Tak Selamanya Komoditas Itu Indah, Ikhtisar Perdagangan Internasional Indonesia Paruh Pertama 2023

Tak Selamanya Komoditas Itu Indah, Ikhtisar Perdagangan Internasional Indonesia Paruh Pertama 2023

Travel | BuddyKu | Jum'at, 17 Maret 2023 - 07:30
share

IDXChannel - Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Februari 2023, Rabu (15/3). Dalam paparannya, sejumlah sinyal ekonomi menunjukkan mulai mengalami pelemahan.

Disinyalir, karena pertumbuhan ekspor melambat sementara impor juga turun.

Nilai ekspor Indonesia Februari 2023 tercatat mencapai USD21,40 miliar atau turun 4,15 persen dibanding ekspor Januari 2023. Secara year on year (yoy), nilai ekspor naik sebesar 4,51 persen dibanding Februari 2022.

Secara rinci, ekspor nonmigas Februari 2023 mencapai USD20,21 miliar atau turun 3 persen dibanding Januari 2023. Secara yoy, nilainya naik 3,76 persen jika dibanding ekspor nonmigas Februari 2022.

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia JanuariFebruari 2023 mencapai USD43,72 miliar atau naik 10,28 persen dibanding periode yang sama 2022. Sementara ekspor nonmigas mencapai USD41,05 miliar atau naik 8,73 persen.

Di sisi impor, nilai impor Indonesia Februari 2023 mencapai USD15,92 miliar, juga mengalami penurunan 13,68 persen dibandingkan Januari 2023. Secara yoy, turun 4,32 persen dibandingkan Februari 2022.

Adapun impor migas Februari 2023 senilai USD2,41 miliar, turun 17,19 persen dibandingkan Januari 2023 atau turun 17,08 persen dibandingkan Febuari 2022.

Impor nonmigas Februari 2023 turun 13,03 persen senilai USD13,51 miliar, dibandingkan Januari 2023 atau turun 1,63 persen dibandingkan Februari 2022. (Lihat grafik di bawah ini.)

Perkembangan Neraca Perdagangan

Neraca perdagangan Indonesia Februari 2023 mengalami surplus USD5,48 miliar terutama berasal dari sektor nonmigas USD6,70 miliar. Surplus ini meningkat dari USD3,88 miliar pada Januari 2023.

Secara total, neraca perdagangan Indonesia hingga Februari 2023 mencapai surplus selama 34 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Namun, hasil ini tereduksi oleh defisit sektor migas senilai USD1,22 miliar.

Neraca migas mengalami defisit USD1,22 miliar yang disumbang oleh minyak mentah dan hasil minyak.

Sebelumnya, analis yang disurvei oleh Reuters memperkirakan Indonesia akan mengalami surplus perdagangan USD3,27 miliar. Surplus perdagangan bulan Februari juga meningkat dari bulan Januari sebesar USD3,87 miliar dan merupakan yang terbesar sejak bulan Oktober tahun lalu.

Amerika Serikat (AS), India, dan China masih menjadi mitra dagang penyumbang surplus neraca perdagangan terbesar. AS menyumbang surplus USD1,33 miliar dengan sektor komoditas penyumbang utama Mesin dan perlengkapan elektrik bagiannya (HS 85) sebesar USD396,4 juta, pakaian dan aksesoris bukan rajutan USD183 juta, dan pakaian dan aksesoris rajutan sebesar USD165,3 juta.

India menjadi mitra penyumbang surplus neraca dagang sebesar USD1,08 miliar untuk ekspor Bahan bakar mineral, lemak dan minyak nabati, dan bijih logam, terak, abu masing-masing menyumbang USD730,2 juta, USD249,3 juta, dan USD119,4 juta.

Ekspor untuk negeri Tirai Bambu menyumbang surplus USD999,9 juta dengan komoditas penyumbang besi dan baja sebesar USD1,18 juta, bahan bakar mineral USD1,12 juta, dan lemak dan minyak nabati USD0,59 juta. (Lihat tabel di bawah ini.)

Tiga negara penyumbang defisit neraca perdagangan di antaranya Australia, Thailand, dan Brazil. Australia menyumbang defisit USD400,4 juta sementara Thailand menyumbang defisit USD342,1 juta. Brazil menyumbang defisit sebesar USD158,8.

