Patih Danurejo IV, Satu-satunya Patih Yogyakarta Bukan Trah Danurejan
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM- Dalam kisah terdahulu disampaikan bahwa Diponegoro sangat terkejut mendengar adanya penyerangan yang dilakukan pengikut Diponegoro terhadap rombongan tentara kolonial dengan para pangeran Yogyakarta yang di dalamnya ada Pangeran Panular dan Pangeran Mertosono.
Tanpa perintah dan sepengetahuan Diponegoro, warga Lengkong yang terletak Sleman Yogyakarta menyerang dan menghabisi rombongan itu termasuk diantaranya Pangeran Panular dan Pangeran Mertosono.
Diponegoro datang ke lokasi sudah terlambat. Dia hanya melihat jasad-jasad bergelimpangan dan diantara jasad itu ada putra HB I (Pangeran Panular) dan putra HB II (Pangeran Mertosono).
Melihat kerabatnya yang sudah menjadi mayat itu, Diponegoro tidak kuasa menahan air mata dan kesedihan. Diponegoro kemudian memerintahkan kepada Haji Badaruddin untuk mengajikan dan mendoakan di depan jazad mereka.
Para korban sendiri kemudian dimakamkan pada 31 Juli dan 1 Agustus 1826. Perbincangan dengan Letnan Knoerle berhenti setelah Letnan Knoerle meminta izin undur diri pada pakul 7 malam (kisah tersebut bisa dibaca DI SINI ).
Pembaca yang budiman, esok paginya hari Kamis, tanggal 20 Mei 1830 Letnan Knoerle berkunjung lagi di kabin Diponegoro. Melihat Letnan Knoerle datang, wajah Diponegoro berseri-seri kemudian mengajak ngobrol-ngobrol sambil menunggu sarapan pagi bersama.
Diponegoro memulai percakapan dengan menceritakan tentang Patih Danurejo IV. Doponegoro bercerita tentang karir patih Yogyakarta ini. Diponegoro mengatakan bahwa Danurejo IV sebenarnya berasal dari keluarga biasa-biasa saja.
Danurejo IV mengawali karirnya sebagai bupati Japan, pasca 1838 menjadi Mojokerto. Wilayah ini dekat dengan Surabaya Jawa Timur.
Diponegoro melanjutkan ceritanya bahwa Danurejo IV kehilangan jabatannya itu setelah Inggris berkuasa di Jawa. Setelah kehilangan jabatan, Danurejo IV akhirnya mengadu nasib ke Yogyakarta dan menetap di Yogyakarta.
Diponegoro mengatakan karena bantuan rekomendasi dari dirinyalah, mantan bupati Japan itu akhirnya diangkat sebagai patih Yogyakarta pada 3 Desember 1813.
Memang apa yang disampaikan Diponegoro kepada Letnan Knoerle itu ada benarnya. Danurejo IV sebelumnya bernama Mas Tumenggung Sumodipuro yang menjabat sebagai bupati Japan (Mojokerto).
Patih Danurejo IV merupakan satu-satunya patih yang bukan dari keturunan Danurejan (Patih Danurejo I). Patih Darunejo V pengganti Danurejo IV adalah putra dari Patih Danurejo II.
Sebelum diangkat menjadi Patih Danurejo V, dia bernama Raden Gondokusumo dan pada saat Perang Jawa, Gondokusumo menjadi panglima perang Diponegoro dengan gelar Ali Basah Abdulmahmud Gondokusumo.
Pengangkatan Mas Tumenggung Sumodipuro menjadi patih Yogyakarta ini dikarenakan Patih Danurejo III sudah semakin pikun sehingga harus diganti agar segala urusan yang berkaitan dengan pemerintahan Yogyakarta menjadi lancar .
Patih yang sudah berusia lanjut, saat diangkat menjadi patih pada tahun 1812, sudah berusia 70 tahun itu memang sudah tidak cakap lagi memegang segala urusan pemerintahan.
Patih Danurejo III selalu salah dalam membicarakan urusan penting dengan residen Yogyakarta. Dia diangkat menjadi patih karena Patih Danurejo II dihukum mati oleh Sultan Sepuh di istana ( patih seda kedhaton ) karena selalu memihak kolonial sehingga merugikan kerajaan.
Jabatan patih adalah jabatan yang kakinya di dua kekuasaan, karena dia harus setia kepada raja dan juga harus setia kepada kolonial.
Untuk itulah, patih merupakan jabatan strategis dan biasanya lebih mementingkan kebutuhan kolonial dari pada kepentingan kerajaan.
