Dandangan Bukan Kesenangan Semata, Berikut Sejarahnya

Dandangan Bukan Kesenangan Semata, Berikut Sejarahnya

Gaya Hidup | netralnews.com | Selasa, 31 Mei 2022 - 09:41
share

MALANG, NETRALNEWS.COM - Lantunan kalam Allah tak pernah berhenti menggema. Itulah gambaran dari Kota Kudus yang dikenal dengan kota santri dan kental akan kegiatan keagamaan. Kota ini disinggahi oleh dua Walisanga, Sunan Kudus dan Sunan Muria. Beliaulah yang memiliki peran besar menjadikan Kudus sebagai Kota yang tenang.

Penyebaran agama Islam di Kudus tak bisa dilepaskan dari peran besar dari Syekh Jafar Shodiq, nama asli Sunan Kudus. Berkatnya, Kudus yang awalnya daerah dengan mayoritas pengikutnya beragama hindu-budha menjadi daerah yang Islami.

Dalam penyebaran agama islam, metode yang digunakan oleh Sunan Kudus sangat menarik. Beliau tidak serta merta menghapus kultur yang sudah berlaku namun memanfaatkannya sebagai pengantar dakwah.

Masjid Menara Kudus menjadi saksi dari pencampuran kultur agama Hindu-Budha dengan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari arsitekturnya yang familiar dengan menyerupai candi.

Salah satu tradisi yang menarik adalah "Dandangan". Tradisi Dandangan merupakan salah satu momen yang paling dinantikan bagi masyarakat Kudus hingga masyarakat sekitar kota Kudus. Dandangan bukan hanya sebagai kesenangan atau kemeriahan yang diadakan di Kudus. Lalu bagaimana sejarahnya?

Sejarah dan Makna Dandangan

Sunan Kudus dikenal sebagai sosok yang alim dan pandai sehingga memiliki sebutan Waliyul Ilmi. Salah satu bidang yang dikuasai oleh Sunan Kudus yakni ilmu Fiqih dan ilmu Falaq (astronomi) yang kemudian melahirkan tradisi Dandangan.

Tradisi Dandangan di Kudus pertama kali diselenggarakan oleh Sunan Kudus yang juga dikenal sebagai founding father Kota Kudus. Jatmiko (2012) mengungkapkan pendapat bahwa Dandangan dimulai sejak tahun 1549 Masehi di mana Masjid Al-Aqsha selesai dibangun.

Menurut Denny Nur Hakim (2017) Dandangan berasal dari suara beduk yang ditabuh. Suara beduk yang berbunyi dang dang dang ketika dipukul pada bagian tengah dan berbunyi dug dug dug ketika dipukul pada bagian pinggir beduk.

Sedangkan, Khasanah (2011) berpendapat Dandangan berasal dari kata "Ndang", yang diperoleh dari bunyi atau suara beduk yang ditabuh, sehingga mengeluarkan bunyi "ndang-ndang" yang berarti "ayo".

Suara tersebut terdengar oleh semua masyarakat Kudus hingga luar Kudus. Masyarakat yang mendengar kemudian datang secara berbondong-bondong berkumpul di Masjid Menara.

Warga Kudus yang datang terkejut dan bertanya-tanya. Mengapa memukul beduk setelah waktu Sholat Ashar berakhir dan belum memasuki waktu Sholat Maghrib? Mengapa pukulan beduk sangat lama dan tidak seperti biasanya?

Sunan Kudus kemudian mengumpulkan warganya dan memberikan penjelasan. Sunan Kudus menyatakan bahwa suara yang didengar tadi adalah sebuah tanda kita memasuki bulan suci Ramadan.

Warga paham dan menyetujui metode ini sebagai tanda dalam rangka menyambut datangnya Bulan Suci Ramadan. Pengumuman ini ditandai dengan pemukulan beduk yang dilakukan setelah Sholat Ashar terakhir bulan Syaban. Tanda tersebut kemudian menjadi dikenal sebagai Dandangan.

Tradisi Dandangan menjadi sebuah momentum pengumuman yang rutin dilaksanakan pada awal bulan suci Ramadan. Masyarakat yang sudah rindu dengan bulan Ramadan akan segera datang ke Masjid Al-Aqsha.

