Mengurai Perang Riau Tahun 1782-1784 sebagai Pendidikan Karakter

Mengurai Perang Riau Tahun 1782-1784 sebagai Pendidikan Karakter

Gaya Hidup | netralnews.com | Jum'at, 29 April 2022 - 08:06
share
RIAU, NETRALNEWS.COM - Dalam penulisan karya tulis ini penulis tidak sekedar hanya menulis sejarah lokal, tetapi penulis berusaha untuk merekonstruksi sejarah lokal perang Riau tahun 1782-1784 untuk dapat dijadikan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran sejarah lokal yang berwawasan pendidikan karakter (Character Building).

Hal ini juga berkaitan dengan mata kuliah yang diampu oleh bapak dosen Leo Agung yakni Strategi dan Pengembangan Bahan Pembelajaran Sejarah yang menugaskan penulisan sejarah lokal tersebut.

Tujuan pendidikan menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 3 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.

Lebih lanjut, pemerintah melalui Pusat Kurikulum Pendidikan Berkarakter tahun 2013 telah memgembangkan kemampuan dan karakter pada satuan pendidikan. Nilai-nilai yang dikembangkan berdasarkan beberapa sumber, yakni agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Telah teridentifikasi 18 nilai yaitu : (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa ingin tahu, (10) Semangat kebangsaan, (11) Cinta tanah air, (12) Menghargai prestasi, (13) Bersahabat/komunikatif, (14) Cinta damai, (15) Gemar membaca, (16) Peduli lingkungan, (17) Peduli sosial, (18) Tanggung jawab (Puskurbuk Kemendikbud, 2011 : 9).

Di dalam pendidikan sejarah, nilai-nilai tersebut dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Di saat yang sama, 18 nilai karakter tersebut dapat digali dari pengalaman bangsa Indonesia seperti halnya Pancasila. Pengalaman bangsa Indonesia tersebut diantaranya ialah peristiwa sejarah. Saat ini peristiwa sejarah dalam pembelajarannya hanya difungsikan sebatas pengetahuan saja ( Transfer of knowledge ).

Peristiwa sejarah dijadikan sebagai materi belajar yang sifatnya menghafal diantaranya, menghafal subjek, objek dan waktu sejarah. Akibatnya, peserta didik bosan belajar sejarah, tentunya juga faktor metode mengajar guru turut mempengaruhinya.

Peristiwa sejarah tidak dipandang sebagai sumber inspirasi dan nilai-nilai karakter. Manusia harus mampu mengambil nilai-nilai pelajaran yang terkandung dalam sejarah untuk dijadikan sebagai pedoman hidup dan inspirasi bagi semua tindakan yang diambilnya pada masa-masa mendatang (Sjamsuddin, 2007 : 285-286).

Jika teliti dan digali lebih lanjut setiap peristiwa sejarah bangsa Indonesia memiliki setidaknya satu dari delapan belas nilai karakter yang telah dirumuskan. Maka dari itu, saat ini guru wajib mengakhiri kegiatan pembelajaran sejarah di kelas, dengan menanyakan nilai karakter apa yang bisa diambil dalam peristiwa sejarah tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, adapun masalah yang dirumuskan pada penelitian ini adalah: Mengapa Diperlukannya Rekonstruksi Sejarah Perang Riau ( Local History ) Sebagai Bahan Pembelajaran Sejarah Berwawasan Pendidikan Karakter?

Sejarah Lokal dan Perannya dalam Pembentukan Karakter

Dalam pembelajaran sejarah ada perisiwa sejarah nasional dan juga peristiwa sejarah lokal, bahkan tidak jarang sejarah lokal yang menasional. Jika sejarah lokal yang belum menasional berkaitan dengan historiografinya. Karena itu, muatan sejarah lokal perlu mendapat ruang yang sama untuk dapat dipelajari oleh peserta didik.

