Makna Halal Bihalal, Tradisi Lebaran yang Kental di Indonesia 

Makna Halal Bihalal, Tradisi Lebaran yang Kental di Indonesia 

Gaya Hidup | inews | Senin, 8 April 2024 - 13:25
share

JAKARTA, iNews.id - Makna halal bihalal jadi informasi yang menarik untuk diulas kali ini. Berbagai tradisi kerap dilakukan masyarakat Muslim di Indonesia.

Salah satu tradisi lebaran di Indonesia adalah halal bihalal. Tradisi ini dilakukan dengan mengunjungi rumah keluarga maupun saudara untuk bersilaturahmi. Makan bersama, membagikan THR, dan sungkeman kerap mewarnai halal bihalal.

Meski begitu, ternyata tradisi halal bihalal hanya biasa dilakukan di Indonesia. Tidak ada tradisi tersebut di negara lain, termasuk negara-negara Arab.

Makna Halal Bihalal

Menurut jurnal berjudul Makna Halal Bihalal yang dikeluarkan oleh Kemenag RI (Kementerian Agama RI), Jumat (5/4/2024), halal bihalal bisa ditinjau dari 3 pendekatan, yaitu secara hukum, bahasa, dan Al-Qur'an.

Halal bihalal berasal dari istilah kegiatan yang dilakukan dengan saling bermaaf-maafan terhadap setiap kesalahan yang diperbuat. Dengan melakukan ini diharapkan tali persaudaraan dan silaturahmi semakin baik dan terjaga.

Jika ditunjau dari sudut bahasa, halal bihalal merupakan istilah dari Bahasa Arab berarti Halla atau Halala. Kata tersebut memiliki banyak arti, yakni menyelesaikan permasalahan, mencairkan yang beku, dan meluruskan benang yang kusut.

Halal bihalal di Hari Raya Idul Fitri adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menjaga silaturahmi dan saling mengucapkan mohon maaf lahir dan batin.

Bagi umat Muslim, Hari Raya Idul Fitri dijadikan sebagai ungkapan atau rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wata'ala atas kemenangan yang diperoleh setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Nabi Muhammad Shalallahu Allaihi Wassalam memerintahkan umatnya untuk menjaga tali silaturahmi. Hal ini berdasarkan suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari,

Artinya: "Beribadahlah pada Allah SWT dengan sempurna jangan syirik, dirikanlah sholat, tunaikan zakat, dan jalinlah silaturahmi dengan orangtua dan saudara." (HR Bukhari).

Bagi seorang Muslim yang dengan sengaja memutuskan tali silaturahmi, akan mendapatkan ancaman dosa. Hal itu berdasarkan sebuah hadits, Nabi Muhammad Shalallahu Allaihi Wasalam bersabda,

- -

Artinya: "Tidak ada dosa yang lebih pantas disegerakan balasannya bagi para pelakunya di dunia -bersama dosa yang disimpan untuknya di akhirat- daripada perbuatan zalim dan memutus silaturahmi." (HR Abu Daud).

Selain pandangan di atas, terdapat pendapat lain tentang makna halal bihalal yang dilansir dari laman Muslim.

Pengertian Halal Bihalal dan Tinjauan Sejarahnya

Secara etimologis, istilah "halal bihalal" merupakan gabungan kata dalam bahasa Arab yang secara harfiah dapat diartikan sebagai 'halal dengan halal' atau 'sama-sama halal'. Akan tetapi, istilah ini tidak lazim digunakan dalam kamus-kamus bahasa Arab atau dalam percakapan sehari-hari masyarakat Arab.

Sebaliknya, di Makkah dan Madinah, para jamaah haji Indonesia, kendati memiliki keterbatasan dalam bahasa Arab, seringkali bertanya 'halal?' ketika bertransaksi di pasar atau pusat perbelanjaan.

Pertanyaan ini sebenarnya bermaksud untuk memastikan apakah penjual setuju dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga transaksi tersebut dianggap sah atau 'halal' bagi mereka. Jika penjual setuju, maka akan dijawab dengan kata 'halal'.

Begitu juga, ketika ada hidangan makanan atau minuman yang disajikan di tempat umum, para jamaah haji biasanya menanyakan 'halal?' untuk memastikan bahwa makanan atau minuman tersebut disediakan secara gratis dan sesuai dengan ajaran agama mereka.

Istilah ini tampaknya berasal dari Indonesia dan kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia, dengan makna yang berbeda, yakni "ritual meminta maaf dan memaafkan setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan, biasanya dilakukan di sebuah tempat seperti auditorium atau aula oleh sekelompok orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia."

Menurut penulis Iwan Ridwan, halal bihalal merupakan tradisi di Indonesia di mana sekelompok orang Islam berkumpul di suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan pengampunan, sehingga yang sebelumnya dianggap haram menjadi halal. Kegiatan ini umumnya dilakukan setelah pelaksanaan salat Idul Fitri. Terkadang, acara halal bihalal juga diadakan beberapa hari setelah Idul Fitri dalam berbagai bentuk seperti pengajian, acara ramah tamah, atau makan bersama.

