Menggagas Fikih Siyasah Indonesia 24 Tidak Menelantarkan Non Muslim
Jika kita berbicara tentang kemanusiaan maka ada ayat yang sering dikemukakan ialah:
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam/Q.S. Al-Isra\'/17:70). Siapapun yang merasa anak cucu Adam tidak boleh menelantarkan apalagi menghina kelompok non-muslim, apapun agama, kepercayaan, etnik, dan kewarganegaraan orang itu.
Ayat lain juga menegaskan: Dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang beriman/Q.S. al-Syu\'ara/26:114). Barangsiapa yang membunuh seorang manusia , maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya/Q.S. al-Maidah/5:32).
Sebuah riwayat dari Asma binti Abu Bakar yang menanyakan perihal ibunya yang non-muslimah kepada Nabi, apakah boleh bersilaturahmi dengannya, lalu dijawab oleh Nabi: Sambutlah ibumu dan bersilaturahmilah dengannya. (H.R. Al-Hakim).
Seperti kita ketahui, ibu Asma saat itu masih musyrik. Masih banyak keluarga Nabi yang juga masih musyrik, termasuk kakeknya sendiri, Abdul Muthalib, yang hingga wafatnya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi luar biasa respeknya Nabi, sang cucu, terhadapnya.
Dalam kesempatan lain, Aisyah menceritakan suatu ketika kelompok Yahudi datang kepada Nabi sambil mengatakan: Assamu alaikum (Kebinasaan bagimu). Memang sepintas kedengaran dengan kata Assalamu alaikum (keselamatan bagimu). Aisyah menjawabnya: Wa alaikumussam wallanah (kebinasaan dan laknat Allah bagimu).
Nabi menegur Aisyah, isterinya, dengan mengatakan: Pelan-pelan wahai Aisyah, sesungguhnya Allah SWT menyukai kelembutan di dalam setiap persoalan. Aisyah menjawab: Apakah engkau tidak mendengarkan apa yang mereka katakana kepadamu?. Nabi menjawab: Kamu sudah menjawab mereka dengan Wa alaikumussam.
Dua kasus di atas cukup menjadi bukti bagaimana Nabi teladan umat Islam begitu ramah dan lembut memperlakukan orang-orang non-muslim.
Ibunya Asma, sang mertua Nabi diminta untuk memperlakukan secara terhormat dan manusiawi kepada ibunya, sungguh pun ia seorang non-muslim.
Bahkan Nabi meminta agar sering mendatangi untuk bersilaturahmi dengannya. Sekalipun berbeda agama, kalau kerabat tetap harus berprilaku baik dan respek terhadap mereka. Agama tidak boleh menjadi jarak antara satu sama lain. Yang penting di sini ada saling pengertian.
Kisah kedua, nyata-nyata kelompok non-muslim yang bertamu kepada Nabi menunjukkan itikad kurang baik, mendoakan Nabi binasa, lalu Aisyah membalasnya dengan kalimat sepadan.
Nabi bukannya menegur tamu yang kurang terpuji itu tetapi malah menegur istrinya agar tetap bersikap lemah lembut terhadap tamu.
Nabi menyadari betul apa arti kemanusiaan dan bagaimana cara menaklukkan jiwa yang keras.
Nabi sering membalas orang yang selalu melancarkan serangan dengan cara-cara lembut, dan ternyata hasilnya sangat menakjubkan, orang-orang yang menyerang
Nabi itu takluk dengan kelembutan Nabi. Seandainya Nabi melawannya dengan kekerasan yang sama maka tentu tidak bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi. Itulah pelajaran kepribadian dari Nabi.
Jika setiap kekerasan dihadapi dengan kekerasan, jika setiap cemohan dibalas dengan cemohan, dan jika setiap penghinaan dibalas dengan penghinaan, maka ketegangan akan mewarnai kehidupan kita.
Kadang-kadang kita memang harus menempatkan diri kita sebagai kakak yang kadangkala harus mengalah terhadap adik. Jika ada orang menghina kita, anggaplah mereka itu adik dan kita sebagai kakak. Pada akhirnya sang adik akan lebih membutuhkan figure sang kakak.
Yang menjadi masalah kalau tidak ada yang mau menjadi kakak, semuanya mau menjadi adik.
Mari kita berupaya agar kita semua menjadi kakak, supaya kehidupan di dalam berbangsa dan bermasyarakat tenteram adanya.
Perbedaan agama, kepercayaan, aliran, mazhab, dan ikatan primordial tidak boleh penghalang untuk menjalin silaturahmi satu sama lain.
Perbedaan yang terjadi di antara makhluk Allah SWT harus dianggap sebagai sunnatullah, yang tak boleh dibantah siapa pun.
Perbedaan harus dianggap sebagai sebuah rahmat, kalau perlu kita merayakan perbedaan itu.