Selain itu, materi sejarah lokal manjadi salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak (karakter) bangsa. Peristiwa sejarah lokal maupun nasional tidak semata-mata hanya menceritakan kekalahan bangsa Indonesia melawan penjajah. Ini tentu ada yang salah dalam rekonstruksi sejarahnya.

Mengajarkan sejarah yang bersifat actual sesuai dengan kondisi lingkungan (lokal) peserta didik. Rekonstruksi sejarah lokal menjadi kunci untuk bagaimana sejarah lokal diminati oleh peserta didik dalam satuan pendidikan.

Sejarah lokal dapat diartikan sebagai sejarah dengan ruang lingkup spasial di bawah sejarah nasional. Sejarah lokal ada setelah adanya kesadaran sejarah nasional (Abdullah, 2005:3). Sementara itu I Gde Widja (1989:11) menyebut sejarah lokal adalah suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas yang meliputi suatu lokalitas tertentu.

Sejarah lokal diartikan sebagai studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar (neighborhood) tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan manusia (Widja, 1989: 13).

Lebih jauh lagi Kochhar menjelaskan bahwasanya satu negara terdiri dari berbagai daerah dengan beragam akar historis yang dipersatukan oleh kesatuan geografis wilayah, keyakinan akan kesucian tanah air, dan kebudayaan masyarakat. Guna mencapai satu proses integrasi nasional, salah satu caranya adalah dengan mengajarkan sejarah nasional yang terdiri dari banyak sejarah lokal sebagai upaya untuk membentuk karakter pada diri peserta didik (Kochhar, 2008 : 468-469).

Mengapa sejarah lokal penting untuk digali nilai-nilainya?

Dalam mempelajari pendidikan seseorang, kita perlu memahami kehidupan sosial, politik dan agama mereka. Kadang-kadang kita perlu mengetahui geografi dan sejarah negara mereka. Karena, pengaruh iklim, pekerjaan dan lingkungan bisa membentuk karakter seseorang.- ketika kita telah mempelajari lingkungan seseorang, kita siap untuk mempelajari pendidikan dasar mereka.

Ini membawa kita ke dalam ruang kelas, memperkenalkan kita pada tempat dimana sekolah diselenggarakan, menunjukkan pada kita beberapa mata pelajaran yang dipelajari, kedisiplinan, metode pengajaran, dan semangat para guru (Levi Seeley diterjemahkan oleh Sustrisno, 2015: 8-9).

Dalam konteks pendidikan karakter (Character Building) bahwa guru harus mampu menggali nilai-nilai karakter didalam peristiwa sejarah tersebut untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak (karakter) peserta didik.

Selanjutnya, sebagaimana yang dikemukakan salah satu fungsi belajar sejarah untuk mengenal siapa diri kita sebagai bangsa (Sartono Kartodirdjo, 1997 dalam S. Hamid Hasan, 2012:88).

Dalam fungsi ini materi pendidikan sejarah harus mampu mengembangkan memori kolektif sebagai bangsa pada diri peserta didik. Pengaruh globalisasi yang begitu massif tentu sangat mempengaruhi tumbuh kembang peserta didik.

Maka dari itu, diperlukannya pembaharuan baru dalam materi pembelajaran sejarah lokal, yaitu dengan merekonstruksi sejarah lokal untuk diarahkan sebagai materi pembelajaran sejarah lokal berwawasan pendidikan karakter.

Rekonstruksi Sejarah Perang Riau

... Lieden, Kortom, die in hunne soort, niet minder wan gehalte waren dan de oude scandinavische zeehelden en die even zeer of even weining als deze verdienten, dat hunne daden door barden bezongen worden. ..

Syair lagu untuk pahlawan laut Skandinavia kuno di atas disetarakan dengan Raja Haji Fisabillah. Sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan yang begitu tinggi terhadap keberadaan Raja Haji Fisabilillah. Kepemimpinan beliau begitu disegani bukan hanya oleh rakyat Indonesia, namun di setiap orang yang mengenalnya. Disegani oleh kawan, ditakuti oleh lawan.

