Kisah Naik Haji Diperketat oleh Penjajah Belanda, Dianggap Simbol Perlawanan

Kisah Naik Haji Diperketat oleh Penjajah Belanda, Dianggap Simbol Perlawanan

Travel | BuddyKu | Minggu, 14 Agustus 2022 - 14:53
share

Musim haji tahun ini telah berakhir. Jamaah haji yang melaksanakan rukun Islam ke lima di Tanah Suci Mekkah dan Madinah, Arab Saudi kini telah kembali ke Tanah Air dengan fasilitas yang memadai.

Jauh sebelumnya, tepatnya pada masa penjajahan Belanda pernah dilakukan pengetatan bagi warga yang ingin menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Saat itu perjalanan haji dilakukan melalui jalur laut, yakni naik kapal.

Sekitar dua ratus tahun silam, yakni periode 1824-1859 pemerintah Hindia Belanda melakukan pengetatan pemberangkatan haji.

Penjajah Belanda saat itu menilai bahwa haji menjadi ancaman serius eksistensi kolonialisme atau penjajahan di Indonesia.

Makna politis ibadah haji dirasakan secara serius tatkala negara Hindia Belanda berdiri sebagai penerus kekuasaan VOC.

Mereka menganggap, seseorang yang pulang dari ibadah haji mempunyai potensi menggerakkan rakyat untuk melakukan pemberontakan terhadap kolonial.

Oleh karena itu, segala upaya dilakukan oleh Hindia Belanda, mulai dari pengetatan pemberangkatan dan aturan-aturan lain setelah pulang dari Tanah Suci.

Selanjutnya muncul kebijakan pengetatan keberangkatan haji oleh pemerintah kolonial Belanda melalui Ordonansi Haji 1825.

Ordonansi Haji ini berisi pembatasan dan pengetatan jumlah haji yang berangkat. Salah satu cara untuk merealisasikannya adalah menaikkan biaya haji.

Beberapa dekade kemudian, yakni pada 1859 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonansi baru menyangkut urusan haji. Meski lebih longgar dari aturan sebelumnya, di sana-sini masih ada berbagai pengetatan.

Dalam Ordonasi Haji yang baru ini yang paling menonjol adalah pemberlakuan semacam ujian haji bagi mereka yang baru pulang dari Tanah suci.

Mereka harus membuktikan benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Jika seseorang sudah dianggap lulus ujian ini, maka ia berhak menyandang gelar haji dan diwajibkan mengenakan pakaian khusus haji (jubah, serban putih, atau kopiah putih).

Selanjutnya mereka yang pulang menunaikan ibadah haji disematkan gelar haji dan dicatat nama dan identitasnya lengkap. Langkah ini dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk mengidentifikasi warga yang telah berhaji dengan tujuan agar tidak memberontak.

Dalam buku Historiografi Haji Indonesia karya Dr M Shaleh Putuhena disebutkan bahwa pemerintah Hindia Belanda awalnya tidak mau terlibat dalam urusan perjalanan haji.

Akan tetapi karena alasan ekonomi dan politik internasional maka pemerintah Kolonial Belanda terpaksa membuka konsulat di Jeddah, Arab Saudi pada 1872. Konsulat ini dibuka untuk menangani urusan haji.

Namun tetap saja dilakukan pembatasan jumlah jamaah haji dengan berbagai peraturan yang menyulitkan calon jamaah haji.

Tak ketinggalan, bagi warga yang sudah berhaji diawasi karena dicurigai sebagai pengikut Pan Islamisme yang anti pemerintah Hindia Belanda.

(shf)

Topik Menarik