Perkembangan Tradisi Dandangan

Setiap tahun, momen Dandangan menjadi momen yang paling dinantikan. Hal tersebut dikarenan pada saat itu masyarakat Kudus akan berkumpul di sekitaran masjid. Dengan antusias menunggu kabar bahagia yang akan segera datang.

Bagaimana tidak bahagia? Jika dalam bulan Ramadan yang sakral, Allah melipat gandakan pahala di setiap amalannya hingga 70 kali.

Tentu sebuah kebahagiaan bagi umat islam. Bahkan para alim ulama dan salafus-salih akan berdoa jauh-jauh hari agar dapat dipertemukan dengan bulan suci Ramadan dan amalan yang dikerjakan dapat diterima oleh Allah.

Masyakarat Kudus dan sekitarnya akan berkumpul bersama pada pemukulan beduk. Dalam perkembangan masa ke masa, tradisi tahunan dengan mengumpulkan masyarakat kudus yang menantikan pengumuman akan datang bulan Ramadan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.

Mereka memanfaatkan momen ini dengan berjualan dan menawarkan berbagai barang yang kiranya dibutuhkan ketika bulan Ramadan. Hal tersebut kemudian terdengar hingga luar daerah Kudus yang kemudian menghadirkan istilah pedagang musiman.

Para pedagang tersebut berasal berbagai daerah untuk menjual berbagai jenis barang dagangan. Para pedagang yang awalnya hanya berjualan di sekitar masjid Al-Aqsha, berkembang meluas hingga sepanjang jalan Sunan Kudus sampai Simpang Tujuh Kudus dan Jalan Kudus-Jepara.

Semakin maju dalam perkembangannya, tradisi Dandangan bukan hanya dimeriahkan oleh pedagang berbagai jenis barang, namun ada berbagai jenis wahana bermain berskala kecil yang turut meraimaikan suasana bagi pengunjung.

Tempatnya berada di lahan terbuka jalan Kudus-Jepara dan ditujukan untuk berbagai usia. Wahana tersebut seperti: komedi putar, kora-kora, mandi bola, rumah hantu, dan berbagai wahana lainnya.

Selain itu, peresmian pembukaan Dandangan ini dimulai dengan adanya kirab budaya di Simpang Tujuh Kudus yang diikuti oleh seluruh pelajar di Kudus serta pejabat pemerintahan Kota Kudus.

Kirab budaya dilaksanakan pada kurun waktu dua minggu sebelum bulan Bulan Ramadan dan menandai penutupan jalan yang hanya dikhususkan oleh pedagang musiman yang memeriahkan tradisi ini.

Tradisi Dandangan juga dianggap sebagai salah satu media dakwah oleh Sunan Kudus dalam menyiarkan agama Islam di Kota Kudus. Metode ini dirasa berhasil karena hingga saat ini, masyarakat Kudus didominasi oleh pemeluk agama Islam.

Sejarah dari Dandangan atau disebut juga "blandrangan" sendiri menyadarkan bahwa kemeriahan ini bukan sebatas sebagai kesenangan saja, melainkan salah satu metode untuk turut menumbuhkan rasa antusiasme akan datangnya bulan Ramadan.

Tradisi masih terus dilaksanakan untuk meramaikan datangnya bulan Ramadan setiap tahunnya. Sayangnya, pada tahun 2020 hingga 2022 Dandangan tidak dilaksanakan dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan sebab adanya penyebaran wabah penyakit Covid-19 di seluruh belahan dunia termasuk Indonesia.

Penundaan kegiatan ini dilakukan untuk mencegah penyebaran wabah pemerintah Kota Kudus resmi mengumumkan bahwa Tradisi Dandangan tidak dilaksanakan untuk sementara hingga situasi kembali aman.

Tradisi Dandangan terakhir dilaksanakan pada tahun 2019 dan diharapkan tahun depan yakni tahun 2023 Dandangan akan kembali hadir dengan mengingat sejarah dandangan yang diserukan oleh Sunan Kudus.

Penulis: Eva Maulidiyah

Mahasiswa Universitas Negeri Malang

Topik Menarik