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, bila kita kerucutkan maka terdapat suatu muara yang memiliki nilai-nilai historis yang begitu luar biasa. Yakni, tentang perjuangan seorang anak bangsa, yang begitu dikenal dan disegani, Fisabilillah.

Sepanjang kehidupannya, ia juga dikenal dengan sebutan, pengembara yang merugikan, pemimpin berkharisma yang gemar berperang, raja yang disetarakan dengan pahlawan laut Skandinavia kuno yang tindak-tanduknya luar biasa bukan itu saja, beliau juga dikenal sebagai petualang yang kegagahannya menjadi legenda, si Raja Api, dan macam-macam gelar lainnya. Hingga kini, pakaian kebesaran itu sendiri hanya tinggal cerita yang tidak begitu popular dikalangan masyarakat kita, terlebih dikalangan generasi muda.

Sebuah pengakuan yang dituturkan, Margareth Thatcher menulis tentang bangsa Indonesia dalam bukunya, The Downing Street Years: sebuah negara yang terdiri dari 17.000 pulau, campuran berbagai macam ras dan agama, berdasarkan sebuah falsafah yang diciptakan secara artifisial--Lima Sila dari Pancasilapatut dikagumi bahwa indonesia mampu untuk terus bersatu. Negara itu mempunyai perekonomian yang tumbuh pesat, kondisi keuangan yang cukup baik, dan walaupun terjadi pelanggaran hak-hak azasi manusia disana, terutama di timor-timur, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berjalan lancar dalam ukuran kriteria umum...

Bila kita berbicara, soal kekuatan bangsa. Tidak ada yang meragukan kebesaran bangsa Indonesia. Namun, terkadang kita saja yang menutup-nutup diri dan kurang yakin dengan kekuatan bangsa kita sendiri. Jati diri kita begiti rapuh, gampang untuk terombang-ambing di gelombang dan deru budaya dunia.

Kita bisa lihat mentalitas bangsa Indonesia kini identik dengan tawuran dan anarkisme. Sungguh, begitu jauh dari landasan kehidupan bernegara kita yang berbudi luhur dengan acuan pancasila.

Maka, seharusnya sebagai bangsa yang besar kita harus mencintai sepenuhnya tentang bangsa kita. nilai-nilai kepahlawanan yang bagitu sarat dengan semangat perjuangan, kebersamaan, keadilan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan bangsa. Historical-heroism seharusnya begitu dekat sebagai alat dalam rekontruksi mentalitas bangsa Indonesia.

Perang Riau yang pecah 6 januari 1784, menjadi bukti ketangguhan dan kegigihan para pejuang Riau yang bertempur dengan semangat yang tinggi.

Sehingga, dalam implementasi begitu penting dalam kaitannya terhadap pembangunan karakter peserta didik dewasa ini. Nilai-nilai juang pahlawan merupakan sesuatu yang lebih mahal ketimbang emas. Kita bisa lihat, nilai-nilai itu telah pudar. Bukan hanya di satu lapisan sosial, tapi hampir merata di lapisan masyarakat, pemuda-pemudi, pemerintah.

Dalam sejarah peperangan Rakyat Riau melawan kolonial Belanda tidak terlepas dari pengaruh yang besar dari seorang Raja Haji Fisabilillah. Diangkat oleh Sultan Mahmud Syah III sebagai Yang Dipertuan Muda Riau yang ke-IV tahun 1777-1784. Saat itu Gubernur Belanda berkedudukan di Malaka (Lutfi, dkk, 2006:296).

Raja Haji Fisabilillah sepanjang kehidupannya, ia juga dikenal dengan sebutan, pengembara yang merugikan, pemimpin berkharisma yang gemar berperang, raja yang disetarakan dengan pahlawan laut Skandinavia kuno yang tindak-tanduknya luar biasa bukan itu saja, beliau juga dikenal sebagai petualang yang kegagahannya menjadi legenda, si Raja Api, dan macam-macam gelar lainnya (Suwardi.Ms, 2011: 4).
Raja Haji sendiri merupakan salah seorang putera Daeng Celak dengan salah seorang saudara perempuan sultan Sulaiman yang lahir di pusar kerajaan Riau, Kota Lama, Pulau Bintan, sekitar tahun 1725. Ia tumbuh dengan kepribadian yang kuat dan tangguh, sekaligus ditopang dengan landasan agama yang baik (Lutfi, dkk, 2006:297).