Sektor komoditas Australia yang menyumbang defisit perdagangan di antaranya serelia sebesar USD135,3 juta, logam mulia dan perhiasan sebesar USD93,6 juta dan bahan bakar minyak USD92,4 juta.

Perdagangan kita dengan Australia sering mengalami defisit karena beberapa alasan. Pertama, kita selalau mengimpor bahan bakar mineral, serealia, dan logam mulia dari Australia dalam jumlah besar tiap tahunnya. Di sisi lain, kita ekspor peralatan mesin, peralatan elektronik, perkayuan, dan besi/baja ke Australia dan jumlahnya juga jauh lebih kecil, ujar Hasran, ekonom Center for Indonesian Policy Studies(CIPS) kepada IDX Channel, Kamis (16/3).

Menariknya, perdagangan gula dengan Thailand juga menyumbang defisit tertinggi mencapai USD107,7 juta dibanding dua komoditas lainnya yakni mesin dan peralatan mekanis serta bagiannya sebesar USD94,9 juta serta kendaraan dan bagiannya sebesar USD83,1 juta.

Highlight Penurunan Ekspor-Impor

Penurunan ekspor terjadi pada komoditas migas dan non migas. Penurunan terbesar ekspor nonmigas Februari 2023 terhadap Januari 2023 terjadi pada komoditas bahan bakar mineral sebesar USD277,0 juta atau terkontraksi 6,51 persen. Adapun peningkatan ekspor terbesar terjadi pada mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya sebesar USD141,0 juta atau 10,93 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

Menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan JanuariFebruari 2023 turun 0,26 persen dibanding periode yang sama tahun 2022, demikian juga ekspor hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan turun 1,95 persen, sedangkan ekspor hasil tambang dan lainnya naik 58,76 persen.

Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada JanuariFebruari 2023 berasal dari Jawa Barat dengan nilai USD6,00 miliar atau menyumbang 13,72 persen), diikuti Kalimantan Timur USD5,10 miliar atau menyumbang 11,67 persen dan Jawa Timur sebesar USD3,83 miliar atau 8,75 persen.

Penurunan impor terjadi pada golongan barang nonmigas terbesar Februari 2023 dibandingkan Januari 2023 adalah mesin atau perlengkapan elektrik dan bagiannya mencapai USD355,4 juta atau terkontraksi 15,22 persen. Sedangkan peningkatan terbesar adalah bijih logam, terak, dan abu mencapai USD111,1 juta atau 249,87 persen.

Menurut golongan penggunaan barang, nilai impor JanuariFebruari 2023 terhadap periode yang sama tahun sebelumnya terjadi peningkatan pada golongan barang modal USD317,3 juta atau 5,87 persen dan barang konsumsi sebesar USD178,6 juta atau setara 6,42 persen.

Ekspor nonmigas Februari 2023 terbesar adalah ke China yaitu USD5,04 miliar, disusul Amerika Serikat USD1,91 miliar dan Jepang USD1,74 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 42,99 persen. Sementara ekspor ke ASEAN dan Uni Eropa (27 negara) masing-masing sebesar USD3,97 miliar dan USD1,25 miliar.

Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama JanuariFebruari 2023 adalah China USD9,36 miliar (32,22 persen), Jepang USD2,77 miliar (9,53 persen), dan Thailand USD1,79 miliar (6,17 persen). Impor nonmigas dari ASEAN USD4,99 miliar (17,17 persen) dan Uni Eropa USD2,01 miliar (6,91 persen).

Peningkatan terbesar ekspr non migas secara month to month terjadi di negara India yang mencapai USD258 juta dan Bangladesh di urutan ke dua mencapai USD179,5 juta. Taiwan menyumbang peningkatan ekspor non migas mencapai USD121,7 juta dan Mesir serta Thailand masing-masing menyumbang USD77,9 juta dan USD60,1 juta.

Penurunan ekspor non migas terbesar dari Korea Selatan mencapai minus USD218,1 juta dan China minus USD210,4 juta. Jepang, Swiss dan Italia juga menyumbang penurunan terbesar masing-masing minus USD152,4 juta, USD142,7 juta, dan USD122,1 juta.

