Sejarah Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, Mengenang Jasa Ki Hadjar Dewantara

Sejarah Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, Mengenang Jasa Ki Hadjar Dewantara

Gaya Hidup | bandungraya.inews.id | Kamis, 2 Mei 2024 - 10:00
share

BANDUNG, iNewsBandungRaya.id - Setiap tahunnya, tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Namun, peringatan ini tidak termasuk ke dalam libur nasional.

Pemerintah menetapkan 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional melalui Keppres No 316 Tahun 1959. Hari ini dinilai penting sebagai wujud kepedulian pemerintah akan pentingnya pendidikan di Indonesia.

Biasanya, pada peringatan Hardiknas diselenggarakan upacara bendera di berbagai instansi pendidikan maupun pemerintah. Selain itu, Hardiknas juga identik dengan berbagai kegiatan lomba di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi.

Peringatan Hardiknas ini menjadi momen refleksi bagi semua pihak akan pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa dan negara.

Di tahun ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) menetapkan tema peringatan Hari Pendidikan Nasional 2024 dengan slogan "Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar".

 

Di balik itu semua, penetapan Hari Pendidikan Nasional juga dilatarbelakangi oleh sosok yang memiliki jasa luar biasa di dunia pendidikan di Tanah Air, yaitu Ki Hadjar Dewantara.

Pada 2 Mei inilah Ki Hadjar Dewantara, sosok pahlawan nasional yang juga merupakan Bapak Perintis Pendidikan Nasional di Indonesia ini lahir.

Dikutip dari laman Universitas Medan Area, Ki Hadjar Dewantara lahir di Pakualaman pada2 Mei 1889, dan meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada usia 69 tahun. Itu mengapa tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional di Indonesia.

Seperti diketahui, Ki Hadjar Dewantara adalah seorang pahlawan nasional yang berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu.

Kebijakan yang ditentang adalah kebijakan tentang pendidikan yang hanya bisa dirasakan oleh anak-anak kelahiran Belanda atau anak-anak dari golongan berada saja. Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah saat itu membuat dirinya diasingkan ke Belanda.

 

Setelah kembali ke Indonesia, Ki Hadjar Dewantara kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang dikenal dengan nama Taman Siswa.

Selain mendirikan Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara juga merupakan seorang aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia di zaman penjajahan Belanda.

Ki Hadjar Dewantara menamatkan pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School) atau sekolah dasar pada zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia.

Selanjutnya ia juga sempat melanjutkan pendidikan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), yaitu sekolah pendidikan dokter di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda, namun tidak sampai lulus lantaran sakit.

Ki Hadjar Dewantara juga pernah bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik di Indonesia, yaitu Boedi Oetomo dan Insulinde.

 

Tulisan Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal saat itu yaitu, “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga.”

Ada pula kolom Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal dengan judul “Als ik een Nederlander was” diterjemahkan menjadi, “Seandainya Aku Seorang Belanda.”

Tulisan tersebut dimuat dalam surat kabar De Expres pada 13 Juli 1913, surat kabar tersebut berada di bawah pimpinan Ernest Douwes Dekker. Namun lantaran tulisannya tersebut, ia ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka.

Tapi kedua rekannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, melakukan protes atas pengasingan tersebut. Akhirnya mereka bertiga pun diasingkan ke Belanda, dan ketiga tokoh ini kemudian dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai.”

Topik Menarik