Ketika Belanda memulai invasinya ke tanah Melayu, iring-iringan kapal belanda yang terdiri dari kapal-kapal Dholpin, Hof ter Linden, Gurab snelheid, pencalang-pencalang Rusterburg, Filippine dan Phoenix pada tanggal 18 juni 1783 memasuki perairan Riau, orang-orang Belanda itu menjadi terkejut menyaksikan persiapan pertahanan sudah dibuat dengan demikian sempurna.

Buku harian Toger Abo, seorang kebangsaan Denmark yang bekerja dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan menjadi pemimpin ekspedisi ini, menggambarkan dengan jelas bagaimana jalan masuk ke Teluk Riau sudah dikawal dengan ketat.dan sarangsarang meriam melindungi pantai pulau Penyengat, Tanjung Pinang, Teluk Kritang dan Pulau Bayan diperkuat dengan batang-batang kelapa yang padat diisi dengan tanah berlapis-lapis.

Surat pernyataan perang yang dikirim kepada pihak Riau segera dijawab oleh Yang Dipertuan Muda Raja Haji pada tanggal 21 Juni dengan sikap yang sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut (Lutfi, dkk, 2006:299).

Sumber lisan yang digunakan oleh Raja Ali Haji dalam menuliskan kroniknya Tuhfat al Nafis menyatakan bagaimana yang Dipertuan Muda Riau Raja Haji memimpin sendiri peperangan itu dengan berpindah dari satu perahu ke perahu lainya (Raja Ali Haji (Virginia Matheson Hookor, 1998: xx dan xxvi dikutip dalam http://www.rajaalihaji.com/id/bookreview.php?a=ZTkvcw%3D%3D=).

Gambaran ini dapat disanding dengan sumber Belanda seperti E. Netscher dengan De Nederlanders in Djohor en Siak. Karena sejak hari-hari pertama peperangan VOC merasakan tak menguntungnya pihaknya, Toger Abo lalu memerintahkan untuk mengadakan rapat pada tanggal 26 Juni .

Hasil rapat itu memutuskan agar semua kapal dengan 910 orang personil itu menyingkir ke Lobam. Mencegat pemasukan beras dan obat bedil ke Teluk Riau, dan menghemat amunisi. Kapal bantuan bernama Getruida Suzanna datang beberapa hari kemudian dengan 92 personil. Pada tanggal 17 Juli 1783, datang lagi ke perairan Riau. Bantuan untuk pihak VOC berupa selub Ondernemer, Cicero, danJohanna dengan jumlah personil sebanyak 196 orang.

Perintah dari Malaka agar seluruh kapal kembali ke posisi semula di sekitar pulau penyengat.dan terus mengusir kapal kapal yang akan masuk ke Teluk. Pada pengujung bulan Agustus dan permulaan bulan September datang lagi kekuatan tambahan dari Malaka berupa kapal-kapal De Jonge Hugo,William Fredrick,De Handelaar yang semuanya terdiri dari 306 personil.

Pertempuran terjadi hampir setiap hari. Pulau Penyengat yang waktu itu masih berupa kubu yang dijaga oleh pasukan yang berasal dari Siantan didarati dan semua penjaganya dihabisi. Perhatian kapal-kapal kompeni tertuju pada perahu-perahu bermutan beras dan mesiu yang hendak masuk ke teluk. Setelah blokade itu semakin ketat, pihak VOC menyangka keadaan logistik kerajaan Riau sudah sulit.

