Perang Dagang AS-China Bentuk Kembali Rantai Pasok Global, Siapa yang Paling Diuntungkan?
Persaingan rantai pasokan antara China dan Amerika Serikat (AS) diprediksi akan semakin ketat dalam lima tahun ke depan. Sebuah studi terbaru mengidentifikasi delapan negara berkembang, termasuk empat negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), siap mendapatkan keuntungan dari relokasi manufaktur dari China.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal China Economist ini mencantumkan Malaysia, Vietnam, Meksiko, Turki, Thailand, Indonesia, India, dan Brasil sebagai kandidat utama yang kemungkinan besar akan diuntungkan dari pergeseran produksi global. Kedelapan negara tersebut menawarkan biaya tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan China dan memiliki hubungan dagang yang kuat dengan pasar-pasar Barat.
Dorongan investasi keluar dari China dan permintaan ekspor AS yang berkelanjutan menjadi faktor pendorong bagi kedelapan negara ini untuk muncul sebagai penghubung penting dalam mengubah rantai pasokan global. Para penulis studi menyoroti dua tren paralel yang mendasari pergeseran ini, yaitu dorongan Washington untuk "friendshoring" dan strategi "China+1" yang mendorong perusahaan multinasional untuk mendiversifikasi produksi guna mengurangi paparan tarif.
Baca Juga:Vietnam Resmi Gabung BRICS, Strategi Baru ASEAN Hadapi Dominasi Barat
Studi ini diterbitkan pada bulan lalu, di tengah perang dagang kedua antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia yang mengganggu rantai pasokan global, meningkatkan biaya, dan mendorong penataan ulang strategi. Penelitian ini ditulis oleh seorang peneliti dari Chinese Academy of Social Sciences, sebuah lembaga pemikir terkemuka di China.Makalah ini mengaitkan Strategi Keamanan Nasional AS untuk tahun 2023-2033, yang menyatakan dekade ini sebagai "menentukan" bagi persaingan AS-China, dengan Rencana Lima Tahun ke-15 Beijing (2026-2030), yang dipandang sebagai jendela penting untuk mencapai tujuan modernisasi tahun 2035.
Meskipun para penulis memprediksi bahwa posisi dan pengaruh China dalam rantai pasokan global akan terus tumbuh, mereka memperingatkan adanya "fase persaingan berisiko tinggi" yang akan dihadapi oleh AS. Dalam fase ini, AS akan menghadapi tantangan yang semakin intensif dan beragam, yang dapat mempercepat laju relokasi industri dari China.
"IPEF, terutama komponen rantai pasokannya, telah matang dan dapat berfungsi sebagai platform garis depan untuk persaingan AS dengan China," tulis para penulis, merujuk pada Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasifik yang dipimpin oleh AS untuk melawan pengaruh regional Beijing, dikutip dari SCMP, Selasa (17/6).
Studi ini juga membandingkan dinamika sebelum dan sesudah perang dagang pertama antara AS dan China, dengan tahun 2018 sebagai titik balik ketika Washington memberlakukan tarif 25 persen untuk impor dari China. Sejak saat itu, delapan negara yang diidentifikasi menunjukkan kapasitas yang meningkat untuk menyerap manufaktur China, sambil meningkatkan impor barang setengah jadi dari China dan ekspor produk jadi ke AS.
Baca Juga:Apa Itu Weizmann Institute? Lab Senjata Canggih Israel yang Hancur Dirudal IranMeskipun biaya tenaga kerja di delapan negara tersebut, terutama Vietnam, Indonesia, dan India, tetap lebih rendah dibandingkan China, beban pajak mereka sebanding. Namun, infrastruktur industri dan logistik di negara-negara ini masih tertinggal dari China, meskipun kesenjangan ini semakin menyempit seiring dengan peningkatan basis industri.
Secara geografis, kedelapan negara tersebut memiliki keunggulan strategis. Meksiko dan Brasil dekat dengan pasar AS, sementara Vietnam, Malaysia, Thailand, India, dan Indonesia dekat dengan China. Turki berfungsi sebagai pintu gerbang yang menghubungkan Timur Tengah, Eropa, dan Asia.
Selain itu, negara-negara seperti India, Meksiko, Indonesia, Vietnam, dan Turki memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa atau AS, menjadikannya tujuan menarik bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang ingin menghindari tarif.