Mengunjungi Al Shindagha Museum, Melihat Dubai Masa Lalu yang Bergantung pada Mutiara Jadi Kota Modern
DUBAI, iNews.id – Dubai yang dikenal dengan kemegahan gedung-gedung pencakar langit masih mempertahankan kawasan bersejarah Al Shindagha Museum, saksi bisu perjuangan kota ini. Museum yang berlokasi di tepi sungai kecil Dubai Creek, mengungkap bagaimana transformasi desa nelayan yang dulunya mengandalkan mutiara dan ikan menjadi kota modern dan terpadat di Uni Emirat Arab (UEA).
Jurnalis iNews.id berkesempatan mengunjungi Al Shindagha Museum pada Senin, 21 April 2025, atas undangan Department of Economy and Tourism (DET) of Dubai. Museum ini tidak sekadar menyimpan artefak, tetapi juga menjadi pintu yang mengajak pengunjung menembus lorong waktu kehidupan Dubai masa lalu.
22 Paviliun dengan 162 Rumah Bersejarah
Begitu kaki melangkah ke kompleks Al Shindagha Museum, kami langsung melihat deretan rumah-rumah tradisional berarsitektur khas Emirat. Bentuknya mirip, kotak persegi, berwarna cokelat karena dinding dan atapnya yang terbuat dari pasir dan batu karang. Pintu dan jendelanya juga berwarna senada.
Yang unik, rumah-rumah ini memiliki barjeel di bagian atas bangunan, yakni menara angin untuk sirkulasi dan pendingin udara alami. Setiap rumah dipisahkan oleh jalan-jalan sempit seperti lorong-lorong yang disebut sikka. Sebagian bentuknya lurus dan zig zag. Ternyata ini bertujuan untuk memberikan privasi bagi penghuni sekaligus berfungsi sebagai terowongan angin yang meneduhkan rumah-rumah dari udara panas.
Tidak seperti museum pada umumnya, Al Shindagha Museum memungkinkan pengunjung berjalan dari satu rumah ke rumah lain di kawasan bersejarah Bur Dubai. Pemandu kami, Amnaa mengatakan, museum ini memiliki 162 rumah tradisional dan 22 paviliun. Berjalan ke rumah demi rumah yang dilengkapi teknologi modern dan narasi visual yang memikat, seperti masuk ke halaman-halaman buku sejarah yang hidup.
Dubai Creek: Birth of City
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Paviliun Dubai Creek: Birth of City. Rumah ini mengungkap bagaimana kehidupan masyarakat tradisional Dubai mulai berubah menjadi modern di Dubai Creek. Dengan teknologi proyeksi 360 derajat, kami seperti bisa melihat langsung kehidupan Dubai di masa lalu, orang-orang Emirat yang sedang berdagang mutiara, para pelaut, dan pembuat perahu dhow, dan bagaimana mereka berhasil membangun kota.
Culture of The Sea Pavilion
Di Culture of The Sea Pavilion, pengalaman terasa begitu personal. Saat melangkah memasuki rumah, sesekali terdengar suara lantai dari kayu tua yang berderit, juga suara ombak dan angin dari audio imersif.
Kacamata VR (virtual reality) membawa kami masuk menatap langsung kerasnya kehidupan penyelam mutiara. Saya melihat penyelam menjepit hidung, lalu menyelam hingga ke dasar teluk dengan perlengkapan seadanya, demi menemukan mutiara untuk bertahan hidup dan menghidupi keluarga.
Pria itu mengumpulkan satu per satu kerang dan memasukkan ke dalam keranjang. Saya pun seakan ikut menyelam dan bisa mengumpulkan kerang-kerang berisi mutiara-mutiara itu.
Begitulah Dubai di masa lalu. Mutiara menjadi urat nadi perekonomian sebelum minyak dan gas ditemukan. Kini sumber pendapatan Dubai sangat beragam, termasuk pariwisata, real estate, perdagangan, jasa keuangan, penerbangan, dan manufaktur.
Namun, Dubai harus melewati masa-masa berat. Setelah Jepang memproduksi mutiara budidaya pada tahun 1930, perdagangan mutiara di Dubai mulai menurun. Ekonomi memburuk.
Pada 1937, perjanjian minyak pertama ditandatangani dengan Inggris untuk mencari minyak di Dubai di darat. Tiga puluh tahun kemudian, ladang minyak ditemukan di lepas pantai Dubai pada 1966. Hasilnya, pendapatan meningkat dan proyek-proyek infrastruktur besar dimulai. Era baru dimulai. Singkat cerita, Dubai berkembang pesat menjadi kota modern seperti saat ini.
