PB IDI Tegaskan Ukuran Celana Tidak Bisa Jadi Indikator Panjang-Pendek Umur Seseorang

PB IDI Tegaskan Ukuran Celana Tidak Bisa Jadi Indikator Panjang-Pendek Umur Seseorang

Gaya Hidup | inews | Jum'at, 16 Mei 2025 - 08:43
share

JAKARTA, iNews.id - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto memberikan komentar pedas terkait pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin soal ukuran celana menentukan panjang-pendek umur seseorang.

Menurut Ketum PB IDI, ukuran celana tidak bisa menjadi indikator panjang usia seseorang. Meski begitu, perut buncit memiliki risiko penyakit tertentu, salah satunya gangguan metabolik.

"Pertama, kami menyayangkan pernyataan (Menkes) tersebut. Tapi kami memahami, kan beliau orang awam. Kalau beliau orang awam, ya, seperti itu, tetapi kalau orang medis, pasti nggak seperti itu," kata Budi saat dihubungi iNews.id, baru-baru ini.

Budi menjelaskan, ukuran celana tak bisa menjadi indikator untuk melihat panjang-pendek umur seseorang. Menurutnya, banyak juga kasus orang yang memiliki ukuran celana di bawah 33 meninggal lebih dulu.

"Jadi, tidak pas beliau menyampaikan itu," ujar Budi.

Ia mengatakan, Indeks Massa Tubuh atau Body Mass Index (BMI) dipakai untuk mengukur idealnya suatu tubuh. Namun, Budi berkata, metode penghitungan tubuh ideal ini memiliki kekurangan.

"Kelemahan BMI tidak bisa menilai apakah berat badan berlebih itu karena masa otot yang berlebih atau lemak? BMI nggak bisa. BMI juga tidak bisa menilai lemak di dalam darah, lemak jahat itu nggak bisa menilai," paparnya.

Atas dasar itu, Budi menilai pernyataan Menkes soal ukuran celana di atas 33 lebih cepat meninggal dunia terlalu berlebihan. Pasalnya, banyak faktor yang menyebabkan seseorang meninggal dunia.

"Pernyataan ukuran celana di atas 33 cepat menghadap Allah SWT itu terlalu berlebihan, karena faktornya banyak sekali. Banyak, orang kurus yang ukuran celananya 27-28 tapi dia hipertensi atau diabetes, juga meninggal. Yang orang kurus olahragawan meninggal mendadak juga banyak," tegasnya.

"Jadi, untuk menilai orang sehat atau tidak, tidak hanya itu (ukuran celana). Kenapa dia nggak sekaligus ukuran baju? Tapi saya sangat memahami, insinyur Budi itu orang awam," pungkasnya.

Bahaya Punya Perut Buncit

Pria dengan perut buncit memiliki risiko masalah kesehatan yang kompleks. Menurut Dokter Djaja Surya Atmadja, perut buncit itu salah satu tanda kemungkinan sindrom metabolik.

"Biasanya gulanya tinggi, tensinya tinggi, kolesterolnya tinggi. Tiga ini saja sudah 80 penyumbang penyakit," ungkap dr Djaja dalam tayangan Youtube X-Undercover, dikutip Jumat (16/5/2025).

Ilustrasi perut buncit. (Foto: Freepik)

Jika seseorang memiliki risiko sindrom metabolik, dia berpotensi mengalami penyakit jantung, stroke, dan diabetes tipe 2. Kondisi ini sejatinya bisa dicegah dengan menerapkan pola hidup sehat setiap hari.

Misalnya saja, mengurangi makanan yang berlemak dan manis, berolahraga secara rutin, berhenti merokok, dan memastikan tidur cukup dan tidak stres.

Sindrom metabolik bukan hanya bisa dilihat dari perut buncit. Orang dengan habit gampang haus, buang air kecil sering, badan gampang capek, sakit kepala, pegal-pegal, dan sesak napas juga merupakan gejala lain sindrom metabolik.

Jika Anda mengalami tanda-tanda di atas, disarankan untuk melakukan pemeriksaan medis lebih lanjut ke fasilitas kesehatan. Pemeriksaan tekanan darah, kadar kolesterol, dan gula darah secara berkala dapat mencegah Anda memiliki risiko sindrom metabolik.  

Klarifikasi Menkes Budi Gunadi Sadikin soal Ukuran Celana Berkorelasi dengan Risiko Kematian

Sebelumnya, Menkes Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan alasan dirinya bilang pria dengan ukuran celana jeans 33 ke atas berisiko lebih cepat menghadap Allah atau meninggal dunia.

Budi menegaskan, pernyataannya itu bukan tanpa dasar medis. Ia mengungkapkan bahwa lemak yang menumpuk secara berlebihan akibat pola makan tidak sehat dapat menimbulkan lemak viseral.

Lemak viseral merupakan kondisi lemak yang menyelimuti organ-organ dalam di rongga perut. Jenis lemak ini dinilai jauh lebih berbahaya dibanding lemak subkutan yang berada di bawah kulit.

Menkes Budi Gunadi Sadikin. (Foto: M Sukardi)

"Karena dia mengeluarkan proinflamasi, sitokin, seperti Interleukin 6. Jadi memang sebaiknya kita harus menurunkan BMI (indeks massa tubuh) di bawah 24," kata Menkes di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu, 14 Mei 2025.

Menkes menambahkan, idealnya seseorang menjaga indeks massa tubuh di bawah 24 untuk menekan risiko gangguan kesehatan serius. Namun, ia mengakui bahwa konsep BMI masih belum familiar atau sulit dipahami sebagian masyarakat umum.

Oleh karena itu, Menkes memilih menggunakan contoh ukuran celana jeans atau lingkar pinggang sebagai cara komunikasi yang lebih sederhana dan mudah dicerna. Ia berharap pendekatan tersebut bisa menjadi semacam peringatan atau 'alarm' bagi masyarakat agar mulai memperhatikan kondisi fisik masing-masing.

Topik Menarik