Hari Hemofilia Sedunia 2025, Ini Penyebab dan Perkembangan Kasusnya di Indonesia
Baru-baru ini, Hari Hemofilia Sedunia atau World Hemophilia Day (WHD) 2025 diperingati, tepatnya pada tanggal 17 April 2025 kemarin.
Dalam rangka memperingati Hari Hemofilia Sedunia tersebut, Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) bekerja sama dengan PT Takeda Indonesia mengajak masyarakat untuk lebih mengenal dan peduli terhadap hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya.
Tahun ini, WHD mengusung tema “Access for All: Women and Girls Bleed Too” yang menyoroti pentingnya akses diagnosis dan pengobatan yang setara bagi semua penyandang, termasuk perempuan dan anak perempuan yang sering kali terabaikan dalam konteks gangguan perdarahan.
Lantas, apa itu Hemofilia dan seberapa banyak kasusnya di Indonesia? Berikut ulasannya, dari keterangan tertulis yang diterima Okezone, Sabtu (19/4/2025).
Hemofilia merupakan kelainan perdarahan yang pada umumnya diturunkan, di mana darah tidak dapat membeku dengan baik.
Hal ini dapat menyebabkan perdarahan spontan (perdarahan yang terjadi tanpa sebab yang diketahui) serta perdarahan setelah cedera, tindakan medis seperti pengambilan darah, vaksinasi, pembedahan, dan lainnya.
Darah mengandung sejumlah protein, di mana salah satunya adalah faktor pembekuan darah yang bertugas menghentikan perdarahan.
Hemofilia terdiri dari 2 tipe, yaitu hemofilia A (orang dengan jumlah faktor VIII yang rendah) dan hemofilia B (orang dengan jumlah IX yang rendah).
Tingkat keparahan hemofilia ditentukan oleh jumlah faktor pembekuan darah orang tersebut. Semakin rendah jumlah faktor, semakin besar kemungkinan terjadinya perdarahan spontan, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius.
Kasus Hemofilia di Indonesia
Menurut World Federation of Hemophilia, diperkirakan 1 dari 10.000 orang di dunia mengalami hemofilia. Namun, prevalensi di Indonesia masih tergolong rendah karena banyak kasus yang belum terdiagnosis.
Data HMHI tahun 2024 menunjukkan baru sekitar 11 pasien hemofilia berhasil teridentifikasi di Indonesia, atau sebanyak 3.658. Jumlah ini masih jauh dari perkiraan yang seharusnya sejumlah 28.000 pasien.
Selama ini, hemofilia diyakini hanya menimbulkan gejala pada pria dan anak laki-laki, sementara perempuan yang menjadi “pembawa” gen hemofilia dianggap tidak mengalami gejala perdarahan.
Namun, studi terkini membuktikan bahwa banyak perempuan dan anak perempuan juga menunjukkan gejala hemofilia. Sebagian dari mereka menjalani hidup selama bertahun-tahun tanpa diagnosis, bahkan tanpa menyadari bahwa mereka mungkin memiliki gangguan perdarahan.
Dr. dr. Novie Amelia Chozie, SpA(K), Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), menyoroti bahwa penanganan pasien hemofilia di Indonesia masih belum optimal.
“Banyak kasus hemofilia yang baru terdeteksi setelah pasien mengalami perdarahan berat, yang meningkatkan risiko komplikasi serius seperti disabilitas dan kematian,” ujar dr.Novie, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (19/4/2025).
“Saat ini, hanya sekitar 11 dari perkiraan total pasien hemofilia di Indonesia yang telah terdiagnosis, menunjukkan masih banyak kasus yang belum terdeteksi,” lanjutnya.
Salah satu komplikasi serius yang dapat terjadi adalah terbentuknya inhibitor, yaitu antibodi yang menghambat efektivitas terapi faktor pembekuan darah.
Penelitian yang dilakukan oleh Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2022 menemukan bahwa prevalensi inhibitor faktor VIII pada anak-anak dengan hemofilia A di 12 kota besar di Indonesia mencapai 9,6.
dr. Novie menambahkan, tantangan besar lainnya dalam manajemen hemofilia di Indonesia adalah terbatasnya akses terhadap pengobatan yang merata di seluruh wilayah.
Menurutnya, fasilitas diagnosis dan pengobatan umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara pasien di daerah terpencil masih harus menghadapi keterbatasan layanan medis, baik dari segi infrastruktur, ketersediaan obat faktor pembekuan, hingga tenaga medis yang paham tentang gangguan perdarahan.
“Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengadvokasikan hal ini demi meningkatkan diagnosis dan tatalaksana hemofilia, serta penyakit perdarahan lainnya di Indonesia,” tutupnya.
Head of Oncology & Rare Disease Business Unit PT Takeda Indonesia, Shinta Caroline, menyampaikan bahwa pihaknya memahami bahwa perjalanan para pasien dan keluarga penyandang hemofilia penuh tantangan.
“Bersama HMHI dan para tenaga medis, kami ingin meningkatkan kesadaran masyarakat, agar penyakit ini bisa dikenali lebih awal, didiagnosa dengan tepat,dan penyandang bisa mendapatkan pengobatan yang sesuai, sehingga perdarahan pada pasien hemofilia dapat ditangani dengan baik dan dapat dicegah keparahannya,” tutur Shinta.
Pentingnya advokasi hemofilia, VWD, serta penyakit perdarahan lainnya, terutama dalam peningkatan kesadaran dan tatalaksana penyakit, menggerakkan HMHI untuk meluncurkan kembali situs resmi HMHI dengan tampilan dan fitur baru yang lebih interaktif dan informatif.
Di situs ini pasien dan masyarakat dapat menemukan berbagai informasi edukatif seputar hemofilia dan penyakit perdarahan lain, termasuk cerita inspiratif dari para pasien.
Tidak hanya itu, pasien dan keluarganya juga bisa menemukan “Teman Hemofilia” yang berada di sekitar mereka, serta mendapatkan akses kontak HMHI untuk memperoleh dukungan dalam menghadapi perjalanan penyakitnya.
HMHI berharap ke depannya diagnosis hemofilia, VWD, dan gangguan perdarahan lainnya bisa dilakukan secara merata di berbagai wilayah di Indonesia.