Bertemu di Bus, Berpisah di Terminal

Bertemu di Bus, Berpisah di Terminal

Gaya Hidup | netralnews.com | Minggu, 17 Juli 2022 - 12:21
share

JAKARTA - Suara mobil polisi di samping mobil gue menambah kemacetan Jakarta yang semakin enak untuk dinikmati. Ditambah suara bajaj zig-zag berebut penumpang.

Begitulah kalau telat keluar rumah lima menit aja, udah beda banget di jalanan. Apalagi udah macet, posisi di belakang truk yang asapnya hitam kayak cumi-cumi. Komplit deh kenikmatan pagi ini.

Nengok ke kanan, ada mobil bagus. Di bagian belakang mobil duduk tante-tante dengan sanggul tinggi lagi dandan. Nengok ke kiri, mobil pick up yang sopirnya lagi ngusap keringat pakai handuk yang melingkar di lehernya.

Akhirnya pandangan gue jatuh ke pantat truk. Biasanya di belakang truk tuh banyak tulisan yang lucu-lucu. Tapi kali ini gue jadi ingat pada peristiwa SMA, sewaktu gue jalan-jalan bersama dua sahabat deket gue . Liburan kelas 2 naik ke kelas 3 SMA.

Sekitar jam tiga sore waktu itu kita udah kumpul bertiga di depan terminal bus Kalideres. Setelah tawar menawar, akhirnya kita memutuskan dan naik bus menuju Padang Panjang, desa kelahiran opa gue .

Sengaja kita duduk sendiri-sendiri, berharap yang duduk di samping kita cewek cakep dan wangi. Hehehe . Andra langsung duduk di bangku nomor dua dari depan. Gue persis di belakang dia. Sedangkan Si A\'an duduk nomor satu di belakang sopir.

"Kalau dilihat dari penampilan sih, kayaknya Si A\'an dapet TanGir nih," kata Si Andra sambil ngakak .

" Elo, gue sumpahin dapet nenek-nenek yang suka nyirih ," bales Si A\'an sewot.

Belum selesai kita ketawa, masuk nenek-nenek berpakaian ala Nyai Dasima zaman Belanda dulu. Ia bersama cucu perempuannya yang putih, mata sipit, kayak keturunan Cina campuran.

Rezeki anak saleh, neneknya duduk sama Andra, cucunya duduk sama gue . Si A\'an ketawa ngakak enggak berhenti. Sampai akhirnya sang sopir buka suara.

" Kalo lo ketawa terus, gue nggak akan jalan," kata Si Sopir sambil melotot ke Si A\'an.

A\'an langsung diem , padahal biasanya paling berani kalau lagi tawuran. Maklum anak tentara. Mungkin karena dia pengen cepet-cepet bus ini jalan.

Setelah lima belas menit meninggalkan Kalideres, gue masih mikir , mau mulai ngomong apa ya? Cewek cantik banget. She\'s out of my league . Ah, daripada usaha juga enggak mungkin dapet, mending lupain aja lah.

Gue keluarin buku TTS yang dibeli tadi di Kalideres. Gue cuma bisa lihat-lihat doang TTS ini, karena enggak punya pulpen. Ngapain juga bawa pulpen pas liburan. Ya enggak sih ?

Tiba-tiba Si Cewek ngeluarin pulpen dan menyodorkannya ke gue .

" Makasih. "

Tanpa ragu-ragu gue ambil. Tapi sebelum gue pegang itu pulpen, dia tarik tangannya, sehingga pulpen itu menjauh dari gue .

"Saya kasih pinjem ini pulpen, tapi kita isi TTS-nya berdua," kata Si Cewek tanpa senyum sedikit juga.

"Iya-iya boleh, saya yang nulis atau kamu?" Sambil nggak percaya kalau itu cewek ngomong sama gue .

"Kamu aja , tulisan kamu bagus pasti," balasnya sambil pakai senyum sedikit.

"Pulau tempat pembuangan Napoleon, empat huruf?" kata gue sambil mau langsung nulis .

"Elba," kami jawab bersamaan dan tertawa. Pecah sudah suasana tegang.

A\'an dan Andra berbarengan nengok ke arah gue dengan raut muka iri. Hehehe.

