Kelas Menengah Gelisah, Diskon Tarif Listrik Perlu Diperluas ke 2.200 VA

Kelas Menengah Gelisah, Diskon Tarif Listrik Perlu Diperluas ke 2.200 VA

Ekonomi | sindonews | Minggu, 25 Mei 2025 - 16:37
share

Rencana pemerintah meluncurkan insentif ekonomi pada 5 Juni 2025 disambut antusias. Namun, kebijakan ini dinilai belum menyentuh seluruh kelompok strategis terutama kelas menengah yang selama ini menjadi penopang utama konsumsi domestik.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai salah satu insentif yang perlu diperkuat dan diperluas adalah program diskon tarif listrik. Menurutnya, insentif ini berpotensi mendorong daya beli masyarakat jika cakupannya diperluas hingga golongan pelanggan 2.200 VA.

"Diskon tarif listrik dilanjutkan adalah hal yang positif, asalkan golongannya sampai 2.200 VA, bukan hanya di bawah 1.300 VA," ujar Bhima kepada SindoNews, Minggu (25/5).

Bhima menjelaskan, pelanggan golongan 2.200 VA umumnya berasal dari segmen masyarakat kelas menengah, seperti penghuni rumah kontrakan atau kos-kosan karyawan. Mereka merupakan kelompok yang cukup rentan terhadap tekanan biaya hidup, terutama di tengah pemulihan ekonomi yang masih belum merata.

"Kelompok ini sering kali luput dari perhatian, padahal mereka juga butuh dukungan insentif listrik. Kalau tidak dibantu, belanja mereka akan stagnan, dan ini tentu menghambat pemulihan ekonomi nasional," kata Bhima.

Ia mengusulkan agar pemerintah memberikan diskon tarif listrik hingga 50 persen untuk pelanggan 2.200 VA guna memberikan efek nyata pada pengeluaran rumah tangga kelas menengah. "Langkah ini bukan hanya soal subsidi, tapi soal menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional," ujarnya.

Selain itu, Bhima juga mendorong pemangkasan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 9 persen. Ia menilai kebijakan tersebut akan memberi ruang fiskal lebih besar bagi masyarakat dalam membelanjakan uangnya, sekaligus mendorong pertumbuhan konsumsi domestik.

"Turunnya PPN justru bisa meningkatkan pendapatan negara dari sisi lain, seperti pajak penghasilan badan dan PPh 21, karena konsumsi meningkat," jelasnya.

Bhima menyebut sektor industri pengolahan sebagai pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan tersebut. Ia mencatat bahwa 25 penerimaan pajak nasional berasal dari industri pengolahan. Sebagai pembanding, Bhima menyinggung keberhasilan sejumlah negara seperti Vietnam, Irlandia, dan Jerman yang menurunkan PPN untuk memulihkan daya beli pascapandemi.

Tak hanya soal PPN, Bhima turut mendorong peningkatan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang saat ini masih di angka Rp54 juta per tahun. Ia menilai, besaran tersebut tidak lagi relevan dengan kondisi ekonomi saat ini.

"Idealnya PTKP dinaikkan menjadi Rp7–8 juta per bulan agar kelas menengah memiliki penghasilan yang lebih besar untuk dibelanjakan," tuturnya.

Terkait subsidi upah, Bhima menilai efektivitas program ini sangat bergantung pada besaran bantuan yang diberikan. Ia mengusulkan subsidi sebesar 30 persen dari upah, atau sekitar Rp1 juta per bulan bagi pekerja dengan gaji Rp3,5 juta.

"Jika nilai subsidi terlalu kecil, seperti di bawah Rp600 ribu, daya dorongnya ke konsumsi rumah tangga sangat terbatas. Pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih progresif," ujarnya.

Dengan waktu peluncuran insentif yang kian dekat, Bhima menekankan pentingnya desain kebijakan yang inklusif dan menyasar kelompok masyarakat yang memiliki potensi konsumsi tinggi. "Jangan sampai insentif yang baik ini menjadi mubazir karena tidak menjangkau kelompok yang tepat," pungkasnya.

Topik Menarik