Akan tetapi ternyata orang-orang terus juga memasukkan (Terutama beras dari Siam dan pulau Jawa) melalui jalur alternatif Terusan Riau yang sama sekali tidak diketahui oleh pihak kompeni Belanda.

Dari surat-surat yang berhasi dirampas dari perahu-perahu yang hendak keluar dari kawasan pertempuran dapat diketahui oleh pihak belanda bahwa Raja Haji ada menjalin hubungan dengan raja-raja di pulau Jawa untuk berperang bersama-sama.

Pada tanggal 21 September 1783 pihak Riau melakukan serangan besar yang menyulitkan pihak lawan sehingga kapal hof ter linde terpaksa dipotong tali jangkarnya dan menjauhi jarak tembak penyerang-penyerang Riau.

Di Kapal-kapal Belanda orang menderita karena sakit radang perut dan disentri. Sudah selama itu mereka berada di perairan Pulau Bintan, pendaratan belum juga dilaksanakan.

Sumber-sumber Belanda mengakui kegigihan para pejuang Riau yang bertempur dengan semangat tinggi sepanjang hari dan beristirahat pada malam hari.

Bantuan selanjutnya yang datang pada 7 november 1783 yaitu kapal De Diamant dan beberapa kapal kecil lainnya dengan 331 orang personil, dan sebuah kapal yang akan menentukan peperangan di perairan Riau yang sudah berlangsung selama enam bulan itu: kapal malakkas welvaaren.

Bahwa pemimpin pihak Belanda itu menjumpai Yang Dipertuan Muda Raja Haji untuk berunding. Akan tetapi maksud tersebut ditolak oleh Raja Haji karena pihak lawan mengajukan syarat agar diperbolehkan membawa masuk ke dalam teluk Riau sebelum sebuah kapal besar mereka.

Dalam suatu rapat menjelang akhir tahun 1783 pihak kompeni Belanda memutuskan untuk mengadakan serangan besar dan pendaratan pada tangal 6 januari 1784.

Pada subuh baru yang sudah ditentukan itu air laut surut jauh. Namun kapal-kapal Belanda sudah sejak malamnya mendekati sasaran serangan dan pendaratan. Segera tembakan gencar dari kapal-kapal Belanda itu dibalas dengan seimbang oleh sarang-sarang meriam yang sudah siap di darat ( Hendri Isnaeni dalam http://historia.id/persona/cerita-kumis-pahlawan-nasional-raja-haji-fisabilillah).

Menjelang pukul 11 siang beberapa perahu besar milik pihak Riau berhasil ditenggelamkan dan sarang-sarang pun banyak pula yang tidak lagi menembakkan balasan.

Pihak Belanda mengira itulah waktunya tinggal melakukan satu pukulan penghabis atau yang biasa disebut coup de grace saja lagi untuk mengalahkan pasukan Raja Haji Fisabilillah.

Namun, yang terjadi Kapal-kapal Belanda pun mulai memasuki teluk Riau, kapal mengikuti arus pasang dalam suasana senyap yang mendebarkan. Karena itulah kapal malakkas welvaaren kandas pada Beting yang jaraknya kira-kira 100 meter dari bukit tempat sebuah sarang meriam menanti.

Untuk lepas dari Beting itu harus menunggu air laut benar-benar pasang. Ternyata kandasnya kapal Belanda ini sudah diprediksi oleh Raja Haji (Tanjungpinangpos. 2013. Festival Sungai Carang, Even Sejarah, Budaya dan Wisata. Hal 1-2.

Pukul dua siang, datasemen pasukan Eropa yang kebanyakan terdiri dari orang-orang Prancis (dipimpin oleh seorang komandan bangsa Belanda yang tidak mengerti bahasa Prancis) mendarat di sebelah selatan bukit Tanjung Pinang.

Bargas yang mereka naiki kandas sehingga pasukan itu terpaksa mengarung air laut untuk mencapai pantai. Pendaratan ini sangat kacau jadinya, termasuk karena persoalan bahasa (Aswandi Syahri dalam http://jantungmelayu.com/2017/05/bukit-stoppelaar-dan-pendaratan-tanpa-sepatu/).

