Sejarah Kampung Laweyan, yang Pernah Jadi Tempat Rapat Gelap Soekarno dan Hatta
JAKARTA Kampung Laweyan di Solo, Jawa Tengah adalah sebuah daerah yang dipenuhi rumah-rumah yang memiliki sentuhan arsitektur Eropa. Suasana di Kampung Laweyan layaknya sebuah kota lama dari masa kolonial.
Soekarno Pernah Jadi Bagian dari 2 Partai Ini hingga Dipenjara 4 Tahun oleh Pengadilan Belanda Rumah-rumah bernuansa Eropa tersebut dahulu merupakan kediaman para saudagar batik yang tinggal di Kampung Laweyan. Para saudagar ini sangat kaya, bahkan lebih berada dibandingkan para bangsawan, sehingga mereka bisa membangun rumah-rumah mewah mereka sendiri.
Selain rumah-rumah kuno milik para saudagar, banyak situs bersejarah yang ada di kampung Laweyan, seperti Museum Samanhudi. Kyai Haji Samanhudi adalah salah satu tokoh pergerakan nasional.
Pada masa penjajahan, Laweyan selalu dikontrol ketat oleh pemerintah kolonial Belanda, apalagi sejak Kyai Samanhudi membentuk organisasi perlawanan bernama Sarekat Dagang Islam. Proses pemasaran batik pun tak leluasa dilakukan.
"Pada masa pergerakan, batik menjadi sumber ekonomi yang juga menopang gerakan perlawanan. Soekarno, Hatta dan tokoh-tokoh politik nasional kerap berkunjung ke kampung itu, untuk rapat gelap dan melakukan konsolidasi," kata warga Laweyan, Fadoli.
Sebelum batik cap hadir pada awal 1970-an, usaha batik sangat maju. Banyak saudagar kaya, yang mempekerjakan setidaknya 100 orang setiap rumah. Selain para buruh, kehadiran batik cap juga memukul usaha-usaha pemintalan benang yang dikelola perorangan, juga sentra industri lurik di Pedan, Klaten.
Namun semua gulung tikar. Orang juga tak mau lagi menjalankan usaha pembuatan benang dari kapas karena kalah murah dengan barang-barang keluaran pabrik modern. Padahal, dulu banyak orang menanam kapas di sepanjang tepian sungai. Namun itu masa lalu, sekarang degup jantung batik Laweyan mulai berdenyut kencang.





