Pengkhianatan Tak Pernah Basi
Sejarah politik diwarnai pengkhianatan. Bahkan, hubungan orang tua dan anak bisa pecah akibat kepentingan politik bernuansa pengkhianatan.
2.067 tahun lalu (44 sebelum masehi) Julius Caesar dibunuh anak angkatnya sendiri Marcus Junius Brutus. Dia bersekongkol dengan 60 orang anggota senat.
Pembunuhan terjadi di ruang senat ketika Caesar dijadwalkan memberikan pidato kenegaraan. Sekitar 23 tusukan belati menembus badan Caesar. Termasuk tusukan dari Brutus.
Sebelum mengembuskan napas terakhir, Caesar dalam nada lirih dan badan penuh luka, menatap Brutus. Dia mengucap kalimat terakhir, Tu quoque, Brute, filii mi , engkau juga, Brutus, anakku.
Dia tak menyangka. Brutus yang dianggapnya sebagai anak, tega mengkhianatinya. Dua tahun sebelum membunuh Caesar, Brutus bahkan diangkat sebagai Gubernur Gaul atau Gallia.
Sekarang, wilayah ini meliputi Italia utara, Prancis, sebagian Belgia, Swiss dan Belanda.
Setelah pembunuhan Caesar, Brutus melarikan diri ke Athena. Para pendukung Caesar di Romawi kemudian membentuk pemerintahan baru.
Sebutannya Triumvirat. Anggotanya tiga: Mark Antony, Marcus Lepidus, dan Oktavianus.
Mereka kemudian mengejar para pembunuh Caesar. Termasuk Brutus. Dua tahun, baru berhasil. Brutus tewas dalam salah satu peperangan. Dia bunuh diri karena terdesak.
Tidak ada kata-kata terakhir yang terpublikasi dari Brutus, sebagaimana kalimat terakhir Caesar yang terkenal itu.
Pemerintahan Triumvirat awalnya berlangsung lancar. Namun, ambisi politik memisahkan mereka. Tiga serangkai itu pecah kongsi. Tercabik-cabik oleh kepentingan masing-masing.
Lapidus dan Oktavianus berebut wilayah Sisilia. Lapidus mengklaim berhak memerintah penuh wilayah itu, karena dia yang pertama merebut Sisilia.
Tapi, Oktavianus tidak terima. Lapidus dianggapnya tetap sebagai bawahan. Lapidus merasa dilecehkan. Jalan keluarnya: perang. Lapidus kalah, kemudian diasingkan.
Selanjutnya, giliran Antony yang disingkirkan oleh Oktavianus. Perpecahan antara lain dipicu urusan perempuan.
Antony dianggap lebih mementingkan urusan asmara dibanding pemerintahan. Sementara Oktavianus dikenal sangat fokus.
Antony dan istrinya Cleopatra, ratu Mesir, kemudian mengalami nasib tragis. Mereka bunuh diri saat Oktavianus menginvasi Mesir.
The man last standing , Oktavianus, memerintah sendiri. Dia mendirikan kekaisaran Romawi yang bertahan ribuan tahun. Memerintah secara otokratis, dia dianggap berhasil. Dia juga meminta Senat memberinya jabatan seumur hidup.
Oktavianus atau Augustus menghargai Julius Caesar, ayah angkatnya. Nama Caesar diabadikan sebagai gelar. Nama itu kemudian mendunia dan menjadi acuan banyak pemimpin. Di Jerman disebut Kaiser, di Rusia menjadi Tsar. Di Indonesia, Kaisar.
Sejarah panjang (pengkhianatan) politik ini dirangkum dari berbagai sumber. Termasuk karya Shakespeare berjudul Julius Caesar. Karya ini dirilis tahun 1599, atau 1.643 tahun setelah kematian Julius Caesar.
Sampai sekarang, tema pengkhianatan politik, masih relevan. Di Indonesia, misalnya, kejatuhan Soeharto juga diwarnai aksi bernuansa pengkhianatan. Era Reformasi punya cerita tak kalah menarik.
Sekarang, lagu berjudul Pengkhianat yang dirilis 2015, kembali menggema. Lagu rock menggebu-gebu yang dibawakan grup Rodinda ini, seperti didaur ulang.
Kisah semacam ini seperti alamiah saja. Naluriah. Tapi, jangan dianggap normal. Atau baik-baik saja. Apalagi mengkhianati rakyat dan konstitusi. Jangan. Sekarang, jejak digital juga begitu mudah ditelusuri.
Kisah Julius Caesar dan Brutus, serta Oktavianus Augustus, yang terjadi 2.067 tahun lalu saja masih terekam. Tak pernah basi. Jadi ikon. Legend. Apalagi sekarang.










