Bukan Lemah, Perempuan Justru Sebagai Pelopor Pengurangan Resiko Berencana, Nukila Evanty: Punya Sikap Lebih Tenang
Tak jarang, perempuan dianggap lemah oleh sebagian orang bahkan dalam keaadan genting pun perempuan kerap dipandang sebelah mata.
Pertemuan Global Platform for Disaster Risk Reduction atau GPDRR di Bali pada 23-28 Mei lalu, dihadiri kurang lebih oleh 180 negara yang membahal soal risiko bencana.
Dalam upacara Pembukaan GPDRR pun disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amina Mohammed menggarisbawahi kalimat tersebut:
"Dalam kondisi dunia yang serba tak pasti, maka perlu pemahaman untuk mengurangi risiko bencana sebagai landasan keberlanjutan pembangunan. Sehingga perlu meningkatkan kerja sama internasional untuk pencegahan dan pengurangan risiko bencana pada kelompok atau komunitas yang paling rentan, termasuk perempuan dan anak perempuan, penyandang disabilitas, orang miskin, yang terpinggirkan dan terisolasi".
Direktur Eksekutif Women Working Group (WWG), Nukila Evanty, menyebutkan pengurangan risiko bencana dilakukan oleh masyarakat rentan, salah satunya perempuan, melalui empat pendekatan partisipatif dan investasi.
Isu gender dalam Working Group masih menjadi pembasahan hangat karena perempuan dianggap belum memiliki pengetahuan yang cukup.
Satu sisi perempuan memiliki peran ganda yang harus menjaga urusan keluarga dan bekerja di luar rumah. Namun, tak sedikit pula pada kenyataannya perempuan yang tak memiliki akses di desa yang pada akhirnya tertinggal di daeah bencna.
Sehingga kurang terlihat sebagai seseorang yang sudah menerima manfaat program risiko bercana, terlebih kemungkinan mereka yang tertinggal mungkin tidak memiliki kartu keluarga dan dokumen resmi lainnya.
Di sisi lain, perempuan tidak bisa disebut lemah. Perempuan justu menjadi salah satu kelompok yang paling potensial yang dapat berperan aktif dalam pengurangan risiko bencana.
Hal ini salah satunya karena perempuan memiliki sikap yang lebih tenang.
Saat terjadi dan setelah bencana, diskriminasi ganda terjadi pada perempuan penyandang disabilitas. Terlebih masih belum disadari kebutuhan khusus sesungguhnya dari perempuan, anak perempuan , penyandang disabilitas, perempuan usia lanjut pada saat bencana.
Misalnya seorang ibu hamil dan menyusui adalah mempunyai kebutuhan khusus di tenda pengungsian.
Maka dari itu, terdapat yang namanya Sendai Frame Work, sebagai bentuk upaya pengurangan resiko bencana 2015 - 2030.
Sendai sendiri menyebutkan perspektif gender dibutuhkan untuk melindungi penyandang disabilitas orang usia lanjut, melindungi budaya dalam setiap kebijakan dan program pengurangan resiko bencana oleh pemerintah.
Kebijakan dan program tersebut bisa dalam bentuk regulasi, penguatan kapasitas perempuan dan kelompok rentan, menghapuskan sikap stigma dan diskriminasi terhadap kelompok rentan, standar mitigasi yang sensitive gender, mendorong kepemimpinan perempuan dalam penanggulangan bencana, dan memberikan ruang partisipasi yang kondisif untuk perlindungannya.
Agar Global Platform for Disaster Risk Reduction lebih baik lagi, diperlukan political exercise untuk mendorong kepemimpinan perempuan dalam pengurangan resiko bencana, akses, inklusivitas dan partisipasi perempuan dan kelompok rentan lainnya dilibatkan dalam segala aspek penanganan bencana serta menghapuskan segala hambatan yang selama ini masih ada bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya.









