Tanaman Jarak di Surakarta bak Harta Karun Perang Dunia II

Tanaman Jarak di Surakarta bak Harta Karun Perang Dunia II

Gaya Hidup | netralnews.com | Selasa, 24 Mei 2022 - 14:41
share

MALANG, NETRALNEWS.COM - Pendudukan Jepang atas Indonesia tidak lepas dari pengaruh Perang Dunia II. Misinya adalah membentuk kawasan persemakmuran bersama Asia Timur Raya.

Beruntungnya Jepang saat itu mengalami kekalahan perang sehingga Indonesia tidak berkelut dengan kesengsaraan. Karena selama berkuasa Jepang tidak segan untuk melakukan tindakan penindasan terhadap rakyat Indonesia.

Alih-alih meminta dukungan, Jepang malah mengeksploitasi sumber daya alam sekaligus sumber daya manusianya. Eksploitasi ini untuk memenuhi kebutuhan perang.

Seperti adanya kebijakan penyerahan wajib untuk menanam tanaman yang berguna saat perang.

Tanaman jarak merupakan tanaman yang bijinya dapat menghasilkan minyak. Menurut Jepang tanaman ini sangatlah berguna saat perang.

Sebelum perang produksinya di Jawa terbatas pada daerah-daerah, seperti Bojonegoro dan Surakarta, dan produksi tahunan hanya mencapai sekitar 10.000 ton (Kurasawa, 2015).

Sebelum perang berlangsung, tanaman jarak telah dibudidayakan didaerah tertentu secara terbatas dengan produksi tahunannya pun lumayan tinggi.

Semasa pemerintahan Hindia Belanda tanaman jarak bukanlah tanaman istimewa. Tanaman jarak hanya dikonsumsi masyarakat setempat sebagai alternatif minyak lampu teplok .

Lain hal Jepang yang telah merubah tanaman jarak menjadi tanaman wajib. Bijinya yang berguna sebagai alternatif bahan bakar dan pelumas mesin begitu diprioritaskan.

Demi meraup hasil bumi Jepang menerapkan kebijakan ekonomi perang atas pertanian rakyat. Kebijakan dihiasi unsur pemaksaan kepada petani agar menanam tanaman jarak dilahan persawahan.

Akan tetapi lahan sawah terlanjur dipenuhi tanaman pangan sehingga petani terpaksa membagi lahannya untuk ditanami jarak.

Kuasa Jepang di Surakarta

Tanggal 5 Maret 1942 kekuatan pasukan Jepang berhasil menduduki daerah pedalaman Jawa termasuk Surakarta.

Segala bentuk usaha dilakukan Jepang untuk memperoleh simpati penduduk dengan mengubah kedudukan Surakarta menjadi daerah istimewa agar penguasa di kota dapat bekerja sama dengan pemerintah baru.

Tidak sampai di situ, Jepang juga mendekati para penguasa untuk melancarkan eksploitasi secara intensif sumber daya alam dan tenaga manusia yang tersedia.

Tokoh masyarakat dan kepala desa digunakan pula untuk membantu menyediakan kebutuhan yang diperlukan dalam mensukseskan Perang Asia Timur Raya.

Penduduk dipaksa untuk menyerahkan hasil bumi yang ditanam maupun yang dimiliki sehingga penduduk tidak memiliki ruang untuk menikmati hasil panen termasuk biji jarak.

Memperbanyak Biji Jarak

Tanaman jarak ( Ricinus communis ) dapat tumbuh subur di tanah berpasir yang kering dan panas. Beberapa daerah di Surakarta telah ditargetkan sebagai tempat produksi jarak seperti, Wonogiri, Boyolali, Klaten dan Sukoharjo.

Di Wonogiri pemerintah telah menyiapkan tanah seluas 5656 ha dan 20.000 ha di seluruh Surakarta untuk ditanami jarak.

Sejak tahun 1942, pemerintah Jepang mengadakan kampanye agar penduduk memperbanyak hasil tanaman jarak.

Produksi biji jarak ditargetkan sebesar 40.000 ton di tahun 1943. Target terus meningkat sampai tahun 1944 menjadi 60.000 ton.

