Kenapa Solo Tidak Menjadi Daerah Istimewa, Ternyata Begini Sejarahnya

Kenapa Solo Tidak Menjadi Daerah Istimewa, Ternyata Begini Sejarahnya

Travel | BuddyKu | Sabtu, 3 Desember 2022 - 10:52
share

YOGYAKARTA, iNews.id - Kenapa Solo Tidak Menjadi Daerah Istimewa ? Padahal Kasunan Surakarta dan Mangkunegaran juga banyak berjasa dalam kemerdekaan RI, sama seperti dengan Keraton Yogyakarta.

Sejarah Surakarta dan Yogyakarta sama-sama memiliki keterikatan dengan Mataram. Namun nasib berkata lain, Yogyakarta sekarang menjadi daerah istimewa dengan gelimang dana keistimewaan hingga ratusan miliar per tahun, namun tidak bagi Surakarta.

Sebenarnya sejarah mencatat, dua daerah ini pernah sama-sama pernah menyandang yang sama. Yakni sama-sama sebagai daerah istimewa. Daerah Istimewa Surakarta (DIS) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Namun seriring berjalannya waktu status daerah istimewa bagi Surakarta ini hanya tinggal sejarah.

Sejarah Daerah Istimewa Surakarta

width=790

Pada 18 Agustus 1945, Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunagoro VIII mengirimkan telegram dan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia. Telegram dan ucapan itu kemudian diikuti Maklumat dukungan berdiri di belakang Republik Indonesia pada 1 September 1945.

Pernyataan dukungan dari Sunan Paku Buwono XII ini lebih awal dari dukungan Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Keduanya baru mengeluarkan maklumatnya pada 5 September 1945.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII juga melakukan hal yang sama dengan mengirim telegram dan ucapan selamat kepada Soekarno dan Hatta.

Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia menyambut suka cita dukungan dari Paku Buwono, Mangkunagoro, Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam ini.

Sehari setelah para Raja mengirimkan ucapan selamat itu, tepatnya pada 19 Agustus 1945 Soekarno kemudian mengeluarkan Piagam Kedudukan yang menetapkan Susuhunan Paku Buwono XII, KGPAA Mangkunagoro VIII, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII pada kedudukannya masing-masing.

Beberapa hari setelah penetapan DIS tepatnya pada 1 September 1945 Sunan Pakubuwono XII dan Adipati Mangkunegoro VIII kemudian mengeluarkan sebuah maklumat. Maklumat itu bahwa Negeri Surakarta dan Praja Mangkunegaran yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negara Republik Indonesia.

Keduanya berdiri di belakang pemerintah pusat negara Indonesia. Selain itu hubungan kedua kerajaan tersebut dengan pemerintah pusat adalah bersifat langsung.

Beberapa hari kemudian tepatnya tanggal 6 September 1945, pemerintah pusat melalui Presiden Soekarno memberikan Piagam Kedudukan yang menegaskan bahwa PB XII dan Adipati Mangkunegoro VIII masing masing adalah Kepala Pemerintahan DIS.

Wilayah Daerah Istimewa Surakarta meliputi :
a. Kabupaten Surakarta (Kota Surakarta sekarang dikurangi distrik Banjarsari, kelurahan Kerten, kelurahan Jajar dan kelurahan Karangasem di disktrik Laweyan, kelurahan Mojosongo di distrik Jebres) ditambah Kabupaten Sukoharjo
1. Kabupaten Klaten termasuk eksklave Kotagede dan Imogiri
2. Kabupaten Boyolali
3. Kabupaten Sragen

Wilayah Mangkunegaran yang terdiri atas :
1. Kabupaten Karanganyar (dikurangi kecamatan Colomadu dan kecamatan Gondangrejo),
2. Kabupaten Wonogiri termasuk eksklave Ngawen Gunungkidul
3. Kabupaten Kota Mangkunegaran

Status Daerah Istimewa Surakarta Dicabut

Walau telah mendapat pengakuan dan ketetapan langsung dari Presiden Soekarno, serta mendapat dukungan luas dari tokoh nasional, namun posisi dan kedudukan DIS masih belum cukup kuat.

Masih banyak pihak yang menyoal dan mempertanyakan DIS. Ini justru datang dari para politis lokal dan para laskar pejuang. Mereka menilai DIS tak sesuai dengan semangat revolusi.

Kelompok yang menentang DIS ini meminta agar pemerintahan dijalankan oleh rakyat, bukan oleh Pakubuwono dan Mangkunegoro.

Konflik yang terus berkepanjangan ini membuat Surakarta terbagi dalam tiga kelompok. Yang pertama yaitu kelompok yang mendukung Swapraja atau mendukung DIS.

Mereka mayoritas berasal dari kelompok bangsan yang mayoritas adalah kelompok bangsawan dan orang orang yang memiliki kedekatan atau kepentingan dengan Keraton. Kelompok ini di antaranya Legiun Mangkunegaran, Pakempalan Kawulo Surakarta dan Pemuda Trah Surakarta.

Yang kedua adalah kelompok moderat yang berisi para kaum terpelajar dan berpendidikan tinggi, serta orang-orang yang memiliki kepekaan terhadap perubahan.

