Politik Air Bersih dalam Kemelut Wabah Kolera di Surabaya

Politik Air Bersih dalam Kemelut Wabah Kolera di Surabaya

Travel | BuddyKu | Kamis, 15 Desember 2022 - 09:46
share

SURABAYA, NETRALNEWS.COM - Pada paruh abad ke-19, Surabaya menjadi kota industri dan dagang yang utama di koloni dengan jaringan perdagangan internasional yang menghubungkan jaringan Asia, Eropa, dan Amerika Utara.

Dalam kehidupan masyarakat Surabaya ditemukan sebuah sistem masyarakat baru, yakni kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai pengacara, jurnalis, dokter, akuntan, guru, para pemilik usaha menengah yang membuka berbagai toko-toko dan jasa, dan juga para pensiunan pejabat sipil dan militer. Kelompok inilah yang menyebut dirinya de particuliere sadja , atau warga partikelir.

Mereka (kelompok partikelir) adalah inti dari pembentukan kelas menengah perkotaan di Surabaya pada pertengahan abad ke-19 dan memiliki posisi yang relatif lebih bebas dari pengaruh negara serta cenderung bersikap kritis terhadap persoalan yang menyangkut kepentingan warga kota.

Gagasan-gagasan liberalisme mereka menentukan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah lokal melalui dewan kota ( gemeenteraad ) seperti di negeri Belanda. Wacana politik yang populer kala itu adalah tuntutan akan permasalahan layanan publik dan kualitas hidup di perkotaan.

Muncul pula desakan pembentukan pemerintah yang otonom di tingkat lokal sebagai saluran aspirasi warga di perkotaan. Namun, negara kolonial adalah sebuah pemerintahan sentralistik dengan gaya patronase politik yang meniadakan hak-hak politik warga di koloni, termasuk bagi kalangan orang-orang Eropa sekalipun (Achdian, 2020:100).

Dari permasalahan tersebut menimbulkan munculnya saluran-saluran di ruang publik yang mengkritisinya melalui media, klub-klub sosial dan kafe ( Societeit ), gedung pertunjukkan dan kegiatan seni, serta asosiasi-asosiasi yang mewakili konsepsi dan pandangan ideologis warga partikelir di Surabaya.

Meskipun globalisasi mengubah kehidupan menjadi maju melalui teknologi di daerah koloni, namun globalisasi juga mendatangkan jenis penyakit baru, salah satunya Kolera. Wabah ini telah merebak di Hindia Belanda sejak 1818 bersamaan dengan kedatangan koloni Inggris yang membawanya dari delta Sungai Gangga India.

Sepanjang abad ke-19, Surabaya telah mengalami lima kali serangan wabah penyakit dengan tingkat kematian 40,6% di antara pasien Eropa dan 41% di antara pasien pribumi. Jumlah kematian terbesar akibat kolera disebutkan terjadi pada 1872 dengan jumlah korban mencapai sekitar 6.000 jiwa, yang mencapai hampir 10 persen dari total penduduk kota.

Tingkat persebaran dan angka kematian yang tinggi tidak diimbangi oleh pengetahuan akan penanggulangan kolera. Ketidakjelasan dalam menghadapi kolera justru semakin memperluas wabah di dalam kota.

Terdapat penelitian yang membuktikan bahwa penyebaran kolera di kota London pada pertengahan abad ke-19 berasal dari saluran air minum yang tidak sehat. Maka, perbaikan sistem sanitasi publik dan pengadaan air bersih yang layak minum dianggap sebagai solusi yang efektif dalam mencegah perluasan wabah kolera.

Sedangkan itu, warga Eropa di Surabaya khawatir dengan wabah kolera yang berkali-kali menghampiri tempat tinggal mereka dan mengkritisi ketiadaan fasilitas air bersih. Namun desakan mereka tidak ditanggapi secara cepat oleh pemerintah pusat di Batavia.

Akhirnya, mereka menyuarakannya melalui surat kabar Soerabajasch Handelsblad yang terbit pada 16 Januari 1897. Pesannya adalah:

Wabah kolera dan demam sporadis yang berujung pada kematian menjadi gambaran hari ini. Usulan pembangunan fasilitas air minum, seperti tertuang dalam rencana Birnie dan Eijdmann untuk memberikan warga kota air bersih di rumah mereka tetap tidak mendapat tanggapan dari pemerintah pusat...

Satu-satunya penyelesaian yang paling mungkin adalah pembentukan pemerintah kota dan otonomi yang lebih besar dalam mengelola urusan lokal. Sentralisasi pemerintahan yang berlebihan, yang kita alami sekarang ini, tidak bisa memberi kebaikan apa pun. Pengalaman telah menjadi pelajaran berharga bagi kita. Dan atas dasar pengalaman itu kita bisa menyimpulkan bahwa akhir dari sentralisasi pemerintahan adalah revolusi.

Pada akhir April 1897, mereka kembali mendesak pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur air bersih. Gagasan ini dipelopori oleh W.F. Schimmel, redaktur surat kabar De Soerabaja Courant, dan E. Fabius, pensiunan perwira angkatan darat yang memutuskan tetap tinggal di Hindia sebagai warga sipil.

Keduanya mengusulkan pertemuan warga kota Surabaya di Schouwburg, gedung teater di pusat kota, untuk menyusun petisi yang dikirim langsung ke Ratu Belanda. Ia meyakini bahwa sumber penyebaran wabah disebabkan oleh kondisi sanitasi kota yang buruk dan ketiadaan saluran air bersih bagi warga.

Fabius berhasil meyakinkan warga kota untuk membubuhkan tanda tangan mereka dan mengirim petisi melalui telegram sore harinya ( Soerabajasch Handelsblad , 5 Mei 1897). Tercatat sebanyak 231 warga Eropa di kota Surabaya turut menandatangani petisi tersebut.

Akhirnya mereka mendapatkan tanggapan baik dengan dibangunnya proyek air bersih yang rampung pada November 1903. Dari peristiwa ini, kita mengetahui bahwa permasalahan kesehatan warga bukan hanya menjadi domain eksklusif pemerintah, tetapi juga bagian dari kepentingan warga di dalam kehidupan politik yang demokratis.

Meskipun wabah menjadi sebuah ancaman dalam kehidupan, tetapi keberadaannya memberikan sebuah pandangan baru dalam tatanan sosial, budaya dan politik dalam masyarakat.

Penulis: Maria Octaviani Naibaho

Mahasiswa Universitas Negeri Malang

Referensi:

Achdian, A. (2020). Politik Air Bersih: Kota Kolonial, Wabah, dan Politik Warga Kota. Jurnal Sejarah, 3(1) 98-104.

Setyowati, Y. I. (2018). Penyakit Kolera dan Pemberantasannya Di Surabaya Tahun 1918-1942. Ilmu Sejarah-S1 , 3(5).

Topik Menarik