Sejarah Haramnya Babi untuk Umat Muslim, Padahal Tidak Ada Babi di Arab
JAKARTA, iNews.id - Sejarah haramnya babi untuk umat Muslim patut disimak dengan seksama. Sebagaimana diketahui, babi merupakan hewan yang haram dikonsumsi umat muslim, baik daging atau seluruh bagian tubuhnya yang lain.
Larangan memakan daging babi dan seluruh bagian tubuhnya untuk umat Muslim telah tercatat jelas dalam Al Quran. Beberapa ayat seperti Surat Al-Maidah ayat 3, Surat Al-An\'am ayat 145, Surat Al-Baqarah ayat 173 dan Surat An-Nahl ayat 115 telah menjelaskan keharapan tersebut.
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. An Nahl: 115)
Berdasarkan penjelasan ayat diatas, tidak diragukan lagi hukum babi haram untuk dimakan. Oleh karena itu, memakan daging babi berarti dapat menimbulkan dosa.
Sejarah Haramnya Babi
Ibnu Katsir melalui kitab Tafsir Al-Quran al-Azim juga menerangkan tentang keharaman babi. Pengharaman babi tidak hanya sebatas pada daging dan lemaknya, tetapi termasuk kulit, rambut, tulang, lemak, dan anggota tubuh lainnya.
Begitu juga dilarang memakan daging babi baik yang mati dengan cara disembelih atau mati dalam keadaan tidak wajar. Lemak babi pun haram dimakan sebagaimana dagingnya karena penyebutan daging dalam ayat cuma menunjukkan keumuman (aghlabiyah) atau dalam daging juga sudah termasuk pula lemaknya, atau hukumnya diambil dengan jalan qiyas (analogi). (Tafsir Al-Quran Al-Azhim, 2: 36)
Saat Allah SWT mengharamkan daging babi, tidak ada babi sama sekali Jazirah Arabiah. Pada masa jahiliyah, bangsa Arab juga tidak menyebut babi dalam syair dan prosa mereka, sebagaimana hewan ternak lain yang disebutkan.
Ini menunjukkan babi tidak familier di kehidupan mereka. Selain itu, tidak ditemukan babi dalam sejarah bangsa Arab sejak zaman Nabi Ibrahim AS hingga Nabi Muhammad SAW.
Satu-satunya kabilah Arab yang memelihara dan makan babi adalah Bani Taghlib, yaitu sebuah pecahan dari Bani Bakar bin Wail yang merupakan keturunan dari Rabiah yang awalnya hidup di Jazirah Arabiyyah lalu bermigrasi ke Iraq sejak abad ke-7.
Saat Nabi Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib atau Madinah Munawwaroh, juga tidak ada kabilah Arab yang memelihara dan mengonsumsi babi. Kaum Yahudi di sana bahkan juga mengharamkannya.
Oleh karena itu, disimpulkan bahwa Islam sudah melarang mengonsumsi babi sejak Nabi belum melihat hewan tersebut. Surat An-Nahl dan Surat Al-Anam adalah surat Makkiyyah yang mengandung ayat mengharamkan makan babi.
Lantas mengapa babi diharamkan sementara di Mekkah dan Jazirah Arab bahkan tidak ada sekor babi ditemukan?
Itulah salah satu kemukjizatan Al Quran yang mana sesungguhnya telah mengabarkan kondisi babi di akhir zaman. Al Quran sebenarnya tengah mengkhithob generasi umat Islam di kemudian hari.
Perlu ketahui bahwa babi bukan hanya haram untuk dikonsumsi, tetapi juga haram untuk diperjualbelikan atau dimanfaatkan. Hal ini juga ditegaskan Rasulullah dalam sabdanya:
Dari Jabir bin Abdullah beliau mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda pada tahun penaklukan Mekkah dan beliau waktu itu berada di Mekkah: Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung-patung. Lalu ada yang bertanya: Wahai Rasulullah Apakah boleh (menjual) lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu dan meminyaki kulit serta dipakai orang untuk bahan bakar lampu? Maka beliau menjawab: Tidak boleh, ia tetap haram. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda lagi ketika itu: Semoga Allah memusnahkan orang Yahudi, sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya lalu mereka rubah bentuknya menjadi minyak kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagai umat Muslim, kita tidak hanya wajib menghindari dari makanan yang mengandung babi saja tetapi juga perlu menghindari makanan dan minuman yang diharamkan dalam islam. Wallahualam bissawab




