Jika gejala kembali muncul, pasien dapat kembali kontrol ke dokter.
Dalam prosedur ini, dokter akan menghancurkan bagian kecil jaringan jantung yang menjadi sumber gangguan listrik. Salah satu risiko yang mungkin terjadi adalah jika lokasi jaringan yang perlu dihancurkan berada terlalu dekat dengan jalur utama sistem listrik jantung. Bila jalur utama ini terkena panas saat proses ablasi, fungsi penghantar listrik jantung bisa terganggu. Jika hal tersebut terjadi, dokter mungkin perlu memasang alat pacu jantung di bawah kulit untuk membantu mengatur detak jantung secara normal.
Selain itu, area pangkal paha yang digunakan untuk memasukkan kateter berisiko mengalami pembengkakan pasca tindakan ablasi.
“Prosedur ablasi menggunakan teknologi pemetaan jantung dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D). Meskipun sebagian besar prosedur menggunakan pemetaan 2D, pemetaan 3D menawarkan detail yang lebih mendalam, sehingga memungkinkan tindakan yang lebih akurat. Teknologi 3D ini umumnya digunakan untuk kasus-kasus yang lebih kompleks. Saat ini, RS Siloam telah dilengkapi dengan peralatan terbaru tiga dimensi untuk melaksanakan prosedur ablasi tersebut,” ujar dr. Dony
Segera periksakan diri jika Anda atau orang terdekat mengalami gejala SVT. Penanganan yang cepat bisa mencegah komplikasi fatal seperti stroke atau gagal jantung.