Meski Tak Terlibat, Njoto Dilumat Prahara G30S

Meski Tak Terlibat, Njoto Dilumat Prahara G30S

Gaya Hidup | netralnews.com | Senin, 19 September 2022 - 13:06
share

JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Begitulah yang dialami korban penumpasan yang diduga terlibat dalam aksi Gerakan 30 Septembar (G30S). Masyarakat dihukum tanpa proses pengadilan dan tanpa alasan yang jelas. Dicurigai sebagai komunis cukup membuat orang tersebut dapat dibunuh.

G30S merupakan gerakan yang telah direncanakan secara tertutup. Di PKI, hanya segelintir orang saja yang mengetahui rencana penculikan Dewan Jenderal. Mereka adalah anggota kelompok kecil yang dibentuk oleh Aidit untuk mendukung aksi internal militer. Oleh karena tidak mengetahui rencana tersebut, hampir semua anggota PKI yang berjumlah lebih dari 3 juta orang itu bersikap pasif.

Namun tiba-tiba mereka diburu dan dicap sebagai gerombolan yang kejam dan gemar melakukan pembunuhan secara sadis terhadap masyarakat.

Rencana penculikan Dewan Jenderal tidak hanya dirahasiakan terhadap partai secara keseluruhan, namun ada juga di antara petinggi PKI yang tidak mendapatkan informasi tersebut, termasuk Njoto, sosok unik kesayangan Bung Karno sekaligus sosok yang berperan penting dalam perkembangan PKI dan pers.

Njoto (kadang ditulis Nyoto, red ) adalah seorang komunis. Meskipun begitu, ia adalah sosok yang penampilanya keluar dari pengotakan tersebut. Dilansir dari NJOTO: Peniup Saksofon di Tengah Prahara: Edisi Khusus Majalah Tempo Oktober 2009 , Njoto memang tak terlihat seperti orang komunis kebanyakan.

Ia sosok yang necis, kutu buku, bisa memainkan beragam alat musik, gemar menikmati seni pertunjukan dan menulis puisi yang tidak selalu tentang rakyat dan semangat perjuangan. Ia menghayati Marxisme dan Leninisme. Meskipun begitu, ia tak menganggap bahwa kapitalisme harus selalu dimusuhi.

Perjalanan Njoto hingga mencapai kedudukan penting di PKI, pers, dan Soekarno, tidaklah mecolok. Karena baik dari keterangan Windarti (adik) dan Sabar Anantaguna (temanya), arah politik Njoto memang tertutup. Ia tidak terlihat sebagai seorang aktivis, karena pada saat itu Jepang melarang pembicaraan perihal politik.

Namun diam-diam sosokya mulai melejit sejak ia terlibat dalam perebutan senjata Jepang di Surabaya, Bangil, dan Jember. Njoto pada saat naik kelas dua mengaku pamit ke rumah orang tua di Jember, namun ternyata ia pergi ke Surabaya kala revolusi membara.

Kemudian keika berusia 16 tahun, Njoto menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai wakil PKI Banyuwangi dengan mencatat bahwa ia sudah berusia 18 tahun. Njoto sebagai aktivis semakin berkembang, hingga ia dipertemukan dengan Aidit dan Lukman di Jogja karena kantor pusat PKI pada saat itu dipindahkan dari Solo ke Jogja.

Ketika Meletus peristiwa Madiun 19 September 1948, ketiganya menjadi tiang partai yang tercerai berai dan menghidupkan PKI kembali sebagai partai yang lebih besar. Pada 15 Agustus 1950 Aidit dan Lukman menerbitkan Bintang Merah .

Kemudian, 2 tahun berselang, tiga serangkai ini menjadi petinggi partai dengan Aidit sebagai Sekretaris Jenderal, Lukman sebagai Wakil Sekretaris Jenderal I, serta Njoto menjadi Wakil Sekretaris Jenderal II.

Persahabatan mereka mulai muncul percikan api akibat Njoto yang sudah beristri Soetarni menjalin hubungan spesial dengan Rita, perempuan Rusia yang menjadi penerjemah para tokoh PKI.

Aidit yang membuat aturan antipoligamI berhasil membujuk Njoto untuk mengakhiri hubunganya dan memberikan skorsing kepada Njoto. Selain masalah perempuan, Njoto juga dituduh mengkhianati PKI karena gagasan Soekarnoismenya yang dianggap mengancam partai.

Pertentangan Njoto dengan partai inilah yang membuat jabatanya sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI dilepas. Jabatan Njoto sebagai pemimpin Harian Rakjat tidak dicopot karena akan memicu konflik yang tidak menguntungkan PKI. Oleh karena itu Aidit melemahkan kekuatan Njoto dengan mencabut jabatanya di partai.

Kala berlangsung G30S, Njoto pada saat itu sedang melakukan kunjungan dinas di Medan. Hal yang Njoto lakukan ketika sampai rumahnya yakni bergegas mengajak istrinya yang sedang hamil dan enam anaknya pergi dari rumah. Njoto menitipkan keluarganya ke seorang teman di Kebayoran, sedangkan ia harus mencari tempat persembunyianya sendiri.

Meskipun berada dalam lingkar petinggi PKI, banyak sejarawan yang tidak menemukan keterlibatan Njoto dalam G30S. Hal ini karena aksi tersebut direncanakan tanpa melibatkan Njoto. John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal mengungkapkan bahwa Njoto telah dijauhkan dalam pengambilan keputusan penting PKI sejak lama.

Iskandar Subekti, yang juga seorang petinggi PKI menyatakan dalam catatanya bahwa "Dalam semua diskusi, kawan Mansur (Nyoto) oleh DN Aidit dengan sadar tidak diikutsertakan karena pertimbangan ideologis. Bagi Nyoto tidak dipercaya karna berdasarkan pengalaman lebih dianggap Sukarnois daripada Komunis (Roosa, 2008).

Sudisman, salah satu anggota Politbiro yang berhasil meloloskan diri, mengungkapkan di depan Mahkamah yang mengadilinya bahwa G30S direncanakan secara rahasia. Hal inilah yang membuat para anggota partai bersikap pasif ketika terjadi penumpasan. Ia juga memprotes penangkapan keluarga PKI yang sama sekali tidak ada kaitanya dengan urusan partai apalagi G30S.

"Apakah dosa Nyonya Njoto bersama anak-anaknya... sampai dijebloskan di tahanan sel Kodim Budi Kemulyaan?"

Memang setelah berpisah dengan Njoto, keluarga Njoto juga hidup dalam pelarian. Mereka tinggal berpindah-pindah. Namun pada akhirnya Soetarni berhasil ditangkap dan ditahan. Anak-anaknya tinggal bersama kerabat, kecuali si bungsu yang masih harus diasuh sang ibu hingga usia 4 tahun. Tempat penahanan Soetarni juga berpindah-pindah. Terhitung 11 tahun total masa penahananya.

Sedangkan mengenai nasib Njoto, ada banyak versi kesaksian mengenai pelarian, penangkapan, hingga kematianya. Namun untuk kepastianya, masihlah gelap, pun kuburannya tidak pernah ditemukan.

Njoto, seniman dan kutu buku yang pernah menduduki posisi yang tinggi di ranah perpolitikan Indonesia. Hingga kini misteri hidup dan matinya masih belum terpecahkan.

Penulis: Ays Nur Adillah

Mahasiswa Universitas Negeri Malang

Referensi

Roosa, J. 2008 Dalih Pembunuhan Massal. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia.

T empo. 2010. Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara. Seri Buku Tempo: Orang Kiri Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Topik Menarik