Sembahyang Arwah, Membakar Kiriman kepada Leluhur

Sembahyang Arwah, Membakar Kiriman kepada Leluhur

Gaya Hidup | BuddyKu | Senin, 1 Agustus 2022 - 06:36
share

RADAR JOGJA Ada suasana berbeda di Kelenteng Poncowinatan, Jogja, Jumat malam (19/7) itu. Keluarga Amin Kartawijaya Wasiono Putra, sedang melaksanakan ritual yang kini sudah jarang dilakukan warga Tionghoa. Namanya Sembahyang Arwah, yang hanya dilakukan setahun sekali. Digelar pada tanggal 1 atau 15 bulan ke-7 penanggalan Tiongkok. Tahun ini, hanya keluarga Amin yang melakukan.

SITI FATIMAH, Jogja, Radar Jogja

Langit sudah terpoles senja, ketika Amin Kartawijaya datang ke Kelenteng Poncowinatan, Jetis, Kota Jogja. Bersama empat anggota keluarganya, pria 49 tahun itu bergegas masuk kelenteng, lewat pintu barat.

Sesaat sesudahnya, dua pengurus klenteng keluar, membawa lembaran seng yang dibentang di muka halaman. Sementara pengurus lain menyalakan dupa di empat penjuru angin. Setelahnya mulai diletakkan meja menghadap barat. Lalu, kudapan manis dan buah segar turut ditata sebagai pelengkap, mengiring sepasang boneka kertas yang dilengkapi dengan foto di tengah meja.

Amin dan keluarganya kemudian keluar kelenteng dari pintu timur. Masing-masing membawa replika. Mulai dari yang berbentuk rumah, mobil, koper, baju, perhiasan, uang, dan pendukung lain. Replika itu dibuat dengan rangka bambu yang dihias kertas. Semuanya ditata di atas lembaran seng yang menghadap ke timur. Keluarga yang sejak lahir tinggal di Jogja ini pun dibantu beberapa pengurus kelenteng, dalam menentukan susunan replika.

Saat matahari tenggelam sempurna, seorang pemimpin upacara keluar dan memulai ritual. Amin dan keluarganya tampak kebingungan. Dua anak perempuan yang turut, bahkan lebih sibuk merekam kegiatan ritual. Pemimpin upacara lantas berlaku sebagai penuntun keluarga. Usai berdoa, Amin dan istrinya maju ke replika. Di genggaman mereka menyala api dalam tumpukan kertas kuning. Kemudian nyala itu disambarkan pada tumpukkan replika.
Kami menjalankan ritual itu untuk mertua saya, karena mertua saya dulu sering ke kelenteng. Ibadahnya memang di kelenteng, beber Amin kepada Radar Jogja usai penyelenggaraan ritual (29/7).

Ayah dua anak itu mengaku, kini dirinya sudah jarang ke kelenteng. Tapi, pesan dari sang mertua selalu diingat olehnya. Kalau memberi nasihat, selalu hubungannya dengan Thien Kung dan Kwan Im. Bahkan dulu istri kalungnya adalah Dewi Kwan Im, kenang Amin.

Kini, setahun lepas kepergian mertua, Amin mengenang ritual yang pantas. Penghormatan yang kemudian dipilih adalah Ritual Cioko. Sebagian pelestari budaya Tionghoa mengenalnya sebagai Sembahyang Arwah atau Sembahyang Rebutan. Ritual ini hanya dilakukan pada bulan ke-7 dalam penanggalan Tiongkok. Bertepatan dengan nama bulannya, yaitu Bulan Arwah. Kami menjaga keyakinan dari orang tua dan menjaga tradisi. Meskipun posisi kami sendiri jarang ke kelenteng, lontarnya.

Kakak Amin Dwi Buntoro Wasiono Putro pun mengungkap, persiapan dilakukan dalam waktu sekitar 1,5 bulan. Lantaran peranti yang dipersembahkan harus dipesan dari Semarang. Selain itu, pakaian yang dipersembahkan, sebagiannya merupakan asli milik almarhum. Kami mendatangkan dari Surabaya, beber pria 52 tahun itu.

Sensen, petugas di Kelenteng Poncowinatan menegaskan, Sembahyang Arwah cuma dilakukan setahun sekali. Hanya digelar pula pada tanggal 1 atau 15 bulan ke-7 penanggalan Tiongkok. Itu pun sudah langka penyelenggaraannya di Jogja. Tahun ini, hanya keluarga Amin saja yang melaksanakannya. Sementara selama dua tahun lalu, sama sekali tidak dilaksanakan. Tradisinya memberi kiriman pada leluhur. Ini tradisi Tionghoa. Malam ini bulan ke-7 hari pertama. Pintu nirwana dibuka, tandasnya. (laz)

Topik Menarik