"Nama gue Reyno, kamu siapa?," tanya gue penasaran.

"Fatimah."

Dalam hati gue, kok Fatimah sih ? Tampang Cina kok namanya Fatimah.

Belum sempat bingung gue menghilang, Fatimah berujar, "Saya Chinese yang masuk Islam," matanya melihat ke gue dengan tajam.

" Oooh oke ," jawab gue dengan senyum lebar.

"Kamu mau ke mana?," tanya Fatimah.

"Mau ke Padang Panjang. Kalo kamu?"

"Palembang," sahut Fatimah.

"Kamu tinggal di Jakarta?," tanya gue setengah berharap.

"Saya tinggal di Palembang, bersama oma saya," katanya sambil menunjuk ke depan.

Oh, jadi nenek yang duduk sama Andra itu omanya Fatimah.

Perjalanan jadi sangat menyenangkan. Kami ngobrol dari mulai sekolah sampai film.

Fatimah kelas 1 naik kelas 2 SMA. Film kesukaannya Fast Time at Ridgemont High .

"Saya suka banget sama Phoebe Cates," katanya dengan mata berbinar-binar.

Dalam hati gue bergumam lagi, Phobe Cates itu every boys type .

Pas sunset kami ada di atas kapal feri, dari Merak ke Bakauheni. Kami berdua duduk di dek feri sambil menikmati matahari terbenam. Pipi Fatimah kemerah-merahan seperti tomat yang matang terkena matahari sore. Enggak banyak yang diomongin . Tapi rasanya seperti sudah kenal lama dan saling mengerti satu sama lain. Seperti dua sejoli yang meant to be together .

Enggak lama kemudian Andra mendatangi kami. "Kita harus balik ke bus, udah mau sampai."

" Eh, tunggu," kata Andra lagi. "Fatimah, tolong fotoin kita bertiga dong," kata Andra sambil senyum.

Setelah fotoin kita bertiga. Andra juga ambil foto gue dan Fatimah. Memang Si Andra ini bisa baca pikiran gue, hehehe , " Thank you , Dra."

Enggak terlalu lama bus berjalan, mampirlah di restoran untuk makan malam. Omanya Fatimah mengajak kami untuk duduk bareng satu meja dengan mereka. Mulailah Oma membombardir dengan pertanyaan-pertanyaan. Terutama yang paling banyak ditanya ya gue . Tapi semua pertanyaan bisa gue jawab. Dan kelihatannya Oma happy dengan jawaban-jawaban gue .

Setelah bus mulaii berjalan, gue tanya ke Fatimah, "Nanti foto kita berdua mau dikirim ke mana?"

Begitulah cara zaman itu untuk minta alamat.

"Saya tulis di TTS kamu ya,"

Dari caranya tersenyum, sepertinya dia tahu taktik gue .

Nengok lagi Si Andra sama Si A\'an. Mungkin dalam hati mereka, mulai lagi nih Si Reyno tebar pesona, hahaha . Bodo amat, kita memang teman, tapi kalo soal cewek ya ela-elo, gue-gue .

Setelah pagi sampaiah kita di Palembang. Gue ikut turun untuk bantu Fatimah dan omanya turunin barang-barang bawaan mereka.

"Fatimah, saya akan tulis surat ke kamu setelah sampai lagi di Jakarta ya," kata gue sambil ngasih kopernya.

"Jangan," sahut Fatimah dengan nada keras. "Kamu harus sudah kirim surat setelah sampai di Padang Panjang," lanjutnya dengan senyum yang enggak akan gue lupa.

Sepertinya gue males lanjutin jalan-jalan ini. Kepikiran terus muka Fatimah. Senyumnya, bercandaannya, dan omanya. Hahaha . Selama di bus menuju Padang Panjang gue kebanyakan tidur. Kok perasaan udah kayak baru putus pacaran aja. Pengennya dengerin lagu-lagu slow rock -nya Rod Stewart terus.

Sesampai di Padang Panjang, kami langsung berenang di Mata Kucing. Airnya jernih, sejuk, dan tanpa kaporit, karena airnya langsung dari mata air Gunung Singgalang. Om dan tante gue yang tinggal di sini seneng bener kita datang berlibur. Mereka masak gulai gajebo, paragede jagung, soto padang, dan nasi kabaka.Masakan khas Padang Panjang yang cuma bisa ditemuin di sini.