Dalam kemelut inilah tiba-tiba sarang meriam di atas bukit meletus ke arah malakkas welvaaren melepaskan tembakan dan kapal itupun meledak dengan sangat dahsyat, berkeping-keping sehingga begitu menggentarkan pasukan Belanda.

Akibat ini, seluruh pasukan Belanda yang terdiri dari 1900 orang personil lalu mengundurkan diri ke Malaka pada 23 januari 1784 (Majalah Prospek //http://kepri.kemenag.go.id32, Nomor 6 Tahun 2 Triwulan 4 2010 ).

Untuk pertempuran ini kemenangan secara mutlak berada dipihak Riau. Nama Raja Haji sebagai pemimpin perang bukan saja diucapkan oleh orang Riau saja tapi begitu terkenal sampai ke petinggi-petinggi Belanda.

Setelah peperangan laut di perairan Riau selesai dengan ditariknya semua kapal-kapal Belanda ke Malaka, Sultan Ibrahim dari Selangor datang ke Riau menemui bapa saudaranya Yang Dipertuan Muda Riau Raja Haji menyatakan kesanggupanya melanjutkan perang dengan menyerang Malaka.

Beberapa pembesar Riau termasuk termasuk Raja Ali yang dipersiapkan untuk mengganti Raja Haji sebagi Yang Dipertuan Muda, berusaha menengah agar peperangan itu jangan dilanjutkan. Akan tetapi Raja Haji sebagai seorang Ihomme dactiom (manusia tindak) lebih dari seorang Ihomme politique.

Hal ini terlihat dari sikapnya yang tak beganjak dari keyakinan yang telah dirasakanya padu dalam dirinya. Karena itulah dalam waktu yang sangat singkat ia memutuskan untuk menyerang pusat kompeni Belanda di Malaka. Inilah agaknya yang menyebabkan Jonkheer Ruysch menyamakanya dengan Hannibal dari Kartago.

Ekspedisi yang dilakukan VOC ke Riau selama enam bulan pada tahun 1783 itu dianggap oleh pihak Belanda sebagai suatu kegagalan besar yang banyak mendatangkan kerugian.

Dan perang dengan kerajaan Riau merupakan perang yang dilakukan terakhir kali oleh sebuah perusahaan besar yang juga memainkan peranan sebagai suatu kerajaan sehingga Reinot Vos menyebut serikat dagang itu sebagai Janus, dewa Romawi yang berwajah ganda.

Raja Haji layak disebut sebagai Hannibal yang lain setelah pengnduran VOC itu karena ia meneruskan perang dengan membawa pasukan untuk menggempur dan mengasai salah satu pusat VOC di Malaka.

Pada tanggal 13 Februari 1784 pasukan Riau yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Muda Raja Haji sudah mendarat di Teluk Ketapang yang terletak lebih kurang 15 kilometer di sebelah selatan kota Malaka.

Orang-orang Riau itu datang dengan kekuatan yang besar tanpa menyebutkan berapa besarnya. Sekali lagi sumber setempat dapat menolong dengan keteranganya.

Tuhfat al-Nafis menyatakan bahwa karena Raja Haji sudah memperkirankan peperangan di Malaka itu akan memakan waktu yang lama maka sebagian pemimpin pasukan membawa anak dan istri. R.O Windste menyebutkan jumlah pasukan itu sebagai thousand warriors tanpa menyebutkan berapa ribunya dan three hundred women. Dari sinilah dapat diperkirakan kira-kira berapa banyak kekuatan yang besar tersebut.

Dalam karya agung Raja Ali Haji Tuhfat al-Nafis dikisahkan pula bagaimana sang tokoh Raja Haji pergi berperang ke Malaka antara lain untuk mendapatkan fadhilat jihad fi sabilillah atau keutamaan berjuang di jalan Allah.