Walaupun mereka memiliki kedekatan dengan keraton, tapi mereka menginginkan adanya reformasi sistem pemerintahan namun dengan tetap mengakomodasi bentuk Swapraja.

Kelompok ketiga adalah kelompok Anti Swapraja. Kelompok ini cukup keras dan radikal menentang bentu Swapraja. Mereka menilai pemerintahan model DIS yang diserahkan kepada Raja akan menyusahkan rakyat.

Kelompok yang tergabung dalam barisan Anti Swapraja ini antara lain adalah simpatisan Tan Malaka, Barisan Banteng, tokoh komunis dan barisan pemuda revolusioner dari berbagai kelompok.

Banyaknya penolakan terhadap DIS inilah yang membuat situasi makin rumit. Ini juga diperparah dengan sika pemerintah pusat yang kurang jelas dan tegas.

Pasalnya selain menunjuk Kasunanan dan Mangkunegaran sebagai penguasa DIS, pemerintah pusat juga membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta (KNIDS). KNIDS ini juga diberikan kewenangan sebagai penguasa DIS dan mengelola pemerintahan umum.

Dalam perjalanannya KNIDS justru mendapat simpati yang besar dari pihak-pihak yang selama ini Anti-Swapraja. Sementara ada sejumlah pihak yang kemudian mengkampanyekan dan menyudutkan Kasunanan dan Mangkunegaran yang dituding pro penjajah.

Berlarutnya situasi ini membuat situasi politik yang memanas di Surakarta. Kekacauan dan situasi chaos terjadi dimana-mana. Gerakan anti DIS atau Swapraja makin meluas ke pelosok-pelosok desa.

Situasi makin parah dengan aksi penculikan dan penurunan paksa para pejabat Kasunanan. Patih Kasunanan KRMH Sosrodiningrat V menjadi korban pertama. Dia diculik pada tanggal 17 Oktober 1945. Sunan PB XII kemudian melantik KRMT Yudhonagoro menjadi Patih yang baru menggantikan KRMH Sosrodiningrat.

Namun nasib KRMT Yudhonagoro juga sama. Dia diculik pada tanggal 15 Maret 1946 dan kemudian sebanyak sembilan pejabat Kepatihan juga diculik oleh orang tak dikenal. Aksi penculikan dan pencopotan paksa bupati Kasunanan marak terjadi. Bahkan hingga pelosok-pelosok daerah

Pada 6 Juni 1946, pemerintah pusat kemudian menetapkan status Surakarta dalam keadaan bahaya. Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No 6 tahun 1946 yang membentuk Dewan Pemerintahan Rakyat dan Tentara yang diketuai oleh Sudiro dari Barisan Banteng. Undang-undang ini berlaku hingga 15 Juli 1946.

Pemerintah dengan dalih mengendalikan keamanan kemudian mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD/1946. Penetapan pemerintah ini berisi penghapusan jabatan komisaris tinggi serta mengubah status Daerah Istimewa Surakarta menjadi sebuah Karesidenan untuk sementara waktu, serta pembentukan Pemerintah Kota Surakarta.

Pemerintah juga menghapus batas wilayah swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran dan menyatukan Kota Surakarta. KNIDS juga dibubah jadi DPRD Surakarta serta membentuk DPRD di tiap kabupaten.
Para pegawai Swapraja Keraton statusnya diubah menjadi pegawai pemerintah kota dan mereka tidak lagi berada di bawah pimpinan Sunan PB XII dan Adipati Mangkunegoro VIII.

Berbagai keputusan ini makin menegaskan jika pemerintah berusaha menjadikan Surakarta menjadi sebuah daerah dengan pemerintahan biasa.

Berikutnya pemerintah mengeluarkan UU No 16 tanggal 2 Juni tahun 1947. Dari sini terbentuklah Pemerintah Kota Surakarta. Dengan adanya undang-undang ini otomatis menutup peluang berkuasanya kembali Sunan PB XII dan Adipati Mangkunegoro VIII. Keduanya tidak lagi memiliki kendali atas Surakarta.

Meskipun kekuasannya dalam DIS \'dilucuti\' oleh pemerintah pusat, namun Sunan PB XII adalah seorang kesatria. Dia tetap setia kepada Republik dan mendukung pemerintah RI terus berlanjut. Kasunanan menyumbangkan banyak harta dan bendanya untuk membantu pemerintah RI termasuk saat Belanda melakukan agresi militer.

Namun dalam perjalananya pemerintah kembali mengeluarkan UU No 10 /1950 yang berisi tentang pembentukan provinsi Jawa Tengah yang didalamnya terdapat Karesidenan Surakarta.

Lalu pada 8 Agustus 1950, pemerintah menetapkan UU Nomor 13 tentang Daerah Otonom yang berisi ketetapan menggabungkan Karesidenan Surakarta kedalam Provinsi Jawa Tengah dan pembentukan kota praja atau kota madya Surakarta.

Mulai saat itu pula segala aset yang berhubungan dengan Swapraja seperti pabrik, perkebunan dan aset publik lainnya yang dimiliki Keraton serta Mangkunegaran diambil alih oleh pemerintah.

Dengan berbagai runtutan peristiwa itu kedudukan Swapraja Daerah Istimewa Surakarta (DIS) yang terdiri dari Kasunanan dan Mangkunegaran akhirnya berakhir.

Topik Menarik