Sentot Itu Pejuang atau Pengkhianat?

Sentot Itu Pejuang atau Pengkhianat?

Gaya Hidup | netralnews.com | Sabtu, 23 Juli 2022 - 16:06
share

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Beberapa waktu yang lalu kita sudah membahas tentang Kiai Mojo sebagai salah satu pilar kekuatan Pangeran Diponegoro (baca DI SINI ), tetapi akhirnya persekutuan keduanya kandas sebelum perjuangan berakhir karena adanya perbedaan pandangan yang harus memaksa mereka untuk berjalan sendiri-sendiri sesuai pendiriannya.

Dalam tulisan ringan kali ini, saya akan mengupas tentang salah satu panglima Sang Pangeran yang terkenal yaitu Sentot Prawirodirjo (1808-1855).

Sebenarnya Sentot di mata Sang Pangeran bukan lagi orang baru, karena sejak Sang Pangeran menikah dengan Maduretno, putri idolanya Raden Ronggo Prawirodirjo III, Maduretno membawa adik lain ibu yang bernama Sentot Alibasyah Prawirodirjo, yang juga putra mendiang Raden Ronggo Prawirodirjo III ke Tegalrejo. Saat itu Sentot masih berusia 6 tahun. Sentot memang besar di Tegalrejo hingga meletusnya Perang Jawa.

Ketika Sentot menginjak usia 20 tahun, dia tampil sebagai perancang strategi utama dan senopati perang bagi pasukan Diponegoro.

Sentot menjadi terkenal karena keberanian dan mutu kepemimpinannya dalam setiap pertempuran. Untuk itulah seorang perwira Belanda De Stuers, memujinya setinggi langit yang digambarkan sebagai pemuda yang berapi-api dan seorang Jawa yang cermerlang.

Di awal Perang Jawa sekitar bulan Juli 1826, pasukan Pangeran Diponegoro memperoleh banyak kemenangan dalam setiap pertempuran. Kemenangan-demi kemenangan itu tidak terlepas dari peran panglima perangnya, Sentot Alibasah. Mereka dapat menguasai daerah antara sebelah timur Sungai Progo membentang ke timur hingga perbatasan Surakarta.

Pertempuran heroik yang dilakukan oleh Sentot adalah ketika menghadapi pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal van Green.

Pada 8 Juli 1826, Belanda melancarkan serangan besar-besaran yang dipimpin oleh Mayor Jenderal van Green di Dekso, daerah rencana yang akan didirikannya keraton Diponegoro. Saat itu Belanda didukung oleh pasukan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Arya Panular dan Pangeran Murdaningrat yang masih eyangnya Pangeran Diponegoro.

Pangeran Arya Panular adalah salah satu putra Sultan Mangkubumi, penulis Babad Bedah Ing Ngayogyakarta. Tetapi, setelah dilakukan serangan di Dekso, ternyata Diponegoro dan pasukannya sudah mengosongkan Dekso dan melakukan perang gerilya.

Pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jenderal van Green kembali ke Yogyakarta. Sementara Pangeran Panular dan Pangeran Murdaningrat beserta pasukannya diperintah oleh Mayor Jenderal van Green untuk tetap di Dekso mengantisipasi apabila pasukan Diponegoro kembali ke Dekso.

Ketika kembali ke Yogyakarta, Mayor Jenderal van Green dan pasukannya dalam perjalanan di daerah Kasuran Minggiran Sleman disergap oleh pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Sentot Prawirodirjo. Dalam penyergapan itu banyak tentara Belanda yang tewas, sedangkan Mayor Jenderal van Green sendiri dapat meloloskan diri dan kembali ke Yogyakarta.

Setiba di Yogyakarta, Mayor Jenderal van Green kemudian memerintahkan melalui kurirnya agar pasukan yang berada di Dekso mulai bergerak ke Yogyakarta agar di Dekso tidak disergap oleh pasukan Diponegoro.

Pada tanggal 30 Juli 1828, pasukan yang dipimpin Letnan Haubert, Pangeran Panular dan Pangeran Murdaningrat dalam perjalanan ke Yogyakarta disergap pasukan Diponegoro di Lengkong, daerah perbatasan Sleman dan Kedu, dipimpin oleh Diponegoro dan Sentot Prawirodirjo.

Penyergapan ini membuat pasukan Belanda kocar-kacir dan menewaskan Letnan Haubert, Pangeran Panular, dan Pangeran Murdaningrat. Tentu saja meninggalnya para panglima perangya ini membuat Jenderal De Kock terpukul sehingga mencari jalan untuk mengalahkan pasukan Diponegoro.