Dalam perpisahanya dengan Sultan Mahmud yang sengaja datang menemuinya di medan perang, Raja Haji berkata,Baliklah paduka Ananda. Silakan balik ke Muar. Nantikan ayahanda di dalam Muar. Tiada usah masuk. Biarlah ayahanda saja karena barangkali dikehendaki oleh Allah Taala ayahanda sampai di dalam perang ini. Adapun ayahanda suka dan Ridho karena dosa ayahanda selama ini ayahanda harap akan diampuni oleh Allah Taala dengan sebab kematian dalam perang ini.

Hal ini mengandung arti bahwa Raja Haji secara sadar menerima jenis kematianya. Mati syahid dalam peperangan merupakan suatu macam cara mati yang menurut ajaran agama yang dianutnya tergolong kedalam kematian yang sangat terhormat.

Pasukan Selangor dan Rembau datang dengan menyusur pantai dan tiba di Tanjung Keling, lalu berkubu di situ. Sedangkan dari Teluk Ketapang pasukan Riau yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Muda Raja Haji merebut Semabuk, Bunga Raya, Bandar Hilir, Bukit Cina sehingga terkepunglah sudah kota Malaka kecuali dari laut.

Karena dalam waktu yang sangat cepat pasukan Raja Haji telah berdiri di gerbang kota Malaka maka seorang sejarawan Belanda, H.J.de Graaf, dengan nada emosional mengatakan tentang keadaan itu, Het was beschamend! Alangkah memalukan!

VOC yang disebut Reinout Vos sebagai Janus sudah tahu benar siapa yang mereka hadapi kali ini. Raja Haji yang berdiri di Teluk Ketapang itu ialah seorang pelaku perang Linggi yang menyandang luka di paha kanan dan pengetahuan perang yang berharga. Ia piawai dalam perang laut yang telah dibuktikanya di Riau baru kemarin.

Malaka yang sudah sangat terdesak itu lalu meminta Batavia agar mengirimkan bantuan secepatnya sebuah eskader negara (Landseskaders atau National Squadron) dikirimkan.

Dengan demikian, peperangan antara kerajaan Riau dengan lawanya tidak hanya terbatas pada sebuah kompeni dagang yang bernama VOC saja tetapi juga dengan negeri Belanda) dibawah pimpinan Laksmana Jacob Pieter van Braam memang dalam perjalanan dari Eropa menuju Batavia.

Semula tujuan Landeskader itu untuk menghukum Pangeran Nuku di Ternate. Armada itu terdiri dari kapal-kapal besar seperti Utretch,Wassenar,Goes,Prince Louis,Monnickendam, dan Juno yang terdiri dari personil sebanyak 2130 orang, 326 meriam

Armada ini sampai di Teuk Ketapang pada tanggal 1 Juni 1784. Di tempat itu sudah menunggu beberapa kapal VOC diantaranya Hof ter Linde,de Patriot, dan lainya.

Ihwal kedatangan armada negara Belanda itu mempunyai makna tersendiri. Pertama, pada masa itu berlangsung perang antara Belanda dengan Inggris; kekuatan armada kompeni saja tak dapat diandalkan dalam menghadapi musuh sesama bangsa Eropa itu.

Kedua, pada masa itu juga Republik Belanda Serikat memang sudah akan menjalankan politik kolonialisasi dengan tidak berlindung dibalik sebuah perusahaan dagang lagi. Maka bagi VOC kedatangan armada negara yang tejadi ketika mereka dalam keadaan yang sangat sulit oleh ulah seorang pemimpin bernama Raja Haji di Teluk Ketapang seperti dewa yang turun dari langit.

Seperti dalam drama Yunani lama, sang dewa yang datang memberikan pertolongan itu dinamakan deus ex machina, karena memang dewa itu benar-benar diturunkan dengan semacam takal atau kerekan di dalam sebuag keranjang besar. Deus ex machina Sang dewa turun memberika bantuan.

