Asal-usul Nama Terowongan Niyama Tulungagung, yang Menelan Banyak Korban Jiwa
TULUNGAGUNG, celebrities.id - Nama Niyama dalam bendungan atau terowongan yang ada di Kabupaten Tulungagung berasal dari bahasa Jepang. Nama ini memang diambil dari bahasa Jepang, sebab terowongan dan bendungan yang dibuat dengan membelah pegunungan ini dibuat semasa penjajahan Jepang.
Sejarawan Tulungagung Latif Kusairi menjelaskan, nama Niyama sebenarnya terdiri dari dua kosakata bahasa jepang. Namun selain menyebut Niyama, ada juga yang menyebutnya Neyama, yang juga samasama dari bahasa jepang.
Niyama ini diambil dari kosakata, ni artinya dua, yama artinya gunung, ada juga yang menyebut neyama, kalau ini artinya ne itu berarti akar atau oyot pada bahasa jawa, yama berarti gunung, ucap Latif, Minggu (14/8/2022).
Dinamakan Niyama disebut Latif, karena terowongan yang membendung Kali Ngrowo ini membelah dua gunung yang disebut Gunung Tumpak Oyot.
"Kalau yang menyebut Neyama ini karena terowongan ini dibuat di Gunung Tumpak Oyot, ini yang aslinya nama dari Jepang tapi mungkin pengucapannya berubah jadi Niyama, ujar Sejarah di UIN RM. Said Surakarta ini.
Fenomena Hujan Debu Hitam di Bekasi Berisiko Sebabkan Kanker jika Lambat Diatasi, Ini Penjelasannya
Hal ini pula yang menyebabkan pembangunan Terowongan Niyama memakan banyak korban dari pekerja romusha. Hal ini terjadi karena terowongan yang dibuat menembus pegunungan dan dibuat dengan peralatan manual oleh tenaga manusia.
Bisa dibayangkan bagaimana tenaga manusia saat itu dengan peralatan manual harus membuat terowongan yang menembus pegunungan. Otomatis begitu susah, belum lagi pekerja ini tidak mendapat makanan dan minuman yang memadai dari Jepang, ujarnya.
Para pekerja juga tidak diberikan upah dan jaminan kesehatan yang layak, para pekerja yang sakit pun masih terus dipaksa bekerja dengan kondisi yang memprihatinkan. Para mandor atau pengawas dari Jepang baru mengizinkan pekerja berhenti bekerja kalau sudah tidak mampu lagi berdiri dan bergerak.
Jepang kala itu mengeluarkan peraturan kigotai tentang romusa, bahwa setiap romusa yang sakit tetapi masih bisa berdiri dan berjalan diharuskan untuk tetap bekerja kecuali tidak dapat berdiri dan bergerak, ujarnya.
Kisah pilu semakin menjadi lantaran pekerja romusha yang harus berjuang menghadapi gigitan nyamuk malaria dan dinginnya udara hutan di malam hari. Tempat tidur tanpa dinding dan hanya beratapkan jerami, menjadikan banyak pekerja sakit hingga berujung meninggal dunia.
Kalau malam mereka tidur di situ dengan tempat tidak layak dan melawan gigitan nyamuk malaria yang menyebabkan banyak pekerja meninggal dunia. Bisa dibayangkan bekerja dengan kekurangan makanan kemudian malamnya digigit nyamuk malaria yang begitu mematikan. Ada yang sakit melarikan diri, tapi akhirnya meninggal di hutan, ucapnya.
Tak ayal sejumlah pekerja yang meninggal langsung dimakamkan oleh tentara Jepang di sekitar area Terowongan Niyama. Hal ini membuat residu energi kisah kelam di Terowongan Niyama masih terasa hingga kini.
Kalau yang meninggal di hutan ketahuan warga biasanya dimakamkan, tapi kalau nggak ya membusuk jenazahnya, kalau nggak gitu dimakan binatang buas. Tidak ada upaya mengobati atau mentoleransi saat sakit, jadi sakit ya tetap harus bekerja terus, ujarnya.
Akhirnya parit dan terowongan yang dibangun oleh para pekerja ini selesai dikerjakan dan dibuka Juli 1944. Imbas dari beroperasinya saluran parit dan terowongan ini, rawarawa di sekitar Campurdarat sudah mengering, lebih dari 16.000 are tanah kemudian digunakan masyarakat menjadi sawah yang subur.
Kini meski kawasan sekitar terowongan telah difungsikan sebagai sarana pengairan dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Niyama, terowongan ini menyimpan menjadi saksi bisu bagaimana sejarah penjajahan Jepang di Indonesia.
Penelusuran di lokasi, memang residu energi begitu terasa di terowongan peninggalan zaman Jepang. Beberapa pekerja dan warga sekitar mengakui kisah mistisnya area di sekitar terowongan.
Warga menuturkan pernah mendengar suara derap langkah kaki layaknya tentara baris. Bahkan, suara-suara rintihan diduga menjadi residu energi para pekerja di masa lampau juga masih terasa.