Sepanjang sejarah kesultanan Yogyakarta, hanya Patih Danurejo I, patih terbaik sepanjang masa karena dia walaupun disumpah untuk melayani kepentigan Kompeni Belanda, tetapi patih ini lebih suka mengabaikan kepentingan Kompeni dan lebih mengutamakan kepentingan Kesultanan Yogyakarta di bawah kendali Sultan Mangkubumi.
Saat itu, Residen Yogyakata, John Crawfurd mendesak Sultan ketiga agar segera mengganti Patih Danurejo III. Ada dua nama yang muncul saat itu yaitu Pangeran Dipokusumo yang didukung oleh Diponegoro tetapi ditolak oleh Sultan ketiga karena dahulu Dipokusumo menentang Sultan ketiga.
Pertimbangan Sultan ketiga yang lain karena Dipokusumo sudah mulai uzur, usia 60 tahun. Pilihan kedua adalah Raden Tumenggung Pringgodiningrat. Tokoh ini telah menjabat sebagai patih jero. Joh Crawfurd merekomendasikan tokoh ini tetapi Diponegoro menolaknya.
Memang saat itu Diponegoro menjadi orang penting di Keraton Yogyakarta karena dia penasehat politik ayahandanya, Sultan ketiga.
Setelah dua calon ditolak oleh Sultan ketiga maupun Diponegoro, proses pergantian patih berhenti untuk sesaat.
Hal ini menjadikan John Crawfurd, Residen Yogyakarta di masa Inggris berkuasa menjadi gusar. Sultan ketiga kemudian mengutus Tan Jin Sing atau Raden Tumenggung Secodiningrat yang menjabat sebagai bupati Yogyakarta, pergi ke Tegalrejo menemui Diponegoro. Tan Jin Sing mengantongi dua nama untuk menjadi calon patih Yogyakarta yang akan dipilih Diponegoro.
Dua nama yang dicalonkan itu adalah Pringgodiningrat dan Mas Tumenggung Sumodipuro. Tentu saja Diponegoro kaget ketika Tan Jin Sing membawa dua nama itu.
Pringgodiningrat sebelumnya ditolak oleh Sultan ketiga, sehingga tidak mungkin Diponegoro memilihnya. Untuk itulah calon patih tinggal Sumodipuro.
Karena jabatan patih sangat dibutuhkan untuk segera bekerja, maka Diponegoro memilih Sumodipuro. Setelah Tan Jin Sing kembali ke keraton dan membawa kabar bahwa Diponegoro menunjuk Sumodipuro, Sultan ketiga keheranan.
Sikap heran Sultan ketiga didasarkan orang ini asal-usulnya dari kalangan biasa, bukan dari trah orang besar di Yogyakarta. Lagi pula dia kurang berpengalaman karena selain usianya masih muda, dia juga belum pernah memberi perintah kepada para priyayi yang lebih tua dan apabila berbicara logat Jawa Timurnya sangat kental, sehingga terasa asing didengar oleh orang-orang Yogyakarta.
Mendapat masukan dari ayahnya itu, Diponegoro bersikukuh dengan keputusannya dengan pertimbangan Sumodipuro pasti bisa menyesuikan diri dengan bahasa dan pergaulannya dengan orang-orang priyayi di Keraton Yogyakarta.
Sikap baik Diponegoro ini kelak yang menjadi bumerang bagi Diponegoro. Ibarat air susu dibalas dengan air tuba karena kelak setelah diangkat menjadi Patih Danurejo IV, dia semakin ugal-ugalan di bidang politik.
Patih ini lebih menyukai harta, wanita, dan jabatan sehingga sering meninggalkan nilai-nilai luhur yang bertentangan dengan way of life Diponegoro. Dalam Babad Diponegoro versi Manado, Diponegoro menyebut Patih Danurejo IV sebaga i setan kulambi manungsa (setan yang berwujud manusia).
Puncak dari silang sengketa antara Patih Danurejo IV dengan Diponegoro adalah pecahnya Perang Jawa yang nantinya menelan harta dan ribuan nyawa dari pihak kolonial maupun pribumi Jawa.
Bagaimana kisah-kisah berikutnya saat Sang Pangeran di Kapal Pollux? Ikuti terus artikel ini yang tentunya ditemukan kisah-kisah menarik lainnya. Tunggu episode berikutnya, ya!
Penulis: Lilik Suharmaji
Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta.
Bacaan Rujukan
Carey, Peter. 2022. Percakapan dengan Diponegoro. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Lilik Suharmaji. 2020. Geger Sepoy, Sejarah Kelam Perseteruan Inggris dengan Keraton Yogyakarta 1812-1815 . Yogyakarta: Araska.






