Setor ke Negara Rp240 Triliun, Industri Hasil Tembakau Hadapi Tekanan Berat
JAKARTA - Industri Hasil Tembakau (IHT) kini menghadapi tekanan berat imbas kebijakan di sektor tembakau yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan aturan turunannya. Padahal sektor ini menyumbang Rp240 triliun untuk penerimaan negara.
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia menilai kebijakan ini sangat merujuk pada agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diusung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan tidak relevan diterapkan di Indonesia sebagai negara produsen tembakau.
"Dampak terhadap pekerja sangat besar. Ini menghambat proses penjualan. Kalau produk tidak terserap di pasar, buruh juga terancam. Jadi dampaknya begitu besar,” kata Ketua FSP RTMM-SPSI Sudarto AS di Jakarta, Kamis (19/6/2025).
1. Aturan di Sektor Industri Hasil Tembakau
Salah satu kebijakan dari PP 28/2024 yang menjadi sorotan adalah larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dan larangan pemajangan iklan rokok di luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak serta rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging) yang tertera pada Rancangan Peratuan Menteri Kesehatan (Permenkes), aturan turunan PP 28/2024.
Dia memperingatkan bahwa kebijakan semacam ini dapat mempercepat penurunan produksi, memicu efisiensi tenaga kerja dan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor IHT.
Sudarto menilai pendekatan yang digunakan Kementerian Kesehatan terlalu berat sebelah. Isu kesehatan, menurutnya, kerap dijadikan alat untuk menekan IHT tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan.
Ketua Pimpinan Unit Kerja (PUK) SP RTMM PT Djarum Kudus Ali Muslikin menilai bahwa intervensi asing dalam kebijakan pertembakauan nasional merupakan ancaman langsung terhadap hajat hidup para pekerja. “Terkait intervensi asing, kami di IHT turut menyumbang Rp240 triliun setoran ke negara. Itu hampir 10 persen dari APBN. Kalau industri semakin dicekik dengan aturan, saya tidak tahu negara akan dapat pendapatan darimana?” ungkap Ali.
Menurutnya, jika kebijakan yang terinspirasi dari kepentingan asing terus diberlakukan tanpa mempertimbangkan konteks nasional, maka bukan hanya pekerja yang akan menderita, tetapi juga pendapatan negara turut terancam.
Serikat pekerja mendesak pemerintah untuk tidak mengorbankan kepentingan ekonomi nasional demi memenuhi agenda kesehatan global yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan realitas di dalam negeri. Mereka menuntut agar kebijakan yang diambil tetap berpijak pada prinsip kedaulatan, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekonomi.
2. Indonesia Belum Meratifikasi FCTC
Padahal, Indonesia secara resmi tidak meratifikasi FCTC. Namun, narasi kebijakan yang tertuang dalam PP 28/2024 justru dinilai mengarah pada implementasi prinsip-prinsip FCTC, yang lebih banyak diterapkan di negara-negara non-produsen tembakau, yang tidak memiliki ekosistem pertembakauan sekompleks Indonesia. Hal ini dikhawatirkan akan menekan sektor IHT secara sistemik dan mengancam jutaan lapangan kerja.
Kekhawatiran ini juga mencerminkan visi Presiden Indonesia Prabowo Subianto yang secara tegas menolak segala bentuk intervensi asing dalam kebijakan nasional. Dalam pidatonya pada peringatan Hari Lahir Pancasila, 2 Juni 2025, di Gedung Pancasila, Presiden Prabowo menyoroti adanya upaya pihak asing yang membiayai lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memecah belah bangsa dan memengaruhi arah kebijakan dalam negeri.
“Perbedaan jangan menjadi sumber gontok-gontokan. Ini selalu yang diharapkan oleh bangsa-bangsa asing, kekuatan-kekuatan asing yang tidak suka Indonesia kuat, tidak suka Indonesia kaya,” ujar Prabowo.