Bagaimana Mengungkap Kebenaran dalam Sidang Pengadilan di Masa Raja Balitung?

Bagaimana Mengungkap Kebenaran dalam Sidang Pengadilan di Masa Raja Balitung?

Gaya Hidup | netralnews.com | Minggu, 8 Mei 2022 - 09:16
share

MALANG, NETRALNEWS.COM - Pada zaman sekarang, berperkara di pengadilan bisa memakan waktu berlama-lama. Mengapa bisa memakan waktu lama? Yaaa memang pengadilan tidak mudah untuk memutuskan siapa yang memenangkan perkara dan siapa yang benar. Proses menentukan yang menang dan yang benar memang membutuhkan mekanisme pembuktian.

Dalam masa kuno, Pemerintahan Raja Balitung termasuk cukup meninggalkan bukti tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek hukum.

Mari kita lihat salah satu dari prasastinya yang berisi tentang hukum. Seperti apa sebagian gambaran mekanisme pembuktian hukum waktu itu?

Selama memerintah, Raja Balitung telah mengeluarkan 50 prasasti. Ia termasuk salah satu raja yang paling banyak mengeluarkan prasasti.

Ada banyak data tentang masa kuno yang bisa digali. Sehingga, kita bisa mengkaji berbagai hal kehidupan termasuk kehidupan di bidang hukum.

Prasasti Guntur tahun 829 Saka secara detail berisi tentang proses dan ketetapan pengadilan pada masa pemerintahan Raja Balitung.

Prasasti Guntur termasuk dalam kategori prasasti jayapatra atau jayasong (keputusan pengadilan tentang perkara perdata) dan juga berkategori prasasti suddhapatra (bukti utang-piutang).

Berikut ini adalah terjemahan isi Prasasti Guntur tersebut:

1. //o// Selamat tahun Saka yang telah berlalu 829, pada hari Rabu Pon, peringkelan Mawulu , tanggal 12 paruh terang bulan Srawana ketika Pu Tabwel

2. Penduduk Desa Guntur miliki bangunan suci di Garung diperkarakan oleh Samgat Pinapan yang bernama

3. Pu Gawul dan istrinya bernama Pu Gallan dari Desa Puluwatu, sebabnya ia diperkarakan, karena Sang Dharma namanya

4. Bapak dari Manghapig dari Desa Wurakung yaitu menagih kepada Pu Tabwel hutangnya sebesar 1 suwarna uang emas.

5. Pu Tabwel tidak mempunyai hutang, hutang itu hutang istrinya yang bernama Si Campa, kepada saudaranya Sang Dharma. Si Campa kemudian meninggal

6. Ditagihlah Pu Tabwel oleh Sang Dharma, apalagi Pu Tabwel tidak mempunyai anak dengan Si Campa, lebih-lebih ia tidak mengetahui mengenai hutang istrinya,

7. Itulah sebabnya datang tuntutan dari Samgat Pinapan. Dalam persidangan Sang Dharma tidak hadir, itulah sebabnya ia

8. Dikalahkan oleh Samgat Pinapan.

Dari Prasasti Guntur terdapat gambaran secara jelas tentang peradilan pada masa Balitung terutama mengenai pihak yang menggugat dan pihak yang tergugat. Dalam hal ini pihak penggugat melaporkan pihak yang tergugat kepada pejabat setempat atau si penguasa tertinggi di wilayah dia berada.

Peradilan di Jawa Kuno memiliki tingkatan-tingkatan. Apakah ada tingkatan pengadilan seperti kayak sekarang yaaa ?

Tingkatan berat ringannya perkara juga menentukan apakah persidangan perlu digelar di tingkat watak atau tingkat kerajaan. Semakin berat perkara yang dipertentangkan, maka memerlukan tingkatan pengadilan yang lebih tinggi.

Untuk perkara utang piutang, persidangan dilakukan oleh penguasa wilayah setingkat watak dan perkara yang lebih penting seperti perkara sengketa tanah. Persidangan dilakukan oleh sang raja penguasa kerajaan.

Tingkatan strata sosial orang yang berperkara juga menentukan tingkatan pengadilan.

Strata sosial menentukan tingkatan pengadilan mana yang mengurusi perkara tersebut. Semakin tinggi strata sosial orang yang berperkara, maka semakin tinggi pula tingkatan pengadilan yang mengurusi.

Penggugat dan tergugat yang merupakan rakyat biasa ditangani oleh pejabat watak. Kalau yang berperkara atau yang tergugat dan penggugat adalah pejabat, bagaimana itu?

Kalau yang berperkara itu adalah pejabat watak ataupun pejabat kerajaan, pengadilannya berada ditangani oleh raja.

Kemudian cara menggali siapa yang benar dan siapa yang tidak benar, seperti apa yaa ?

Tentang mekanisme pengungkapan kebenaran, terlihat bahwa dalam persidangan setiap pihak baik pihak yang menggugat maupun tergugat haruslah melakukan pembuktian terlebih dahulu.

Terdapat tiga macam pembuktian yang disebut dengan triprangama yaitu saksi, likhita , dan bukti.

Pertama adalah saksi. Saksi adalah orang-orang yang dapat menceritakan/menyaksikan mengenai kebenaran dari salah satu pihak. Saksi adalah orang yang melihat langsung kebenarannya. Saksi adalah juga saksi ahli yaitu orang-orang yang benar-benar faham akan hal yang diperkarakan. Hanya saja saksi masih dianggap memiliki kekuatan hukum terlemah.

Sedangkan likhita adalah surat-surat tertulis yang menguatkan pernyataan salah satu pihak. Likhita dikategorikan pembuktian kebenaran yang mempunyai kekuatan hukum lebih kuat dari pada saksi.

Dan bukti adalah bukti de facto. Bukti memiliki kekuatan hukum tertinggi. Setiap orang yang dinilai memiliki nilai pembuktian terkuat maka akan dinyatakan sebagai pemenang perkara, tidak peduli apapun jabatannya.

Relevansinya dengan masa kini adalah bahwa sistem pembuktian masih dipakai hingga saat ini.

Seorang hakim tidak bisa serta merta memutuskan vonis pengadilan tanpa melihat bagaimana proses pembuktian terjadi. Di masa lalu, seorang raja pun bersikap adil dalam menentukan putusan pengadilan sesuai dengan pembuktian yang dilakukan.

Putusan dari pengadilan bersifat mutlak, namun masih ada kemungkinan untuk ditinjau ulang selama penggugat memiliki alasan dan bukti yang kuat untuk meminta peninjauan ulang.

Sudah pasti bahwa para pengadil-pengadil di masa kini juga tetap memegang teguh prinsip peradilan seperti di masa Jawa Kuno. Yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Mereka tanpa melihat apa jabatan dan strata sosialnya.

Positif thinking ajalah !!!

Disarikan dari Nugroho, L. A., Emy Wuryani, E. & Sunardi. (2018). Kebijakan Penguasa Jawa Kuno: Balitung dalam Sebuah Kajian Epigrafi. Jurnal Cakrawala , 7 (1), 65-82.

Penulis: Susanto Yunus Alfian

Sejarawan

Prasasti Guntur

Topik Menarik