Tak Selamanya Berkah Komoditas

Hasran, ekonom Center for Indonesian Policy Studies(CIPS) mengatakan, untuk mengukur sampai kapan Indonesia akan menikmati berkah komoditas dan mengalami surplus perdagangan, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan.

Pertama , kondisi ekonomi global khususnya negara mitra dagang terbesar yakni AS, China, India, Jepang, dan Korea. Pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara seperti AS, India, Korea Selatan diproyeksikan akan lebih rendah dan dapat berpengaruh terhadap permintaan komoditas unggulan. Ini yang akan berisiko menghambat ekspor-impor dalam beberapa waktu ke depan.

K edua , kondisi perekonomian domestik. Diketahui, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Februari 2023 mencerminkan tingkat ekspektasi konsumen yang tercatat 122,4 dan masih terjaga dalam zona optimis terhadap permintaan dalam negeri.

Ke tiga , harga komoditas di pasar global. Penurunan ekspor non migas diikuti oleh penurunan sejumlah komoditas utama dunia seperti batu bara, minyak sawit, timah, minyak mentah dan gas alam.

MelansirBloomberg, rata-rata harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) sepanjang Februari 2023 adalah USD222,12/ton.

Anjlok 38,69% dibandingkan rerata bulan sebelumnya dan 5,98% lebih rendah dari rata-rata Februari tahun lalu.

Sementara menurut catatan BPS, harga batu bara telah menurun menjadi USD207,5 per MT.

Akibatnya secara nilai, angka ekspor jadi lebih rendah, meskipun secara volume BPS masih mencatat adanya kenaikan menjadi sebesar 27,5 juta ton pada Februari, dari 26,2 juta ton pada bulan sebelumnya.

Pada harga minyak sawit, secara yoy juga mengalami penurunan sebesar 37,6% dari sebelumnya mencapai USD1344,8 per metrik ton (MT) pada Februari 2022, menjadi USD950 per MT pada Februari 2023.

Minyak mentah juga mencatatkan penurunan serupa mencapai 14,21% yoy yang harganya mencapai USD80,3 per barel. Adapun gas alam juga mengalami penurunan 48,82% yoy menjadi USD2,4 per MMBTU.

Kondisi ekonomi AS melemah selama tahun 2023 sehingga ekspor ke sana juga akan berkurang. Namun, ekspor kita ke India, China, dan Jepang akan tetap menguat mengingat perekonomian di tiga negara ini tumbuh positif selama 2023, ujar Hasran.

Meski demikian, menurut Hasran, beberapa komoditas unggulan seperti bahan bakar mineral, minyak dan lemak hewani/nabati, serta besi dan baja akan tumbuh walaupun harganya akan kembali normal.

Di sisi lain, impor akan mengalami penurunan walaupun masih dalam kategori terkontrol. Penyebabnya adalah ekonomi domestik yang tetap menggeliat selama 2023, sehingga kebutuhan bahan baku industri juga tetap tinggi.

Hanya saja berkurangnya impor terjadi karena kebijakan impor kita seperti Neraca Komoditas yang mengalami permasalahan beberapa waktu lalu, dan kecenderungan Indonesia dalam mengurangi impor bahan baku Industri. Dengan demikian secara keseluruhan dalam semester pertama 2023 kita masih akan menikmati surplus neraca perdangangan kata Hasran.

Prompt Manufacturing Index (PMI) di beberapa negara mitra dagang utama juga tengah berada pada fase ekspansi, menjadi indikasi permintaan komoditas.

Di antaranya adalah China, Amerika Serikat (AS), hingga India. China mencatatkan kenaikan PMI sebesar 51,5 pada Februari 2023 dibanding bulan sebelumnya sebesar 49,2.

Sementara PMI AS juga ekspansif ke level 47,3, naik tipis dibanding bulan sebelumnya sebesar 46,9. India masih menunjukkan stagnansi PMI sepanjang Januari-Februari 2023 yakni 55,4 dan 55,3.

Beberapa negara mitra dagang utama mengalami peningkatan PMI. Misalnya saja India, ASEAN (Vietnam, Thailand, Singapore, Filipina) Arab Saudi, dan China rata-rata memiliki PMI rata-rata 50%. Tumbuhnya sektor manufaktur di sana juga akan meningkatkan potensi ekspor Indonesia, imbuh Hasran. (ADF)