Indra Penciuman Dimanjakan di Perfume House
Salah satu rumah yang tak boleh dilewatkan saat mengunjungi Al Shindagha Museum adalah Perfume House. Di sini, indra penciuman kami dimanjakan dengan berbagai aroma parfum yang berperan penting dalam budaya Arab.
Pemandu kami Amnaa menjelaskan bahan-bahan parfum legendaris seperti oud yang berasal dari pohon gaharu, termasuk yang tumbuh di Indonesia, dan ambergris dari muntahan ikan paus. Lalu, parfum dari mawar taif yang berasal dari Kota Thaidf di Arab Saudi, musk dari kelenjar perut rusa jantan yang tidak bertanduk, dan saffron dari bunga Crocus sativus.
Yang menarik, kami bisa mencium langsung aromanya. Cukup dekatkan hidung ke alat interaktif yang disediakan, tekan tombol, dan wangi aroma oud hingga saffron pun akan tercium di hidung.
Pengunjung juga bisa melihat bagaimana orang Dubai meracik parfum menggunakan teknik kuno yang diwariskan turun-temurun hingga saat ini. Amnaa mengatakan, parfum tidak hanya digunakan sebagai kosmetik oleh masyarakat Emirati, tetapi juga bagian dari ritual spiritual dan sosial di masyarakat Emirati.
Oh ya, The Perfume House ini dulunya adalah kediaman Sheikha Shaikha Bint Saeed Al Maktoum, ahli parfum ternama. Dia juga bibi dari Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Emir Dubai saat ini.
Setiap Paviliun Punya Kisah Sendiri
Selain dua paviliun utama tadi, Al Shindagha Museum punya 20 paviliun lain dengan kisahnya sendiri yang unik mengenai sejarah Dubai. Di Traditional Crafts Pavilion dan Traditional Jewellery misalnya, kami dapat melihat berbagai hasil tenun dan bordir tradisional, keramik, dan perhiasan tradisional yang cantik. Ada pula Children’s Pavilion dengan koleksi permainan tradisional anak-anak Dubai. Beberapa sama dan akrab dengan Indonesia, seperti kelereng dan gasing.
Di museum ini, terdapat pula Al Maktoum Residence, rumah keluarga Al Maktoum yang berkuasa dan dinasti kerajaan yang selama beberapa generasi telah mengubah Dubai dari kota kecil menjadi kota metropolitan yang mendunia. Paviliun dengan rumah-rumah di dalamnya juga mengangkat tema unik dan menarik untuk dijelajahi.
Butuh waktu lama untuk menyusuri semua paviliun dan rumah-rumah di museum ini. Jika tidak ingin melewatkannya dan ingin memahami bagaimana Dubai dengan tantangan alam yang keras bisa berkembang pesat, pengunjung harus datang lebih pagi.
Di kawasan Al Shindagha Museum juga terdapat kafe tradisional dan toko kerajinan serta suvenir. Jika lelah, pengunjung bisa duduk bersantai sebentar di bangku sambil memandangi Dubai Creek, lalu melanjutkan kembali menyusuri museum hingga senja tenggelam.
Jadwal Buka Al Shindagha Museum, Harga Tiket, dan Akses
Jika sedang berada di Dubai dan ingin mengunjungi museum ini, jangan lupa mengecek jadwal dan harga tiket. Al Shindagha Museum dibuka setiap hari pukul 10.00 – 20.00 waktu setempat. Penjualan tiket terakhir pukul 19.00.
Sementara harga tiket masuk Al Shindagha Museum bervariasi. Untuk pengunjung dewasa harga tiketnya AED 50. Sementara pelajar berusia 5-24 tahun AED 20.
Bagi pengunjung yang datang dalam grup berjumlah 5 orang atau lebih, membayar tiket AED 40 per orang. Anak-anak di bawah 5 tahun dan warga senior Emirati di atas 60 tahun digratiskan masuk museum. Begitu juga dengan pemegang kartu ICOM/Dewan Museum Internasional, gratis masuk museum.
Untuk sampai ke Al Shindagha Museum, pengunjung bisa menggunakan metro Al Ghubaiba Station (Green Line), naik abra dan feri, turun di Terminal Al Ghubaiba dan berjalan kaki 5 menit. Bagi yang berkendaraan pribadi, bisa parkir di sekitar Shindagha City Centre. Jangan lupa memakai pakaian yang nyaman dan menyerap keringat.