Masyarakat Adat Jalawastu Brebes Gelar Ritual Ngasa, Ini Pantangan yang Tak Boleh Dilanggar
BREBES, iNews.id - Masyarakat adat di dataran Gunung Sagara Dusun Jalawastu Desa Ciseuruh Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes, menggelar ritual ngasa. Ritual yang digelar setiap tahun ini sebagai upaya melestarikan tradisi para leluhur dan ungkapan rasa syukur masyarakat adat Jalawastu.
Ratusan warga berpakan serba putih disibukkan dengan persiapan menyambut hari suci sebagai ungkapan rasa syukur digelarnya ritual ngasa di pedong pesarean yang mereka sebut sebagai tanah suci.
Tanah suci yakni gedong pesarean berlokasi di kawasan tanah keputihan (tanah suci) yang letaknya berada di atas kampung adat Jalawastu Desa Cisereuh Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes.
Ritual ngasa digelar pada Selasa Kliwon ke sembilan setiap tahunnya. Ritual ini merupakan ritual yang digelar sejak leluhur mereka penganut Sunda Wiwitan.
Sebagai wilayah adat yang mayoritas penduduknya mengandalkan hasil alam, dalam ritual mereka mengarak hasil bumi. Berbagai hasil pertanian mulai dari padi, jagung, kelapa hingga sayur mayur diarak. Hasil pertanian yang dihias menyerupai gunungan diarak dari saung budaya menuju lokasi ritual.
Upacara ngasa digelar setiap tahun sebagai upaya melestarikan tradisi para leluhur. Ritual ini sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat adat Jalawastu atas hasil bumi. Karena memang warga setempat mayoritas sebagai petani, kata Kades Ciseuruh, Darsono, Rabu (1/3/2023).
Dalam ritual ngasa, seorang tetua adat atau kakolot membacakan mantera di gedong pesarean. Kemudian dilanjutkan pembacaan doa sebagai bentuk syukur atas hasil bumi yang mereka nikmati. Usai berdoa ritual diakhiri dengan makan bersama dengan menu nasi jagung dan sayur-sayuran.
Sejarawan Pantura Wijanarko mengatakan pengaruh Sunda Wiwitan yang masih dipertahankan adalah penggunaan bahasa sunda di kampung Jalawastu. Warga setempat masih bergantung pada alam dan mereka sangat menjaga alam sebagai sumber penghidupan.
Berdasarkan sejarahnya Sunda Wiwitan berasal dari Jalawastu. Setelah masuknya islam warga yang menolak memilih pindah ke berbagai daerah termasuk ke badui, kata Wijanarko.
Pengaruh Sunda Wiwitan ini bisa dilihat dari pemakaian bahasa Sunda. Ketaatan mereka menjaga alam dan tidak berani melanggar pantangan, ujarnya.
Menurutnya, sejumlah pantangan yang tetap dijaga adalah tidak memelihara kambing, domba, kerbau, tidak menanam bawang dan kacang-kacangan serta rumah warga tidak menggunakan semen atau batu. Mereka percaya jika dilanggar akan mendatangkan petaka, ujarnya.
Direktur kepercayaan terhadap Tuhan YME dan masyarakat adat, Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek Julianus Limbeng mengatakan pihaknya telah memberikan dukungan penguatan lembaga adat dan ritual adat ngasa Jalawastu.
Tak hanya upaya untuk penguatan adat tapi juga mendorong agar mereka bisa memiliki hak atas pengelolaan hutan yang kita sebut sebagai hutan adat seluas 64,9 hektare, katanya.
Sebelum prosesi ngasa digelar di halaman saung adat Jalawastu, warga dan tamu undangan disuguhi pencak silat perang centong yakni dua lelaki yang tengah berkelahi dan tari tunggal yang dibawakan seorang lelaki serta musik lesung yakni sejumlah perempuan seperti layaknya sedang menumbuk padi.







