Pesawat Raksasa Airbus A380, dari Sejarah hingga Stop Produksi
JAKARTA - Kamis (1/6/2023), untuk pertama kalinya pesawat penumpang terbesar Airbus A380 mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Captain Kardibaldi Wardaja dari Indonesia mendaratkan pesawat milik maskapai penerbangan Emirates itu dengan halus dan mulus, pada pukul 16.35 WITA, yang mengangkut 10 first class , 41 business class , dan 433 penumpang ekonomi. Dan berita ini kemudian menjadi viral di banyak medsos dan televisi.
Itu adalah pendaratan komersial pertama di Bali dan di Indonesia. Dulu sebenarnya pesawat ini pernah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pada 4 Mei 2012. Tetapi itu adalah pendaratan darurat dari Sydney ke Singapura, karena salah satu penumpangnya sakit.
Memang sesuatu yang pertama, yang besar, yang tidak biasa, dan memerlukan penanganan khusus, selalu saja menarik perhatian. Begitu juga pendaratan Airbus A380 kali ini.
Pendaratan Airbus A380 di Bali cukup menghebohkan dunia aviasi Indonesia, padahal di dunia internasional pesawat raksasa A380 ini dihindari oleh para pemesannya sendiri.
Kisah A380
Pesawat Arbus A380 ini terbang perdana pada 27 April 2005 di Bandara Blacnac, Toulouse, Perancis. Dan pada 25 Oktober 2007, penerbangan komersial pesawat Airbus A380 yang pertama kali Singapura-Sydney, dilakukan Singapore Airlines dengan nomor penerbangan SQ380.
Airbus menawarkan pilihan untuk terbang long haul dengan kapasitas 555 penumpang dengan tiga kelas. Jika hanya satu kelas standar, pesawat ini mampu mengangkut 854 penumpang. Luar biasa!
Rupanya prediksi Airbus meleset atau kurang tepat. Dunia aviasi tidak lagi menyukai l ong haul flight dengan jumlah penumpang yang banyak tetapi memilih terbang point to point , agar dapat menekan biaya.
Itulah yang menyebabkan maskapai penerbangan tidak mau menggunakan pesawat bermesin empat yang membawa lebih dari 500 penumpang, dan harus terbang dengan kapasitas penuh agar penerbangan dapat efisien.
Maskapai penerbangan, seperti para penumpangnya, lebih ingin terbang dari titik ke titik, dan oleh karena itu lebih banyak rute dapat diaktifkan.
Sejarah
Pesawat A380 disebut sebagai pesawat masa depan. Dengan pertimbangan meningkatnya perjalanan udara internasional, adanya kongesti dan kemacetan di bandara akan menimbulkan permintaan pesawat yang lebih besar.
Pesawat yang akan menerbangkan penumpang dari hub ke hub para penumpangnya akan turun dan terbang dengan pesawat lain yang lebih kecil, menuju bandara tujuan yang lebih kecil.
Tetapi pada kenyataannya, realitas pasar komersial terbukti berbeda. Pada awalnya Airbus A380 dibuat untuk menggantikan Boeing 747, tetapi pasar jet tersebut sudah berubah justru ketika A380 selesai diproduksi.
Grup kedirgantaraan Eropa pada 2021 menghentikan produksi pesawat double decker dengan 550 kursi ini. Ini disebabkan Emirates, pelanggan utama jet tersebut, secara drastis memotong pesanannya. Sebabnya, Emirates kesulitan mengisi seat pesawat pada beberapa rute penerbangannya. Keputusan Emirates mungkin telah membuktikan lonceng kematian untuk Airbus A380.
Ketika Airbus menyiapkan pembuatan A380, pada saat yang sama pesaingnya, Boeing, malah menyiapkan pembuatan pesawat B-787 Dreamliner. Sebuah pesawat dengan dua mesin yang mampu terbang dengan jarak yang sama dan menawarkan fleksibilitas rute penerbangan yang lebih besar.
Berhenti diproduksi
Akhirnya, tampaknya pertaruhan Boeing terbayar. Industri aviasi telah beralih menggunakan pesawat yang lebih kecil dan lebih hemat bahan bakar. Ada kecenderungan yang pasti ke arah penggunaan pesawat yang lebih kecil dan lebih efisien.
Dunia mulai bergerak meninggalkan pesawat bermesin empat. Teknologi saat ini memungkinkan maskapai melakukan hal yang sama, dalam hal jangkauan terbang dengan hanya menggunakan dua mesin.
Barangkali nasib Airbus A380 hampir mirip dengan Concorde. Pesawat jet supersonik itu, memiliki cerita mereka sendiri yang sangat spesifik. Concorde hanya memiliki dua pelanggan, British Airways dan Air France. Hanya 14 pesawat yang diproduksi untuk penerbangan komersial. Concorde terbang perdana pada 2 Maret 1969 dan berhenti beroperasi 26 November 2003.
Sebenarnya Airbus mengelola program A380 dengan sangat baik dalam beberapa tahun terakhir. Mereka mencapai titik impas pada 2015. Sejak saat itu, mereka telah meminimalkan biaya tetap yang terkait dengan program tersebut untuk membatasi kerugian karena pengurangan produksi.
Jatuhnya harga minyak pada 2014 telah menyebabkan perlambatan ekonomi berkelanjutan dan membuat permintaan menjadi lemah, sementara larangan perjalanan AS di beberapa negara muslim dan serangan teroris Eropa semakin menghambat perjalanan udara.
Dengan biaya bahan bakar A380 yang tinggi, Emirates terpaksa mengoperasikan beberapa rute penerbangan walaupun rugi. Tidak seperti pesaing lainnya yang menggunakan pesawat yang lebih efisien seperti A350.
Emirates tahun lalu harus melakukan grounded beberapa pesawat karena lemahnya permintaan. Banyak rute yang masih baik-baik saja, tetapi rute yang lain terbang setengah kosong.
Ini sepertinya menjadi indikasi dari superjumbo Airbus A380, pesawat yang dielu-elukan sebagai masa depan perjalanan udara, dan yang akan menantang dominasi Amerika di langit.
Tetapi ironisnya, hanya 12 tahun setelah superjumbo jet A380 pertama kali memasuki layanan, Airbus telah menghentikan produksi pesawat seharga USD375,3 juta atau Rp5,63 triliun. Pesawat komersial terbesar yang semula dianggap sebagai perwujudan kerja sama industri Eropa.




