Akhirnya Roti O Terima Pembayaran Uang Tunai Usai Viral dan Terancam Sanksi Rp200 Juta
JAKARTA - Manajemen Roti O mengumumkan seluruh gerai kini menerima pembayaran tunai dan non tunai. Pengumuman disampaikan manajemen setelah melakukan evaluasi usai viral menolak pembayaran uang tunai seorang nenek yang hendak membeli roti.
"Seluruh outlet Roti O menerima pembayaran tunai dan non tunai," tulis pengumuman Roti O dalam akun Instagram resminya @rotio.indonesia, Jakarta, Senin (29/12/2025).
Manajemen mengucapkan terima kasih atas masukan, perhatian dan kepercayaan yang terus diberikan kepada Roti O.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, terdapat sanksi bagi yang menolak pembayaran Rupiah. Sanksinya berupa dihukum dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta.
Sikap Bank Indonesia (BI)
Sebelumnya, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso menegaskan bahwa secara hukum, tidak ada pihak yang diperbolehkan menolak uang Rupiah kertas maupun logam untuk transaksi di dalam negeri.
Meski BI agresif mendorong digitalisasi melalui QRIS dan instrumen nontunai lainnya karena dinilai lebih cepat, murah, aman, dan handal, bank sentral tetap menekankan bahwa kenyamanan pengguna adalah prioritas utama.
"Penggunaan rupiah untuk alat transaksi sistem pembayaran dapat menggunakan instrumen pembayaran tunai atau nontunai sesuai kenyamanan dan kesepakatan pihak-pihak yang bertransaksi," kata Ramdan dalam keterangannya, Selasa (23/12/2025).
Adapun BI menegaskan aturan mengenai pembayaran tertuang dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Di dalam aturan tersebut, setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah tersebut.
“Dengan ini, maka yang diatur adalah penggunaan mata uang Rupiah dalam transaksi di Indonesia,” ujar Ramdan.
Menurut BI, penggunaan instrumen pembayaran, baik tunai maupun nontunai, harus berdasarkan kenyamanan dan kesepakatan antara penjual dan pembeli.
Untuk pembayaran nontunai didorong untuk memitigasi risiko peredaran uang palsu. BI menyadari bahwa tantangan demografi dan geografis membuat uang tunai tetap menjadi kebutuhan vital di berbagai wilayah Indonesia.
Respons tegas Bank Indonesia ini merupakan jawaban atas kegelisahan masyarakat setelah sebuah video viral menunjukkan seorang konsumen di gerai Roti O tidak dapat membeli produk karena hanya membawa uang tunai, sementara gerai tersebut menerapkan kebijakan full cashless.
Banyak warganet menilai kebijakan tersebut diskriminatif, terutama bagi masyarakat yang belum terpapar teknologi digital atau sedang mengalami kendala pada perangkat selulernya. Dengan penegasan dari BI ini, pelaku usaha diingatkan untuk kembali menyediakan opsi pembayaran tunai guna menghormati kedaulatan Rupiah sebagai mata uang tunggal yang sah di NKRI.
Sanksi Tolak Pembayaran Rupiah
Pihak-pihak yang menolak pembayaran Rupiah dalam bentuk uang tunai bisa dikenakan denda paling banyak Rp200 juta. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
"Sesuai UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Rupiah adalah alat pembayaran yang sah di NKRI dan tidak boleh ditolak, kecuali jika terdapat keraguan atas keasliannya," tulis keterangan BI.
Dalam Pasal 21 ayat 1 UU Mata Uang disebutkan setiap orang wajib menggunakan Rupiah dalam transaksi yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian dalam Pasal 23 UU Mata Uang disebutkan setiap pihak dilarang untuk menolak untuk menerima Rupiah kecuali terdapat keraguan atas keaslian Rupiah atau pembayaran kewajiban tersebut telah diperjanjikan secara
tertulis dalam valuta asing.
"Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah di wilayah NKRI dan menolak Rupiah untuk pembayaran di wilayah NKRI, dihukum dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta," tulis Pasal 33 ayat (1) dan (2) UU Mata Uang.