Kemenangan pasukan Diponegoro dalam pertempuran lain adalah di Bantul pada 4 Agustus 1826, di Kejiwan 9 Agustus 1826, dan di Delanggu pada 28 Agustus 1826.

Setelah kemenangan demi kemenangan dalam kurun waktu 15 bulan, rupanya angin mulai berbalik arah. Belanda mulai menarik pasukan yang di luar Jawa dan mengerahkan tentaranya yang baru datang dari Eropa. Mereka mulai menekan pasukan Diponegoro di mana-mana sehingga keadaan pasukan Diponegoro situasinya semakin sulit.

Dalam keadaan yang sulit itulah pada akhir 1828, Sentot menulis surat kepada Diponegoro meminta pasukan tempur di bawah langsung pimpinannya dan meminta izin memungut pajak dari rakyat secara langsung kepada para warga yang simpati pada perjuangan Diponegoro untuk keperluan operasional prajuritnya.

Sebenarnya permintaan Sentot memungut pajak secara langsung ini tidak disukai oleh Sang Pangeran. Menurut Sang Pangeran, tidak mungkin seorang panglima perang membawa pedang dan menggenggam uang secara bersama-sama. Karena jika itu dilakukan maka naluri bertempurnya akan luntur karena sudah tidak fokus dengan pekerjaan profesionalnya sebagai seorang prajurit.

Karena mendapat desakan dari Sentot, maka dengan berat hati Sang Pangeran mengabulkan permintaan Sentot yang memegang pedang sekaligus menggenggam uang.

Benar saja setelah diperbolehkan memungut pajak, naluri bertempurnya Sentot semakin memudar. Diponegoro dibuat jengkel setelah mendapat kabar bahwa anak buah Sentot dalam memungut pajak rakyat kecil dengan semena-mena.

Setiap pertempuran yang dipimpin Sentot berakhir dengan kekalahan. Ketika melakukan serangan ke benteng Belanda di Nanggulan Kulonprogo, Sentot dan pasukannya mengalami kekalahan telak. Hal inilah yang kemudian Sang Pangeran mencela ketidakmampuan Sentot memimpin pertempuran.

Karena Sentot semakin tidak disukai Sang Pangeran, dia mulai mendekati Belanda untuk mengadakan perundingan damai. Akhirnya Sentot menyerah pada 16 Oktober 1829 berdasarkan syarat-syarat perundingan yang menguntungkannya.

Sentot menawarkan perundingan perdamaian dengan bersyarat yaitu dirinya diberi pasukan sebanyak 500 personil. Beaya operasional pasukan ditanggung oleh gubernemen.

Tidak hanya itu saja, Sentot juga mendapat pangkat letnan kolonel dan mendapat gaji secara teratur perbulannya sebesar 5.000 gulden (sekarang sekitar 750 juta). Suatu gaji yang sangat fantastis untuk seorang yang buta huruf pada masa itu dan masa sekarang. Sentot kemudian ditugaskan oleh Belanda ke Sumatera untuk memerangi orang-orang Padri (1832-1833).

Sementara itu di saat bersamaan, Sang Pangeran menderita luka di kaki dan mengidap penyakit malaria, serta harus mengembara menyusuri hutan Bagelen barat yang hanya ditemani abdi setianya Bantengwareng dan Joyosuroto (Roto), untuk menghindari kejaran dan penangkapan dari prajurit Belanda.

Pengembaraan itulah yang menuntun Sang Pangeran ke kawasan Remo suatu wilayah antara Bagelen dan Banyumas yang nantinya berlanjut pada perundiangan perdamaian hingga penangkapannya di Magelang.

Saat di Sumatera, ketika melawan orang-orang Padri, Sentot luluh hatinya sehingga dia bergabung dengan orang-orang Padri serta berbalik melawan Belanda. Mendengar itu tentu saja Jenderal De Kock marah bercampur kecewa terhadap Sentot. Dia kemudian dikejar dan ditangkap oleh pasukan Belanda.

Setelah berhasil menangkap Sentot, Belanda memutuskan membawanya ke Cianjur dan selanjutnya dibuang ke Bengkulu hingga menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 1855.

Apakah Sentot seorang pejuang atau pengkhianat? Tentunya pembaca sendiri dapat menyimpulkannya.

Penulis: Lilik Suharmaji

Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.

Topik Menarik