Menggagas Fikih Siyasah Indonesia 10 Faktor Negara negara Asing
Konsekuensi Muawiyah memboyong Ibu Kota Islam ke Syam (Syiria) setelah ia mengambil alih kekuasaan dari Ali, musyawarah dengan para tokoh utama umat Islam, seperti para sahabat senior, sudah jarang lagi terjadi.
Apalagi saat itu belum ada alat komunikasi yang efektif semacam yang kita miliki sekarang. Muawiyah jarang sekali bermusyawarah seperti halnya para khalifah sebelumnya.
Sebagai referensi perbandingan, Muawiyah banyak mengambil iktibar dari negara-negara lain saat itu, di luar kekuasaan negara Islam, seperti Byzantium, China, dan Persia.
Keseluruhan negara di luar Islam saat itu masih menggunakan sistem kerajaan (monarki).
Sistem pemerintahannya mirip apa yang pernah terjadi di masa sebelum Nabi Muhammad berkuasa.
Suksesi pemerintahan dilaksanakan lewat penunjukan kepada anggota keluarga terdekat.
Misalnya, Muawiyah menunjuk putra mahkotanya Yazin ibn Muawiyah bakal calon pengganti yang akan menggantikannya kelak.
Sama dengan pada masa jahiliyah, kepemimpinan suku Quraisy juga berlangsung dengan cara pewarisan tahta kerajaan kepada anggota keluarga terdekat yang ditunjuk.
Sistem monarki saat itu masih dipandang wajar karena kerajaan-kerajaan tetangga saat itu juga masih melakukan hal yang sama.
Hal yang sama juga terjadi pada masa Abbasiyah yang menggantikan rezim Bani Muawiyah.
Suksesi kepemimpinannya juga berdasarkan penunjukan sebagaimana lazimnya negara-negara monarki lainnya.
Tradisi kepemimpinan yang ditanamkan di dalam pemerintahan Muawiyah banyak mengadopsi pola kepemimpinan negara-negara lain, yang bersifat otoriter.
Tradisi musyawarah sebagaimana yang dikembangkan khulafaur rasyidin berangsur-angsur ditinggalkan.
Muawiyah bukan saja meninggalkan musyawarah dalam pengambilan keputusan, tetapi juga menganut sistem protokol kerajaan negara-negara monarki pada masanya.
Raja diperlakukan bagaikan dewa yang tak boleh dibantah. Ia harus diperlakukan sebagai penguasa mutlak yang tak boleh dibantah dan dipertanyakan kebijakannya.
Rakyat sudah mulai dipisahkan dengan penguasa. Jabatan hajib (protokoler) dikembangkan sedemikian rupa sehingga wilayah kekuasaan raja semakin besar.
Berbeda pada zaman Khulafaur Rasyidin, rakyat dan pemimpin membaur begitu dekat, sebagaimana juga dicontohkan Rasulullah SAW.
Hajib-hajib sangat full power, menentukan siapa-siapa yang berhak menghadap atau diterima raja.
Dalam sistem perekonomian sepenuhnya di bawah kontrol raja. Khalifah Umayah mengadopsi sistem pengelolaan ekonomi negeri tetangganya yang kelihatannya sistematis dan teratur tetapi ujung-ujungnya berpusat pada kehendak raja.
Khalifah Muawiyah membentuk lima macam kepaniteraan, yaitu urusan korespondensi, urusan pajak, urusan angkatan bersenjata, urusan kepolisian, dan urusan peradilan.
Masing-masing kepaniteraan itu dipimpin oleh seorang panitera, atau mungkin sekarang bisa diparalelkan dengan wazir (menteri).
Di antara jabatan itu, yang paling strategis ialah urusan korespondensi, yang mengatur kepentingan kesejahteraan keluarga raja.
Jabatan ini umumnya selalu dipegang oleh keluarga raja atau pejabat senior kepercayaan lainnya.
Hal positif dari Muawiyah ialah lembaga peradilan ditata dengan baik, dengan mengembangkan prinsip profesionalisme.
Lembaga hukum ini sudah menyiapkan sanksi bertingkat kepada para pelaku kejahatan.
Khalifah Umayah lebih banyak mengikuti model kebijakan negara-negara tetangganya seperti Byzantium, yang menjunjung tinggi keadilan.
Berbeda dengan Dinasti Abbasiyah yang banyak mengikuti pola kerajaan Persia yang ada didekatnya, dimana raja dianggap sebagai titisan dewa yang dijamin kebenarannya.
Titah raja tidak bisa dibantah jika rakyat ingin hidup tenang. Dengan demikian, kedua rezim ini (Muawiyah dan Abbasiyah) kedua-duanya mengikuti pola kepemimpinan negeri tetangganya yang menganut sistem monarki.