Mengintip Sosok dan Hobi Pangeran Diponegoro
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Sebelum Perang Jawa (1825-30) meletus, Pangeran Diponegoro lebih suka berdiam di Tegalrejo dari pada tinggal di Keraton Yogyakarta. Dia baru datang ke keraton apabila Sultan Hamengku Buwono III memanggilnya untuk membicarakan hal-hal penting mengenai pemerintahan. Dia selalu mendampingi ayahandanya dalam mengatasi segala kesulitan.
Ketika tinggal di Tegalrejo, Sang Pangeran lebih suka memelihara kuda-kuda hebat yang menjadi tunggangannya. Ketika Tan Jin Sing warga keturunan Cina yang dahulu sebagai kapten Cina Di Yogyakarta bertandang ke Tegalrejo menjelang pernikahan Sang Pangeran dengan Raden Ayu Maduretno, putri mendiang Tumenggung Ronggo Prawirodirjo III, Tan Jin Sing melihat dua ekor kuda di taman samping yang sedang merumput.
Saat itu, Tan Jin Sing yang baru saja diangkat Sultan ketiga menjadi bupati miji dengan gelar Raden Tumenggung Secodingrat teringat bahwa Pangeran Diponegoro adalah penggemar kuda. Untuk itulah kemudian Tan Jin Sing memberikan kuda terbagus miliknya sebagai hadiah pernikahan yang bernama Kiai Gitayu yang jika lari seperti terbang.
Kiai Gitayu, kuda berwarna hitam dan kekar inilah saat Perang Jawa membantu Sang Pangeran dalam bertempur melawan Kolonial Belanda. Sang Pangeran memang sangat tangkas menunggang kuda. Dengan Kiai Gitayu, Sang Pangeran sering menghindari pengejaran tentara kolonial di medan yang sulit.
Kiai Gitayu dan Pangeran Diponegoro diabadikan oleh pelukis kenamaan Basuki Abdullah (sekitar 1915-1993) pada tahun 1940 dengan judul Pangeran Diponegoro Memimpin Pertempuran. Lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 150 x 120 cm ini dahulu koleksi Bung Karno dan sekarang tersimpan di Istana Bogor.
Kegemaran Sang Pangeran terhadap kuda juga diketahui oleh Jenderal De Kock. Ketika Sang Pangeran di Metesih menghabiskan bulan puasa sebelum perundingan di kediaman residen Magelang.
De Kock menunjukkan sikap bersahabatnya dengan memberikan hadiah kegemaran Sang Pangeran berupa seekor kuda berwarna abu-abu yang bagus dan uang 10.000 gulden yang diberikan dua tahap untuk biaya para pengikutnya selama bulan puasa.
Hobi di Tegalrejo selain berkebun, Sang Pangeran juga gemar memelihara burung, khususnya tekukur batu. Di Tegalrejo, dia juga memiliki penyu dan ikan mas di kolamnya.
Selama di pengasingan Fort Nieuw Amsterdam di Manado (Juni 1830-1833), Sang Pangeran banyak menghabiskan waktu dengan kakaktuanya yang berbulu putih. Ketika pengasingan berpindah ke Makassar di Fort Rotterdam (1833-1855) kakaktuanya itu juga selalu mendampinginya sehingga disebut sebagai sahabatnya.
Hobi lain dari Sang Pangeran adalah bermain catur. Lawan tanding favoritnya adalah perempuan bangsawan yang bernama Raden Ayu Danukusumo ibu dari mendiang Patih Danurejo II yang dihukum mati pada tahun 1811 oleh Sultan kedua karena dianggap memihak kolonial.
Kesenangan Sang Pangeran yang lain adalah makan sirih. Dia mengukur waktu yang dibutuhkan untuk seracikan kapur, sirih dan pinang.
Kegemaran lain dari Diponegoro adalah merokok. Dia membuat sendiri rokok favoritnya dengan meracik tembakau dan cengkeh yang dibungkus dengan daun jagung yang sudah kering (klobot).
Diponegoro dikenal memiliki selera yang baik terhadap anggur. Dia sangat menikmati ketika meminum anggur manis Constantia Vin de Constance (Chardonnay) dari perkebunan anggur yang terkenal di Groot Constantia, Cape, Afrika Selatan. Anggur ini memiliki sentuhan akhir seperti madu sehingga disukai oleh para pemimpin Eropa.
Memang budaya minum seloki anggur dibawa orang-orang Belanda ke dalam keraton. Pangeran Mangkubumi sebelum meninggalkan Keraton Surakarta dan berperang melawan kolonial juga sempat meminum seloki anggur tos (membenturkan gelas satu dengan gelas lain) bersama Gubernur Jenderal van Imhof.
Bahkan, dalam upacara garebeg di keraton Yogyakarta, cara Belanda mengucapkan selamat atas keberhasilan menyelenggarakan Garebeg Maulud Nabi dengan tos minum anggur bersama-sama dengan Sultan dan bangsawan lainnya. Diponegoro merujuk anggur sebagai obatnya agar bisa mengakali larangan Nabi Muhammad untuk mengkosumsi alkohol.
Untuk benda-benda pusaka, Diponegoro mengoleksi selubung keris (warangka) yang terbuat dari emas dan juga beberapa perhiasan. Beberapa warangka itu dibuatnya sendiri.
Diponegoro juga suka batu akik. Dia pernah mengirim batu akik berwarmna hitam kepada ibunya Raden Ayu Mangkorowati di Jawa, ketika Sang Pangeran dalam pengasingan di Makassar.
Berbicara tentang sosok Diponegoro, menurut sumber-sumber Belanda Pangeran Diponegoro bertubuh gempal dan tinggi badannya sedang, tidak pendek juga tidak tinggi untuk seukuran orang Jawa.
Dalam hal tampang, Pangeran Diponegoro tidak bisa disebut ganteng. Tetapi dia mempunyai daya tarik pribadi yang kuat, sehingga membuat perempuan-perempuan terpikat dengannya karena kharismanya yang kuat.
Diponegoro dinilai sosok yang cerdas dan daya intuisinya dapat menangkap watak orang dari wajah mereka. Ilmu ini dikenal dengan ilmu firasat.
Pada awal Perang Jawa Sang Pangeran dalam babadnya ( Babad Diponegoro versi Manado) memilih para pejabat, panglima dan penasehat agama semata-mata berdasarkan ilmunya melihat wajah seseorang.
Dengan metode itu biasanya dilakukan dengan tepat. Diponegoro juga ditakuti karena memiliki kebiasaan menjatuhkan kutukan kepada siapapun yang tidak menepati janji atau yang menghianati dia.
Kelebihan lain dari Sang Pangeran adalah seorang orator yang mumpuni. Dia memiliki kemampuan berbicara dengan setiap jenis orang baik pria maupun wanita.
Dia bisa bergaul dengan kalangan santri, orang rendahan apalagi dengan sesama bangsawan. Hebatnya dia juga dapat bergaul sesuai tata cara orang Eropa.
Diponegoro dalam berbicara selalu menggunakan bahasa Jawa tinggi (kromo inggil) kepada para penguasa Belanda. Dia juga pernah meminta agar para orang-orang Belanda yang menjadi tawanannya mengenakan baju Jawa.
Penulis: Lilik Suharmaji
Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.









