Diponegoro Mengisahkan Peristiwa Kelam Antara Majapahit dan Pejajaran
Nasional | BuddyKu | Rabu, 20 September 2023 - 14:18
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM- Dalam cerita terdahulu disampaikan tentang percakapan Letnan Knoerle dengan Diponegoro mengenai Mancanegara yang masuk wilayah Kesunanan dan Kesultanan setelah Perjanjian Giyanti 1755. Kesultanan Yogyakarta mendapatkan Mancanegara Timur, sedangkan Kesunanan Surakarta mendapatkan Mancanegara Timur dan Barat.
Memang Kesultanan tidak mendapatkan Mancanegara Barat, tetapi wilayah Mancanegara Timur yang diperoleh lebih luas daripada Kesunanan Surakarta.
Wilayah Mancanegara ini diperintah oleh para bupati-bupati yang ditunjuk oleh kerajaan. Biasanya penunjukan itu berdasarkan keturunan. Apabila ayahnya sebagai bupati maka jabatan itu diturunkan kepada anaknya selama anaknya sehat dan cakap untuk menggantikan kedudukan ayahandanya.
Dalam kesempatan itu, mereka juga membicarakan tentang Sunan Paku Buwono VI (bertakhta 1823-1830). Sosok raja Surakarta yang berani melawan Kompeni Belanda. Dampaknya dia harus ditangkap dan dibuang ke Ambon. Pada 2 Juni 1849, PB VI meninggal dunia di usia 42 tahun.
Kemungkinan besar meninggalnya Sunan Paku Buwono VI ditembak oleh kolonial, karena ketika PB VI jasadnya digali dan dipindahkan ke Jawa dan dimakamkan di Makam Raja-Raja Imogiri pada tahun 1957, ditemukan bukti bahwa kepala tengkorak PB VI berlubang tepat di bagian dahi berukuran peluru senapan Baker (kisah tersebut bida dibaca DI SINI ).
Pembaca yang budiman, hari itu sudah hari Selasa tanggal 25 Mei 1830. Di pagi hari jam 11.00, Letnan Knoerle menemani Diponegoro jalan-jalan di geladak menghirup udara laut yang segar. Karena terik matahari mulai panas, mereka berdua kemudian kembali ke kabin Diponegoro dan ngobrol-ngobrol tentang sejarah Jawa. Diponegoro memang sosok pangeran Yogyakarta yang senang tentang sejarah Jawa.
Diponegoro bertanya kepada Letnan Knoerle, Apakah Letnan Knoerle melihat makam ibu Raja Brawijaya V, raja terakhir dari Kerajaan Majapahit? Diponegoro mengatakan bahwa Ibu Brawijaya V itu meninggal di Lasem dan dimakamkan di Karang Kemuning.
Setelah membahas tentang ibu Brawijaya V, Letnan Knoerle dan Diponegoro kemudian membahas tentang Kerajaan Pejajaran yang menurut Diponegoro keberadaan kerajaan itu mengawali berdirinya Kerajaan Majapahit.
Ibu Brawijaya V atau Bhre Wirabumi (bertakhta 1466-1478), bernama Dyah Duhitendu Dewi (Dewi Purnamawulan). Ibu Brawijaya V ini memang meninggal di Lasem. Makam itu dikenal Diponegoro sebagai Karang Kemuning. Nama Karang Kemuning sekarang menjadi Desa Bonang, Kecamatan Binangun, Rembang.
Situs ini sekarang dikenal dengan situs Putri Campa. Brawijaya V sebagai raja terakhir Majapahit dikenal sebagai ayahanda Raden Patah (bertakhta 1503-1518) , pendiri Kerajaan Demak.
Tentang Pejajaran, pembicaraan Diponegoro bisa jadi merujuk pada pembantaian bangsawan Pejajaran yang dilakukan oleh tentara Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada di Alun-alun Bubat tahun 1357.
Sebenarnya yang disampaikan Diponegoro bahwa Perang Bubat sebagai awal berdirinya Majapahit kurang tepat, Perang Bubat atau juga dikenal Pasundan Bubat terjadi karena upaya Gajah Mada untuk meluaskan pengaruh kekuasaan Majapahit di Jawa Barat.
Saat itu, Kerajaan Pejajaran belum tunduk kepada Kekuasaan Majapahit, sehingga Gajah Mada memanfaatkan kelemahan Pejajaran itu untuk menghancurkannya.
Perang Bubat adalah pertempuran keluarga Kerajaan Pasundan dengan Pasukan Majapahit di Alun-Alun Bubat. Letak Alun-alun Bubat ada di bagian utara Ibukota Kerajaan Majapahit di Trowulan. Peristiwa kelam itu terjadi pada tahun 1357.
Dalam peristiwa itu seluruh keluarga Kerajaan Sunda dan rombongan yang mendampingi putri raja Sunda yang bernama Dyah Pitaloka yang akan melangsungkan pertunangan dengan Raja Majapahit, Hayam Wuruk (bertakhta 1350-1389) dibantai atas perintah Patih Gajah Mada (menjabat sekitar 1329-1364).
Melihat keluarga Pejajaran semua dibantai oleh pasukan Majapahit, maka Putri Dyah Pitaloka dan dayang-dayangnya bunuh diri belapati terhadap orang-orang Pejajaran yang terbantai.
Peristiwa berdarah inilah yang memicu sentimen sejarah antara Jawa dan Sunda. Di Jawa, nama jalan sulit sekali ditemui nama Jalan Prabu Siliwangi, sedangkan di Jawa Barat nama jalan sulit sekali ditemui Jalan Hayam Wuruk atau Jalan Gajah Mada.
Untuk mereduksi sentimen sejarah itu, pada tahun 2017 raja Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X meresmikan jalan arteteri ( ringroad ) di Yogyakarta menjadi Jalan Pejajaran, Jalan Siliwangi, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Brawijaya.
Peresmian jalan ini tidak ditafsirkan bahwa Sunda pernah bermusuhan dengan Kerajaan Mataram yang pernah ada di Yogyakarta, tetapi gagasan ini sebagai simbol rekonsiliasi kultural dengan saling memaafkan dan tidak mempunyai rasa dendam antara Jawa dan Sunda (dulu Majapahit dan Pejajaran).
Tujuan dari rekonsiliasi kultural ini adalah terbentuknya persatuan Indonesia dalam menghadapi tantangan di masa depan.
Bagaimana kisah-kisah berikutnya saat Sang Pangeran di Kapal Pollux? Ikuti terus artikel ini yang tentunya ditemukan kisah-kisah menarik lainnya. Tunggu episode berikutnya, ya!
Penulis: Lilik SuharmajiFounder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.
Bacaan Rujukan Carey, Peter. 2022. Percakapan Dengan Diponegoro . Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Lilik Suharmaji. 2021. Suksesi Takhta Mataram antara Perang dan Damai 1586-1755 . Yogyakarta: LKiS.
Lilik Suharmaji. 2021. Suksesi Takhta Mataram antara Perang dan Damai 1586-1755 . Yogyakarta: LKiS.