Pendaratan dilakukan pada tanggal 18 Juni dengan mengerahkan 734 personil. Pertempuran habis-habisan berbalau dengan amok yang terkenl itu berlangsung sengit dan dahsyat. Seperti sebuah tableu yang gegap gempita, gambar besar yang menurut R.O Winstedt bagaikan dibuat dengan sapuan cat pelukis Eugene Delacroix.

Seorang panglima perang yang sedang sakit menaiki kudanya dan menyerbu ke tengah kancah pertempuran itu lalu tersungkur bersama kudanya ditembus peluru sebaris penembak musuh. Raja Haji sang pemimpin perang, yang berdiri dekat sebuah sarang meriam, sebelah tanganya memegang keris dan sebelah lagi memegang buku Dalail Khairat, tubuhnya ditembus peluru tepat pada dadanya, rebah bersama lebih kurang 500 orang anggota pasukanya (Lutfi, dkk, 2006:303).

Jenazah Raja Haji mula-mula disembunyikan oleh para pengikutnya di dalam hutan tak jauh dari medan pertempuran. Ada saksi yang melihat jenazahnya dibawa dalam anyaman tikar, diikuti oleh serombongan perempuan yang berpakaian bagus.

Dengan petunjuk seorang anggota pasukan yang tertawan maka dapatlah jenazah itu ditemukan dengan merujuk pada tanda-tanda seperti rambutnya yang bercukur, giginya yang agak pendek-pendek, bangun tubuh yang tamoak sasa, bekas luka di paha kanan yang diperolehnya dalam perang Linggi, dan tanda kelahiran atau sebuah tahi lalat bundar di perut.

Akhirnya, perjuangan yang sarat dengan harga diri itu tidak berakhir sia-sia. Raja Haji Fisabilillah telah berhasil menimbulkan ketakutan di kalangan Belanda dengan Pasukannya yang berani mati. Karena, sejatinya syahid telah menanti mereka jiwa memang kematian itu akan datang dalam pertempuran melawan Orang Kafir Belanda.

Tepatnya tanggal 18 juni 1784, Raja Haji Fisabilillah gugur tertembak peluru tepat di dadanya sembari tangannya memagang keris dan sebelahnya lagi memegang buku Dalail Khairat. Kemudian tanggal 24 juni 1784 jenazahnya dikenal melalui petunjuk seorang anggota pasukannya yang bernama Akhir. Karena sebelumnya, jasad Raja Haji disembunyikan di sela-sela batu dalam hutan yang tak jauh dari medan pertempuran (Lutfi, dkk, 2006:304).

Penutup

Tulisan ini bertujuan merekonstruksi sejarah Perang Riau tahun 1782-1784 sebagai materi pembelajaran sejarah lokal berwawasan pendidikan karakter. Dalam pemikiran penulis barangkali dapat tersampaikan berikut ini:

1. Sejarah Perang Riau (Local History) tahun 1782-1784 dapat dijadikan sebagai alternative pengembangan bahan ajar dalam pembelajaran sejarah berwawasan pendidikan karakter.

2. Nilai-nilai kepahlawanan yang ditunjukkan oleh Raja Haji Fisabilillah merupakan teladan bagi peserta didik di Riau.

3. Sejarah Perang Riau adalah sejarah lokal yang penuh khazanah nilai-nilai pembangunan karakter bangsa bukan sekedar pengetahuan. Rekonstruksi peristiwa sejarah Perang Riau menjadi pintu masuk bagaimana khazanah nilai-nilai karakter dapat perserta didik dapatkan.

4. Sejarah Raja Haji Fisabilillah mengajarkan kita agar menjaga marwah diri, agama dan bangsa yang menjadi sendi pokok dalam menjalankan hidup. Sikap yang ditunjukkan oleh Raja Haji Fisabilillah terhadap Belanda yang ingin menyayat keyakinan dan kehidupan masyarakat Indonesia, Riau khususnya patut dicontoh.

Penulis: Anju Nofarof Hasudungan, S.Pd., Gr., M.Pd
Guru Sejarah SMAN 1 Rupat, Provinsi Riau

Topik Menarik