Tidak terasa akhirnya tibalah waktunya pulang ke Jakarta. Kota Padang yang panas, Bukittinggi yang sejuk, dan Padang Panjang yang tanahnya selalu basah oleh rinai hujan akan segera ditinggalkan.

Sewaktu gue masukin baju ke ransel, gue cari-cari buku TTS. Entah ke mana hilangnya. Gue cari di setiap pojok rumah om gue , tapi enggak ketemu juga. Gue coba inget-inget lagi, kira-kira di mana gue tinggal itu TTS. Akhirnya sampai waktunya gue menuju terminal bus. Gue pesen sama om dan tante gue, kalo ketemu TTS tolong simpenin .

Perasaan bersalah karna lupa tulis surat ke Fatimah setelah sampai di Padang Panjang terus menghantui perasaan gue .

Ke mana ya buku TTS berharga itu?

Dengan berjalannya waktu, gue lulus SMA, kuliah, terus kerja. Tapi rasa bersalah dengan Fatimah masih tetap ada. Akhirnya gue putuskan di cuti pertama gue ini akan pergi ke Palembang. Gue akan cari Fatimah berdasarkan foto tua yang diambil di atas kapal feri oleh Andra. Gue akan jelasin ke dia, kenapa gue enggak nyuratin dia. Tapi nyarinya ke mana?

Sudah lima hari gue di Palembang. Gue udah ke hampir seluruh pelosok kota nyari Fatimah. Jalan entah sudah berapa kilometer. Bertanya kepada entah sudah berapa puluh orang. Tapi tetep enggak ketemu. Putus asa? Iya, kayaknya gue putus asa.

Hari ini hari terakhir gue di Palembang, setelah makan pagi di hotel, gue berencana untuk jalan lagi sampai makan siang, balik hotel, istirahat bentar terus ke bandara.

Setelah dua puluh lima menit jalan, terasa capek pengen duduk. Enggak jauh di depan gue ada masjid bagus dan sepertinya lagi ada keramaian.

Gue coba mendekat, penasaran pengen liat ada apa sih . Ternyata ada orang yang baru saja selesai akad nikah. Sepertinya pihak keluarga sedang menunggu kedua mempelai keluar dari masjid.

Gue juga nunggu, penasaran juga pengen liat pengantinnya.

Betapa kagetnya gue . Ternyata, pengantin perempuannya adalah Fatimah. Jauh lebih cantik dari Fatimah yang gue kenal di bus. Jauh kelihatan lebih dewasa dan anggun. Kelihatan sangat bahagia, senyumannya lebar, dan mereka saling memandang dengan penuh rasa cinta. Dengan kebaya putih dan kerudung putih, Fatimah terlihat semakin cantik.

Senyum Fatimah berhenti sewaktu kami beradu pandang. Lalu dengan berlari kecil dia menghampiri gue .

"Reyno?," katanya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

"Maafin saya, Fatimah..."

Belum selesai gue mau ngejelasin , Fatimah menutup mulut gue dengan jarinya.

"Saya tahu kenapa kamu tidak menyurati saya," katanya, "Karena TTS kamu terselip di tas saya, sewaktu turun di terminal. Saya coba kembali ke terminal, tapi bus sudah berangkat."

"Reyno, seandainya kita ketemu sebelum saya menikah."

Akhirnya Fatimah tidak kuasa menahan air matanya.

"Iyaaa, seandanya," kata gue sambil memberikan foto tua ke Fatimah.

Dilihatnya fotonya, dipeluk ke dadanya.

"Biar ini jadi cerita kita ya." Kali ini dengan senyum yang sama sewaktu kami berpisah di terminal.

She looked so happy in her wedding dress.

But she cried while she was saying this.

Boy I\'ve missed your kisses all the time.

But this is twenty five minutes too late.

Though you travelled so far.

Boy, I\'m sorry you are twenty five minutes too late.

I can still hear her say.

Lagu dari Michael Learns to Rock masih terngiang di telinga gue.



Topik Menarik