Singapura Cabut UU Kriminalisasi Gay, Siap Legalkan Pernikahan Sejenis?
BUKAMATA - Aktivitas seks gay kini tak lagi dianggap kriminal di Singapura. Pasalnya baru-baru ini Parlemen Singapura secara resmi mencabut undang-undang yang mengkriminalisasi hubungan seks gay. Laporan Reuters mengatakan bahwa parlemen Singapura mencabut UU era kolonial itu pada Selasa (29/11/2022) lalu.
Meski demikian, parlemen belum mengamandemen UU yang bisa membuka jalan pengajuan tuntutan untuk mengubah definisi pernikahan dan keluarga.
Aktivis LGBT di Singapura menyambut baik pencabutan UU kriminalisasi seks gay tersebut. Namun, mereka kecewa karena tak bisa mengubah definisi pernikahan melalui jalur hukum.
Kepala kelompok advokasi LGBT Oogachaga, Bryan Choong, mengatakan momen ini memang bersejarah bagi aktivis yang mendesak pencabutan UU tersebut.Namun, ia menegaskan bahwa pasangan dan keluarga LGBT juga "punya hak untuk diakui dan dilindungi."
Hingga kini, belum diketahui waktu pasti aturan yang baru bakal berlaku. Namun, amandemen kali ini bakal memberikan ruang bagi parlemen untuk memperluas definisi pernikahan.
Selama ini, aktivis lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di negara lain menggunakan UU itu untuk mengubah definisi pernikahan sehingga tak sebatas "ikatan laki-laki dan perempuan."
Dengan demikian, negara dapat melegalkan pernikahan sesama jenis, seperti yang terjadi di Taiwan dan Thailand.
Pemerintah sendiri selama ini bersikeras mengamandemen aturan itu. Perdana Menteri Lee Hsien Loong menegaskan isu-isu semacam itu memang seharusnya tak dibawa ke pengadilan.
Lee juga menekankan bahwa Singapura tak akan mengubah definisi pernikahan sebagai ikatan antara laki-laki dan perempuan.
"Kami ingin menjaga keseimbangan, mempertahankan masyarakat yang stabil, nilai-nilai keluarga heteroseksual, tapi dengan ruang bagi homoseksual untuk hidup dan berkontribusi di masyarakat," ucap Menteri Dalam Negeri K. Shanmugan.
Di Singapura sendiri, sikap terhadap isu-isu LGBT sudah mulai bergeser dalam beberapa tahun terakhir, terutama di antara kaum muda, walau kelompok-kelompok keagamaan memang masih konservatif.
Berdasarkan survei Institute of Policy Studies pada 2018 lalu, sekitar 42 persen dari responden berusia 18-25 tahun menerima konsep pernikahan sesama jenis.