Sejarah Halal Bihalal

Dikisahkan bahwa tradisi halal bihalal pertama kali diinisiasi oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 April 1725), yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Beliau mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana setelah salat Idul Fitri, sebagai cara untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Tradisi ini kemudian diadopsi oleh organisasi-organisasi Islam di Indonesia dengan istilah halal bihalal, dan bahkan diadopsi juga oleh instansi-instansi pemerintah dan swasta, yang melibatkan peserta dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk yang menganut agama lain.

Namun demikian, dalam konteks pandangan syariah, keabsahan tradisi halal bihalal ini dapat dipertanyakan, mengingat ketiadaannya dalam kitab-kitab para ulama. Meskipun beberapa penulis merujuk pada halal bihalal sebagai ekspresi kreativitas Indonesia dalam membumikan ajaran Islam, namun perspektif agama menegaskan bahwa penambahan tradisi baru yang jauh dari tuntunan kenabian sebenarnya dapat meragukan kesahihannya.

Oleh karena itu, dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa halal bihalal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fitri yang umum dilakukan di dunia Islam. Tradisi ini merupakan fenomena khusus yang berkembang di Indonesia, meskipun konsep bermaaf-maafan juga ditemukan dalam tradisi Idul Fitri di berbagai belahan dunia Islam.

Hari raya dalam Islam harus berlandaskan dalil (tauqifiy)

Hukum asal dalam bab ibadah adalah bahwa semua ibadah haram sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.

Perayaan hari raya (id) sebenarnya lebih dekat kepada bab muamalah. Tapi masalah id adalah pengecualian, dan dalil-dalil menunjukkan bahwa id adalah tauqifiy (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena id tidak hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Asy-Syathibi mengatakan:

.

Dan sungguh adat istiadat dari sisi ia adat, tidak ada bidah di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bidah di dalamnya. [Al-Itisham, 2/98]

Dan tauqifiy dalam perayaan id memiliki dua sisi:

Tauqifiy dari sisi landasan penyelenggaraan, di mana Nabi shallallah alaih wasallam membatasi hanya ada dua hari raya dalam satu tahun, dan hal ini berdasarkan wahyu.

: : : . : .

Anas bin Malik berkata: Rasulullah shallallah alaih wasallam datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya: Apakah dua hari ini? Mereka menjawab: Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa Jahiliyah. Beliaupun bersabda: Sungguh Allah telah menggantikannya dengan dua hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. (HR Abu Dawud no. 1134, dihukumi shahih oleh al-Albani) [Shahih Sunan Abi Dawud, 4/297]

Maka, sebagai bentuk pengalaman dari hadits ini, pada zaman Nabi shallallah alaih wasallam dan generasi awal umat Islam tidak dikenal ada perayaan apapun selain dua hari raya ini [7], berbeda dengan umat Islam zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki landasan syari.

Tauqifiy dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya.

Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur.

Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam makan minum, berpakaian, bermain dan bergembira juga tetap dibatasi oleh aturan-aturan syariah

Beberapa Pelanggaran Syariah dalam Halal Bi Halal

Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bihalal juga sering didapati beberapa pelanggaran syariah, di antaranya:

1. Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fitri

Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idul Fitri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran. Dan jadilah mohon maaf lahir batin ucapan yang wajib pada hari Raya Idul Fitri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut:

:

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallah alaih wasallam bersabda: Barang siapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya. (HR. al-Bukhari nomor 6.169)

2. Ikhtilath (campur baur lawan jenis):

Campur baur lawan jenis yang bisa membawa ke maksiat yang lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi shallallah alaih wasallam melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut:


- - - - . .


Dari Abu Usaid al-Anshari ia mendengar Rasulullah shallallah alaih wasallam berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita: Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya. Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, saking lekatnya mereka kepadanya. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani)

3. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram

Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam halal bihalal atau kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadits berikut:


: :


Dari Maqil bin Yasar ia berkata: Rasulullah shallallah alaih wasallam bersabda: Sungguh jika seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya. (HR. ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh al-Albani)

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi permasalahan dalam halal bihalal adalah pengkhususan bermaaf-maafan di hari raya. Pengkhususan ini merupakan penambahan syariah baru yang tidak didukung oleh landasan dalil.

Jadi, jika pertemuan-pertemuan yang sering diadakan untuk menyambut Idul Fitri tidak memiliki agenda bermaaf-maafan, maka pertemuan tersebut dianggap sah; karena itu merupakan ekspresi kegembiraan yang diatur oleh Islam di hari raya, dan batasannya bergantung pada adat dan tradisi masyarakat setempat.

Tentu saja, hal ini harus memperhatikan agar tidak melanggar syariah, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Selain di Indonesia, pertemuan yang biasa disebut sebagai muayadah (saling mengucapkan selamat 'id) juga ditemui di berbagai belahan dunia Islam tanpa keberatan dari ulama.


Demikian ulasan mengenai makna halal bihalal. Semoga bermanfaat! Wallahu alam.

Topik Menarik