Sidang Korupsi Askrindo Eks Direktur Operasional Ritel Ungkap Upaya Pengamanan Perkara
Eks Direktur Operasional Ritel PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) Anton Fadjar Alogo Siregar membongkar ada upaya pengamanan perkara di Kejaksaan Agung (Kejagung).
Anton menyebut, pengamanan perkara diinisiasi oleh Direktur Teknik PT Askrindo M. Saifie Zein dan Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) PT Askrindo Mitra Utama (AMU) Firman Berahima.
Hal itu disampaikan saat Anton diperiksa Jaksa Penuntut Umum pada Kejagung sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi pengeluaran komisi agen secara tidak sah pada 2019-2020.
Awalnya Anton menjelaskan, sebelum kasus ini naik penyidikan, dia sempat dipanggil oleh seluruh Komisaris dan Direksi PT Askrindo untuk dikonfirmasi terkait pengeluaran komisi agen yang menjadi temuan audit internal.
Secara jujur saya cerita pernah terima titipan biaya operasional totalnya 538 ribu dolar Amerika dan sudah dikembalikan ke Dirutnya PT AMU, kata Anton, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Saat itu semua pihak satu suara bahwa tidak ada masalah, karena uang telah kembali. Namun, dia diminta menghubungi pihak lain yang turut menerima uang agar mengembalikannya.
Mereka yang turut menerima adalah Direktur Pemasaran PT AMU Wahyu Wisambada, Direktur Operasional Komersil Askrindo Dwi Agus Sumarsono, M. Saifie Zein dan Firman Berahima. Tapi semua menyatakan belum bisa mengembalikan, ujar Anton.
Anton lalu melaporkannya kepada komisaris. Namun, Ia justru dimarahi. Komisaris bilang, kalau itu tidak dikembalikan nanti bisa jadi masalah hukum, ungkapnya.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Maret 2021, Anton mendapat informasi Kejagung sedang melakukan penyelidikan terkait pengeluaran komisi agen.
Terkait itu, Anton diundang Firman untuk bertemu di Bambu Apus, Jakarta Timur. Dia pun mengkonfirmasi undangan tersebut kepada Kepala Divisi PT AMU, Novian Triantono dan Direktur Utama PT Askrindo, Frederik Carlo Viktorio Tassyam.
Katanya memang ada pertemuan di Bambu Apus di rumah saudara Guntur. Saya nggak kenal Guntur itu siapa, katanya.
Anton pun mendatangi undangan tersebut. Sesampainya di lokasi, sudah ada Divisi Hukum Askrindo beserta tim dan direksi lainnya. Mulai dari Dwi Agus, Frederik, Wahyu dan Novian.
Ikan Salmon Vs Ayam, Lebih Sehat Mana?
Pertemuan itu dipimpin Saifie dengan memperkenalkan Guntur sebagai mitra atau kenalannya yang bisa membantu permasalahan hukum PT Askrindo dan agennya, PT AMU.
Jadi pertemuan itu menyamakan persepsi untuk mencari solusi penyelesaian agar permasalah di Kejagung ini tidak berkembang, ungkap Anton.
Setelah pertemuan di Bambu Apus, Anton menyebut Firman kembali mengundangnya untuk menghadiri pertemuan berikutnya.
Dalam pertemuan itu, tim divisi hukum Askrindo turut hadir dan menjelaskan bahwa mereka belum mempunyai dana untuk membantu pengurusan masalah di Kejagung. Sehingga diharapkan direksi bisa berpartisipasi, ujarnya.
Kemudian, Saifie Zein meminta Anton untuk patungan. Kesepakatannya, masing-masing Direksi Askrindo menyumbang Rp 1 miliar, Direksi PT AMU Rp 500 juta dan kantor-kantor cabang nantinya juga diminta partisipasi.
Anton awalnya tidak ingin membantu, namun karena terus ditagih, Ia pun menyerahkan sejumlah uang kepada Saifie Zein melalui Firman Berahima. Nilainya 35 ribu dolar AS, itu pakai duit pribadi saya. Harapannya penyelesaian kasus ini bisa selesai, beber Anton.
Ia mengungkapkan, uang itu akan digunakan Saifie Zein dan Guntur agar dugaan korupsi di PT Askrindo dan PT AMU dapat segera terselesaikan. Meski sudah menyerahkan uang, Anton belum lepas dari tagihan. Ia tetap diminta Firman dan Saifie untuk bertemu.
Pernah satu kali saya dengan Dwi Agus dipanggil Saifie Zein ke rumahnya, menyampaikan bahwa kami harus menyerahkan lagi senilai Rp 600 juta. Rp 300 juta saya, Rp 300 juta Dwi Agus, tutur Anton.
Permintaan itu pun dituruti. Namun, Dwi Agus hanya menyerahkan setengahnya. Jadi total yang saya serahkan ke Saifie Zein yang (termasuk) bagian melalui Firman itu adalah Rp 800 juta, ungkap Anton.
Mendapati pengakuan itu, tim kuasa hukum Anton, Zecky Alatas mengkonfirmasi soal besaran uang seluruhnya yang pernah dikeluarkan kliennya. Sebab berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), kliennya menyerahkan bantuan sebesar Rp 1,550 miliar.
Anton lalu menjelaskan, dari total itu Rp 800 juta merupakan biaya pengurusan perkara. Sisanya, merupakan pinjaman untuk mengganti uang komisi agen yang diterima Dwi Agus dan Saifie Zein.
Dwi Agus, kata Anton, tidak bisa mengganti uang komisi agen yang diterima sebesar Rp 2,5 miliar. Sedangkan Saifie Zein, tidak bisa mengembalikan uang Rp 1 miliar.
Pinjaman itu kemudian dikoordinir Firman Berahima, yang menyebutkan untuk mengganti uang Dwi Agus, kelima Direksi PT Askrindo diminta patungan masing-masing Rp 500 juta. Sementara untuk mengganti uang Saifie Zein, diminta Rp 250 juta.
Ketika meminta uang, Firman menegaskan bahwa Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan segera melakukan audit terhadap keuangan PT Askrindo dan PT AMU.
Jadi mesti ada dana itu tersedia disitu. Kalau nggak nanti akan jadi masalah. Nah saya tentunya berpikir positif saja. Ada baiknya kalau saya ikut membantu dengan pola pinjaman lah yang penting masalah ini tidak berkembang, bisa selesai, tuturnya.
Atas pengakuan itu, Zecky Alatas memohon dan meminta Majelis Hakim agar memerintahkan Jaksa melakukan penyidikan kembali terhadap Dwi Agus Sumarsono dan Saifie Zein.
Mereka memiliki peran penting dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi PT AMU dan menerima serta menggunakan dana biaya operasional PT AMU, tandas Zecky.
Jaksa sebelumnya mendakwa Fadjar Alogo Siregar, Wahyu Wisambada dan Firman Berahima, melakukan korupsi bersama sama dengan I Nyoman Sulendra (Dirut), Frederick Tassam (Dirut), Dwikora Harjo (Dirut), dalam kurun waktu 2019-2020.
Dalam uraian jaksa, akibat perbuatannya telah memperkaya Anton Fadjar senilai 616.000 dolar Amerika dan Rp 821 juta, memperkaya Firman Berahima 385.000 dolar Amerika dan merugikan negara Rp 604,6 miliar.
Ketiganya didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) Juncto Pasal 18 dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.










