Belajar Toleransi dari Perumusan Piagam Jakarta
JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Tepat 22 Juni 1945, Indonesia berhasil merumuskan Piagam Jakarta, tonggak lahirnya ideologi bangsa. Di Piagam Jakarta, terdapat sila-sila Pancasila yang kita kenal sekarang. Dalam perumusannya, terdapat dualisme antara golongan Islam dengan nasionalis. Walaupun berbeda gagasan dan corak pandang, persahabatan pemimpin bangsa kita dahulu tidak renggang dan lebih mementingkan nasib dan persatuan bangsa.
Pertentangan dimulai saat dua golongan saling berargumen tentang keberadaan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi, Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya yang akhirnya disepakati dan disempurnakan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kubu nasionalis menghendaki bahwa tujuh kata itu, perlu dirubah, sedangkan pihak Islam bersikukuh untuk mempertahankannya dengan alasan penerapan syariat Islam dalam negara Indonesia baru. Namun, desakkan dari umat Protestan, Katolik dan kaum minoritas di wilayah timur, menjadikan tujuh kata itu diganti.
Perdebatan sengit terjadi, tetapi sikap kompromis dari golongan Islam menyebabkan persidangan perumusan Piagam Jakarta itu tidak berlarut-larut. Hatta dalam Memoir menyatakan toleransi dari Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo dan Abdul Kahar Muzakkar, membuat sidang perumusan tidak memakan waktu lama.
Apa yang dikatakan Gunawan Budiyanto cucu dari Ki Bagus Hadikusumo bahwa golongan Islam sebenarnya tidak berniat mendirikan negara Islam, hanya saja sebagai mayoritas, tentu umat Islam berhak meminta syariat Islam sebagai pedoman utama hukum Indonesia (Harian Bernas, 2015)
Dalam buku Hatta: Jejak Yang Melampaui Zaman (2008: 72) sebagai perwakilan dari golongan nasionalis, ia menyatakan bahwa penggantian tujuh kata menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa tidak berniat menghilangkan penerapan syariat Islam di Indonesia, kata itu hanya menggambarkan tauhid, satu Tuhan yang dianut oleh umat Islam.
Perubahan itu tidak bermaksud mengabaikan syariat Islam, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai dasar pada sila-sila lainnya, disebutkan dalam Hatta: Jejak Yang Melampaui Zaman (2008: 72-73).
Toleransi dan sikap berlapang dada dari Founding Fathers mengajarkan bahwa walaupun umat Islam Indonesia berkisar 90 persen, tetapi andil dalam proses menggapai kemerdekaan tentu tidak boleh mengabaikan peran umat kristen dan masyarakat di wilayah timur Indonesia.
Pengakuan atas realitas bernegara dan berbangsa inilah yang patut dicontoh. Mereka tidak abai, dan mengedepankan sikap akomodatif demi kepentingan bersama serta jauh dari sikap individualisme dan fanatisme. Apalagi tahun 1945 merupakan persitiwa genting, Indonesia masih di bawah bayang-bayang Jepang dan instabilitas politik internasional akibat Perang Dunia II.
Pada akhirnya, perjuangan dua golongan tersebut membuahkan hasil. Piagam Jakarta atau Jakarta Charter berhasil dibacakan saat proklamasi kemerdekaan. Pemimpin bangsa itu telah berhasil meninggalkan produk sejarah yang sampai saat ini masih relevan digunakan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Penulis: Rian Rahman
Mahasiswa Prodi Sejarah, Universitas Andalas