Target terus mengalami peningkatan karena produksi minyak di medan perang semakin banyak. Pemerintah Jepang mengadakan Jarak Shindoin sebagai badan yang mengontrol penanaman jarak ke desa-desa.

Mulai dari menyebarkan bibit, menentukan luas tanah yang ditanami dan target yang harus dipenuhi. Hasil panen tanaman jarak penduduk diwajibkan untuk menyerahkan kepada perusahaan-perusahaan yang telah ditunjuk.

Musim tanam jarak dimulai pada bulan Maret setelah panen padi tiba. Sempat mendapati kendala bahwa sebagian besar tanah produktif di Surakarta sudah ditanami berbagai tanaman pangan. Hal ini tak menghalangi pemerintah Jepang untuk tetap menanam jarak.

Pemerintah malah menganjurkan masyarakat untuk menanam jarak diberbagai tempat yang memungkinkan. Tempat-tempat tersebut seperti di area pinggir-pinggir jalan dan halaman-halaman sekolah hingga tanah-tanah perkuburan milik Tiong Hoa pula ditanami jarak.

Kebijakan tersebut dilakukan pemerintah Jepang agar hasil panen biji jarak yang diterima mencapai kuota.

Seringkali kebijakan penanaman jarak disertai ancaman. Seandainya kuota tidak terpenuhi para Kucho yang bertanggung jawab akan mendapat hukuman dari Jepang.

Penyerahan Biji Jarak

Penduduk Surakarta yang bersedia menaman jarak atau menyerahkan biji jarak kepada Shenda Shokai tidak dihargai dengan uang melainkan ditukar dengan minyak tanah.

Setiap 1 kg biji jarak akan mendapat imbalan 0,3 liter minyak tanah dengan harga 1 liter 12,5 sen. Apabila agen tempat penyerahan yang telah ditunjuk tidak memiliki cadangan minyak tanah penduduk yang menyerahkan jarak akan mendapatkan kupon. Kupon tersebut nantinya bisa ditukar dengan minyak tanah di tempat pompa minyak yang telah ditentukan (Ibrahim, 2014).

Alasan pemerintah Jepang menggunakan minyak tanah sebagai alat penukaran supaya penduduk tidak memakai biji jarak sebagai alat penerangan.

Padahal penduduk Surakarta terbiasa menggunakan biji jarak sebagai alat penerangan dengan cara digerus lalu dinyalakan.

Pembagian minyak tanah sebagai bahan penerangan yang menggantikan biji jarak tidak sesuai ekspetasi penduduk. Karena, persediaan minyak tanah dari pemerintah semakin menipis menjadikan persebaran minyak tanah kepada penduduk tidak merata.

Menurut dari catatan laporan kerajaan, kebutuhan minyak penduduk Surakarta kurang lebih 900 blek (kaleng minyak). Perincian Kasunanan membutuhkan 600 blek dan Mangkunegara 300 blek . Tetapi di tahun 1942 minyak tanah yang dibagikan hanya 250 blek .

Adanya imbalan dari pemerintah Jepang nampaknya tidak sungguh-sungguh dilaksanakan. Mereka hanya ingin meraup keuntungan tanpa bermodal. Seharusnya penghasilan dari panen jarak bisa menambah penghasilan namun malah memperparah kondisi penduduk

Oleh karena itu, pelaksanaan penanaman jarak dengan pembagian minyak tanah sebagai imbalannya dianggap merugikan penduduk. Banyak sekali unsur kecurangan yang dilakukan pemerintah Jepang.

Apalagi dalam kampanye hasil panen biji jarak akan diganti dengan uang hanyalah sebagai pemanis awal. Nyatanya pemerintah Jepang mengingkari janjinya.

Penulis: Mila Zufaidah

Mahasiswa Universitas Negeri Malang

Refrensi

Ibrahim, J. 2014. Ekonomi Pendudukan Jepang di Surakarta (1942-1945). Humaniora

Kurasawa. A. 2015. Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial Di Pedesaan tahun 1942-1945 . Komunitas Bambu


Topik Menarik